Sukses

100 Hari Anies-Sandi Pimpin Jakarta, Sejumlah Kebijakan Dibuat

100 hari pimpin Jakarta, Anies-Sandi membuat sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan di Jakarta. Apa saja kebijakannya?

Liputan6.com, Jakarta - Hari ini, 24 Januari 2018, tepat 100 hari Anies-Sandi memimpin DKI Jakarta. Sejumlah kebijakan telah dibuat dan dijalankan. Harapannya, kebijakan itu bisa segera menyelesaikan permasalahan yang membelit Jakarta. Apa saja kebijakan itu?

Seperti ditayangkan Liputan6 Siang SCTV, Rabu (24/1/2018), Anies-Sandi mengeluarkan kebijakan pertama soal semrawutnya kawasan Tanah Abang untuk menutup Jalan Jatibaru Raya. Jalan ini digunakan untuk lahan berdagang bagi 400 pedagang kaki lima (PKL)

Tapi ternyata, kebijakan ini masih menyimpan polemik. Sopir angkot, warga dan tak lupa pedagang di Blok G mengeluh perekonomian mereka terganggu.

Kebijakan menutup jalan dinilai menyebabkan kemacetan dan melanggar aturan tentang fungsi jalan.

Kebijakan kedua mengenai rumah DP 0 RP. Kabar baiknya, hunian vertikal itu telah dibangun di kawasan Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Harganya mecapai kisaran Rp 185 juta, hingga Rp 320 juta. Untuk cicilannya, warga yang berminat harus membayar Rp 1,5 juta hingga Rp 2,6 juta.

Tapi, sistem pembeliannya harus menunggu hingga april mendatang dan hanya ditujukan untuk masyarakat kelas menengah dan hampir mustahil dijangkau oleh masyarakat kelas bawah.

Kebijakan berikutnya tentang program OK Otrip. Program ini telah berjalan, yaitu dengan tarif Rp 5 ribu warga bisa kemana saja dalam kurun waktu 3 jam. Kebijakan ini dikritik masyarakat, karena kartu OK Otrip yang seharga Rp 40 ribu dengan saldo Rp 20 ribu dinilai mahal.

Selanjutnya, kebijakan yang kontroversial soal menolak reklamasi Teluk Jakarta telah didengungkan sejak awal menyesuaikan janji kampanye Anies-Sandi. Kenapa kontroversial? karena berseberangan dengan keputusan dari pemerintah pusat.

Hal lain soal wacana memberikan izin bagi becak beroperasi lagi di jakarta. Kebijakan ini menuai kritik dari warga. Namun yang pasti, kebijakan ini melawan aturan terdahulu, yakni instruksi Gubernur Nomor 201 Tahun 1988.