Sukses

Kecurigaan Kubu Setya Novanto terhadap Agus Rahardjo

Menurut Pengacara Setya Novanto, sangat janggal jika akhirnya KPK memasukkan persoalan tersebut ke dalam ranah hukum pidana korupsi.

Liputan6.com, Jakarta - Pengacara Setya Novanto, Ma‎qdir Ismail, menilai langkah panitia lelang proyek e-KTP merupakan suatu kebijakan, meski tidak mengikuti rekomendasi ‎Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Sehingga, menurut Maqdir, sangat janggal jika akhirnya KPK memasukkan persoalan tersebut ke dalam ranah hukum pidana korupsi. ‎

"Ini pilihan kebijakan, mestinya tidak bisa dijadikan alasan untuk mempidanakan Pak SN," ujar Maqdir Ismail saat dikonfirmasi, Sabtu (3/2/2018).

Dia mengatakan, kebijakan itu sepenuhnya adalah wewenang Kemendagri selaku pemilik proyek e-KTP. Justru Maqdir mencurigai saran LKPP yang saat itu dipimpin oleh Agus Rahardjo tak diikuti, akhirnya dipermasalahkan saat menjadi Ketua KPK.‎

"Terhadap pilihan kebijakan pengadaan ikut saran LKPP atau tidak, tidak ada sangkut pautnya dengan Pak Setya Novanto. Hal ini sepenuhnya kebijakan eksekutif. Yang menjadi masalah sekarang dikesankan seolah-olah bila kebijakan mengenai penganggaran dan pengadaan di Kemendagri diintervensi oleh Pak SN, dan Pak SN dikatakan sebagai bosnya Andi bersama-sama dengan Andi mengaturnya. Ini kan pakai ilmu otak-atik gathuk," jelas Maqdir.

Sebelumnya, Direktur Penanganan dan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta menjelaskan soal penyimpangan dalam proses lelang proyek pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Setya dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto alias Setnov di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis 1 Februari 2018.

Setya Budi kemudian menjelaskan awal pihaknya, yakni LKPP, diminta untuk mendampingi proses lelang hingga pengerjaan proyek e-KTP di Kemendagri. Dalam hal ini, dia mengaku menjadi ketua pendamping dengan lima anggota.

"Saya koreksi dokumen, kami koreksi tertulis, ada pelanggaran Keppres 54," kata Setya Budi.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dokumen Banci

Setya menjelaskan, dokumen tersebut tidak menggunakan aturan yang sudah ditetapkan oleh LKPK. Setya menyebut, dokumen itu banci karena masih manual, tidak elektronik.

Dugaan awal penyimpangan proyek pengadaan e-KTP pernah dibahas di Kantor Wakil Presiden pada 2011. Wakil Presiden saat itu dijabat oleh Boediono, sementara LKPP ketika itu dipimpin Agus Rahardjo.

Saat itu, LKPP mengkritisi temuan pihaknya soal dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan proyek e-KTP. Gamawan Fauzi yang saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, tak terima dengan tudingan LKPP.

Gamawan kemudian melapor itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).‎

Menurut Setya, Presiden SBY waktu itu lalu menugaskan Boediono untuk menyelesaikan masalah antara LKPP dan Kemendagri. Kedua pihak kemudian dipertemukan di Kantor Wapres.

Dalam pertemuan itu, LKPP tetap pada keyakinan bahwa terjadi penyimpangan dalam proses lelang proyek e-KTP. LKPP bersikeras bahwa kontrak pengadaan e-KTP harus dibatalkan.‎

Namun, Sofyan Djalil minta proyek tetap dilaksanakan. Akhirnya, LKPP menarik diri dari pendampingan proyek.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.