Sukses

Soal Putusan MK, Fahri Minta Parpol Segera Umumkan Bakal Capres

Fahri menegaskan, jangan pada last minute nanti dimunculkan. Ini merusak kultur demokrasi.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta partai politik untuk segera menentukan calon Presiden untuk Pilpres 2019 mendatang. Hal ini, kata Fahri, menyusul penolakan MK terhadap uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum khususnya tentang ambang batas calon Presiden.

"Segeralah parpol itu mengumumkan siapa kandidatnya," kata Fahri di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (11/1/2018).

Menurut Fahri, ambang batas calon Presiden yang tetap 20 persen kursi di DPR itu makin membatasi masyarakat dalam memilih sosok capres pada Pilpres 2019 mendatang.

Oleh sebab itu, ia berpendapat sebaiknya parpol yang segera menentukan sosok capres yang akan diusung pada 2019. Sehingga masyarakat bisa mengetahui sejak dini capres yang akan dipilih nanti.

"Jangan kemudian di last minute nanti dimunculkan. Ini merusak kultur demokrasi kita," ucap Fahri.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.

"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (11/1/2018).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pro Kontra Ambang Batas

Adapun pasal 222 mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.

Dalam dalil yang diajukan, Partai Idaman diantaranya menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil pileg 2014 sebagai ambang batas pilpres 2019.

Dalam pertimbangannya, MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial. Dengan presidential threshold, maka Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.

MK juga menilai pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar pilpres 2014. MK juga menilai pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.