Sukses

Kala Kahyangan Jadat Berdoa

Setiap sendi kehidupan umat Bali tak lepas dari nilai sakral pemujaan Dewa dan Sang Hyang. Manusia Bali memaknai ritus dalam nilai kesakralan menyatu dalam hormonisasi alam.

Liputan6.com, Jakarta: Bali aalah tanah ritual. Setiap sendi kehidupan umat Bali tak lepas dari nilai sakral pemujaan Dewa dan Sang Hyang. Sanubari umat Hindu Bali terpatri kuat menghubungkan diri pada Sang Hyang Widi Wase, pencipta alam semesta.

Arak-arakan ini memiliki kisah panjang akan Panca Wali Krama. Itu adalah ritual upacara terkait sejarah datangnya Hindu di Bali.

Pada abad ke 7 seorang maha suci dari Hindustan atau India datang ke Pulau Dawa atau Jawa. Rsi Markendya adalah seorang Brahmana yang berkelana ke tanah Jawa. Ia bertapa di Gunung Rawung, Jawa Timur. Rsi Markendya mendapat petunjuk untuk mencari sinar terang di sebelah timur Pulau Jawa. Pulau itu dinamakan Wali Dwipa yang kini dikenal dengan Bali.

Bersama Wong Aga, Rsi Markendya menebarkan ajaran Waisnava, pemuja wisnu di Bali. Salah satu ritual kuno pun atas ajaran Maha Yogi Markendeya diwariskan. Sekitar 750 tahun silam upacara sumpah kepada alam semesta dipanjatkan. Mengusung pretime mengharapkan kehadiran sang pencipta dan dewa-dewa penguasa jagat.

Simbol-simbol pemujaan dibawa ke Pura Gunung Rung yang berada di Desa Taro Gianyar. Pura ini tempat Sang Maha Yogi menebar ajaran Hindu pertama kali.

Tiga unsur dalam pemujaan air, api, dan bunga menajdi elemen dasar dalam sesajian dalam peribadatan. Sesajian ini mengiring Ida Batara Sanghyang Siwa Raditya yang termanifestasi dalam barong.
 
Pura yang sakral sebagai kahyangan jagat. Pura Jagat menjadi bagian dari tempat spirituil tertinggi bagi umat Hindu Bali. Sebagai salah satu pura penyangga spirituil di bumi dan alam semesta, hadirnya barong-barong di istana menjadi awalan ritual Panca Wali Krama di Pura Gunung Raung.

Salah satu warisan Rsi Markendya adalah Subak. Dan Subak tak hanya berarti sempit dalam sistem pengairan, namun kelompok tani dalam balutan agamis Hindu. Tak hanya agama pencerahan dalam sektor pangan pun menjadi penguat sosial Bali kala itu.

Cerminan itu terlihat dalam ritual Subak Abianting Same. Masa tanam usai warga memohon agar tanam selalu subur dan penuh berkah.
 
Ubud menjadi bagian di Bali memiliki lahan pertanian yang maju. Puri Ubud kuat menerapkan Subak. Umbul-umbul menjulang. Kehendak warga agar para dewa di langit hadir dalam perayaan besar ini.
 
Pebantenan dan sesajian dari hasil bumi warga dihaturkan kepada para dewa. Segala macam hewan dijadikan kurban dalam ritual Panca Wali Krama atau ritual meminta keselamatan semesta jagat.

Hewan caru atau kurban ini dibawa keliling sebanyak tiga kali. Tiga kali bermakna memohon kepada tiga dewa, Brahma, Wisnu, dan Siwa. Dan juga tiga bermakna bhur yakni manusia, bwah para leluhur dan swah alam para dewa. Lembu putih menjadi penanda tertinggi sebagai hewan kurban.

Hari tawur atau hari penyucian sesajian pun tiba. Penyucian dari pengaruh buruk dan roh jahat. Pedande berada dalam lima posisi di sangar tawang. Tempat simbol-simbol sang Hyang berada. Doa dihaturkan yang nantinya menyajikan air suci yang di berikan kepada umatnya.

Balutan kain putih mengiring langkah barong di Pura Gunung Raung. Pemaknaan hadirnya sang Ida Batara memutihkan dari segala buruk rupa di muka bumi.
 
Keberkahan disimbolisasi dengan pedanan undakan rumah berisi kebutuhan umat. Sebelumnya dilakukan nerarung caru pensucian hasil bumi dan pedanana yang akan dipererbutkan. Manusia Bali memaknai ritus dalam nilai kesakralan menyatu dalam hormonisasi alam.(IAN)
 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini