Sukses

MK Tolak Gugatan UU Pemilu yang Diajukan ACTA

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Apa alasannya?

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Advokasi Cinta Tanah Air (ACTA). Adapun gugatan itu bernomor 44/PUU-XV/2017.

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ucap Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat dalam persidangan MK, Jakarta, Kamis (11/1/2018).

Adapun, Majelis Hakim Anwar Usman mengatakan, alasan penolakan tersebut lantaran pemohon, dalam hal ini ACTA, tak menyantumkan nomor UU Pemilu serta tak menyertakan lembaran negara yang dimaksud.

"Pemohon tidak melakukan perbaikan. Alih-alih melakukan perbaikan sebagaimana dinasihatkan oleh panel hakim, pemohon justru menjelaskan pendapat pemohon perihal sahnya pemeriksaan pengujian undang-undang meskipun belum memiliki nomor," jelas Hakim Anwar.

Masih kata dia, pemohon juga telah melakukan perbaikan lagi. Namun, kembali tak mencantukan nomor UU Pemilu dan menyerahkan lembar negara dimaksud. Sehingga permohonan itu tidak memenuhi persyaratan atau dianggap prematur.

"Sehingga mahkamah tidak perlu mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan," tandas Anwar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ajukan Gugatan

Sebelumnya belasan orang yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) menyambangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan. Mereka menguji terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

UU Pemilu tersebut diujimaterikan oleh kader Partai Gerindra Habiburokhman. Dia juga merupakan Ketua Dewan Pembina ACTA.

"Kami mendaftarkan permohonan uji materi UU Pemilu 2017. Kami menganggap Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan parpol atau gabungan parpol pengusung calon presiden atau wakil presiden mempunyai setidaknya 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional pemilu sebelumnya, bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 6A, Pasal 28D ayat 1 dan ayat 3 UUD 1945," kata pengacara Habiburokhman sekaligus Wakil Ketua ACTA Agustyar, di Jakarta, Senin 24 Juli 017 lalu.

Wakil Ketua ACTA lainnya Hendarsam Marantoko mengatakan, selain bertentangan dengan UUD 1945, ambang batas presiden 20-25% akan mempermudah presiden tersandera partai politik. Sehingga, bisa saja bagi-bagi jabatan kepada politikus dari partai pendukung.

Selain itu, kata Hendarsam, tidak ada ketentuan embel-embel berapa perolehan kursi parlemen atau suara sah nasional pemilu sebelumnya di UUD 1945 Pasal 6A.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.