Sukses

Trem Batavia, Transportasi Zaman Kuda Gigit Besi

Di Indonesia trem juga sempat menuai kejayaan ketika angkutan ini beroperasi di Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo, Cirebon dan Deli.

Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak yang mengenal angkutan umum bernama trem. Kendati demikian, publik umumnya mengetahui kalau trem adalah alat transportasi massal dalam kota yang bentuknya menyerupai gerbong kereta api. Di luar itu, trem adalah sesuatu yang asing bagi mayoritas masyarakat Indonesia.

Kalaupun mengenalnya, mungkin melalui film-film asing yang memperlihatkan angkutan umum jenis ini. Padahal, di Indonesia trem juga sempat menuai kejayaan ketika angkutan ini beroperasi di Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo, Cirebon dan Deli.

Di era Batavia (sebelum menjadi Jakarta), trem sempat menjadi sarana transportasi andalan. Adalah perusahaan Belanda, BTM (Bataviasche Tramweg Maatschappij) yang pertama kali membuka jalur trem pada 1869.

Diresmikan pada 10 April 1869, awalnya trem hanya mempunyai jalur Route Out Batavia yaitu antara Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) sampai dengan batas ujung Batavia, atau sekitar Harmoni dan kawasan Kota Tua. Ciri khas trem generasi pertama di Batavia ini adalah digunakannya kuda sebagai alat penarik.

Tiga sampai empat kuda saban hari menjadi 'lokomotif' yang menarik gerbong-gerbong untuk mengantarkan penumpang. Mulut kuda-kuda itu dipasangi besi melintang yang kedua ujungnya dihubungkan dengan tali kendali, sehingga kemudian menimbulkan istilah 'zaman kuda gigit besi'.

Jalur trem yang melintasi Jalan Rijswijk (sekarang Jalan Veteran), Batavia beroperasi pada periode 1900-1940. (Collectie Tropenmuseum-Wikimedia.org)

Setelah Batavia mempunyai wilayah baru yaitu Tanah Abang dan Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) dibukalah jalur kedua dengan rute: Harmoni-Tanah Abang, Harmoni-Meester Cornelis, melewati Noordwijk (Jalan Juanda), Senen-Kramat-Salemba dan berakhir di Meester.

Kota Batavia yang saat itu di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, berhasil menjadikan trem sebagai moda transportasi massal primadona, walaupun di masa ini tidak banyak masyarakat pribumi yang bisa ikut menikmatinya.

Namun, bermacam-macam kendala bermunculan dari sumber tenaga geraknya yaitu kuda. Kendala itu seperti banyaknya kuda mati karena tidak kuat mengangkut penumpang lantaran bobotnya yang terlalu kecil. Selain itu, kuda tidak kuat menanjak, sehingga kadang butuh bantuan tenaga kerbau untuk menarik gerbong.

Jalan-jalan utama di Batavia juga terkena imbas, karena kuda-kuda buang hajat di sepanjang jalan dan menyebabkan aroma yang tidak sedap. Ditambah lagi, banyak kuda yang pingsan dan kemudian mati kelelahan karena mengangkut puluhan penumpang dengan gerbong

Selain itu, trem kuda tidak mengenal sistem kelas, sehingga dalam satu gerbong bercampur seluruh etnis dan ras. Keadaan ini membuat etnis Eropa yang merasa kedudukan mereka lebih tinggi menjadi risih.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Trem Uap dan Masalahnya

Keberadaan trem tenaga kuda akhirnya digantikan oleh trem uap (stoomtram) pada 1880. Dikelola oleh NITM (Nederlandsch Indische Tramway Maatschappij), trem uap disambut hangat pada awal operasionalnya.

Seiring berjalannya waktu, trem uap mulai memperlihatkan dampak negatif. Trem yang dikemudikan masinis itu kerap menabrak pejalan kaki.

Hal ini erat kaitannya dengan peraturan bagi pegawai trem. Bila mereka telat mengantar penumpang, maka gaji mereka akan dipotong, oleh karena itu trem uap jalan secepat-cepatnya sampai menerjang apa saja yang ada di depannya.

Masalah lainnya, mesin uap menghasilkan polusi suara dan udara. Di tengah-tengah perjalanan, trem juga terkadang mogok di jalan. Mesin pada trem uap memakai sistem tanpa api, jadi trem bisa berjalan tergantung pada suhu uap. Apabila suhu turun saat dingin (saat musim hujan atau banjir misalnya) trem akan berhenti berjalan.

Trem uap terlihat melintas di jalur Kramat-Salemba, Jakarta Pusat pada periode 1900-1940. (Collectie Tropenmuseum-Wikimedia.org)

Kendati demikian, trem uap sudah mengenalkan sistem kelas dan tentunya hal tersebut membahagiakan warga dari etnis Eropa. Karena mereka tidak perlu lagi bercampur baur dengan etnis lain dalam gerbong yang berbeda.

Di sisi lain, cara ini mengundang kecemburuan sosial. Sebab, warga pribumi hanya diperbolehkan naik di kelas dua yang ditempatkan di gerbong khusus, di mana kadang pemisahan dilakukan dengan pemasangan sekat. Tak heran bila bumiputera banyak yang membenci trem.

Memasuki akhir abad 19, trem listrik hadir di Batavia. Lain dengan trem uap, trem listrik tidak menghasilkan polusi. Walaupun begitu, trem ini masih berlangganan dengan mogok yang disebabkan korsleting listrik yang sering muncul saat musim hujan dan banjir.

3 dari 3 halaman

Perintah Presiden Sukarno

Pada masa pendudukan Jepang, trem tak terurus. Nasionalisme yang disuarakan Jepang membuat para pemuda mengambilalih trem dan semua sarana penting milik Belanda. Sejak itu, diskriminasi hilang dari angkutan trem.

Setelah Proklamasi, di bawah pengelolaan Djawatan Kereta Api, trem kembali beroperasi pada 1950-an. Meski melaju dengan kecepatan terbatas, angkutan ini populer karena bertarif murah. Tak heran kalau trem selalu penuh sesak dalam perjalanannya.

Buruknya manajemen pengelolaan trem membuat moda transportasi ini tak lagi efisien. Pasokan listrik yang sering tak lancar juga mengakibatkan trem sering mogok. Presiden Sukarno kemudian merencanakan menghapus trem. Menurutnya, trem tak sesuai dengan citra kota modern lantaran tak berada di bawah tanah.

Trem uap melewati kawasan Molenvliet atau Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat, 1890. (Collectie Tropenmuseum-Wikimedia.org)

Presiden Soekarno mengatakan, adanya trem juga membuat kota Jakarta terlihat kumuh. Apalagi transportasi umum semakin banyak, seperti oplet, ditambah lagi transportasi pribadi milik warga.

Tidak seperti pada masa kolonial Belanda, trem tidak bisa melaju seenaknya. Trem diharuskan mengalah dari banyaknya transportasi yang berseliweran di Jakarta. Karena itulah jalan menjadi macet, diperparah sopir-sopir transportasi lain yang tak mau mengalah.

Jakarta resmi menghapus trem pada 1962, disusul Surabaya pada 1970-an. Sementara trem di Semarang sudah lebih dulu hilang pada 1940. (dari berbagai sumber)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini