Sukses

Momok PKI di Tahun Politik

Hantu Partai Komunis Indonesia (PKI) masih bergentayangan dan kembali menjadi momok di tahun politik 2018-2019.

Liputan6.com, Jakarta - Partai Komunis Indonesia (PKI) telah lama mati. Namun hantunya masih bergentayangan tiap kali Indonesia memasuki tahun politik meski PKI telah dilarang 41 tahun silam.

Pada 2018, sebagian rakyat Indonesia akan berpesta politik memilih kepala daerah untuk lima tahun ke depan. Setahun kemudian, pada 2019, Indonesia kembali memasuki tahun politik dengan digelarnya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres).

Tiap kali menjelang pesta demokrasi, isu kembangkitan PKI kembali mencuat. Menyerang partai politik dan kandidat tertentu.

Parpol yang kerap dituding sebagai antek PKI adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri pun dibuat geram dengan stigma tersebut.

Megawati menegaskan, PKI itu berbeda ideologi dengan PDIP yang menganut Pancasila, bukan komunis.

"Kami ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, berideologi Pancasila," tegas Mega di Rumah PDIP, Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (7/1/2018).

Putri dari Proklamator Bung Karno ini menegaskan tidak akan segan memberangus penyebar isu miring tersebut. Dia mengatakan siap mengadu ke pihak berwajib bila isu komunis masih menyerang partainya.

"Pasalnya ini pencemaran loh, saya bilang sama pak polisi. (Lalu pak polisi bilang) 'Harus ada yang ngadu bu'. Ya sudah saya ngadu lah," ujar Presiden ke-5 RI ini di tengah pidato pengumuman Pasangan Calon Pilkada 2018.

Megawati memprediksi, isu komunis akan kembali dimainkan pihak tak bertanggung jawab bukan hanya saat Pilkada 2018. Bahkan saat pencalonan kembali Jokowi nanti sebagai calon presiden 2019.

"Jokowi itu orang saya kenal, kenal sama ibunya, piye loh (kok dibilang PKI)? Maka saya katakan, jantan lah. Ini Republik Indonesia, ya untuk Indonesia," Megawati memungkasi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Serangan untuk PDIP

Pada 2017, tercatat ada dua serangan isu PKI yang menerpa PDIP. Pertama, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA), Alfian Tanjung yang menyebut PDIP sebagai sarang PKI di media sosialnya. Ia pun dilaporkan ke polisi. 

"Terkait laporan PDIP (yang) disebut oleh beliau dalam akun Twitternya bahwa PDIP 85% isinya kader PKI," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, 18 Mei 2017.

Alfian pun harus meringkuk di sel tahanan akibat cuitannya. Alfian Tanjung beberapa kali tersandung persoalan hukum karena ucapannya soal PKI. Dia pernah disomasi anggota Dewan Pers, Nezar Patria, lantaran menudingnya sebagai PKI.

Bukan hanya Nezar, Alfian juga menuding sejumlah tokoh yang biasa rapat di Istana Negara sebagai PKI.

Di Surabaya, Alfian dilaporkan seorang warga Surabaya, Jawa Timur bernama Sujatmiko lantaran memberikan ceramah dengan materi tentang PKI. Saat itu, Alfian tengah berceramah di Masjid Mujahidin, Surabaya.

Alfian Tanjung telah menjalani sidang perdana atas cuitannya yang menyebut PDIP sebagai sarang PKI. Sidang itu berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dengan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Mahfudin.

Dalam pembacaan dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Reza M menyampaikan bahwa Alfian Tanjung telah dengan sengaja menuliskan kalimat bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik di akun pribadi media sosialnya.

"Telah dengan sengaja menyerang kehormatan organisasi orang yang disiarkan di muka umum," tutur Reza di PN Jakarta Pusat, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu 27 Desember 2017.

Reza melanjutkan, postingan Alfian Tanjung di Twitternya secara bebas dapat diakses oleh para followers-nya yang jumlahnya sekitar seribu orang. Kalimat yang menyebutkan 85 persen Kader PKI ada di PDIP dan mengusung calon gubernur anti-Islam, dinilai dapat menimbulkan rasa kebencian.

"Dibaca oleh saksi Hasto Kristianto yang merupakan Sekretaris Jenderal PDIP. Sebagai salah satu pengurus PDIP, dia merasa postingan kalimat di Twitter tersebut telah merugikan nama baik PDIP sehingga dapat mempengaruhi persepsi masyarakat dan membangkitkan rasa kebencian terhadap PDIP," beber Reza.

Atas perbuatannya itu, Alfian Tanjung diancam pidana dengan Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 dan/atau Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45a ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kedua, adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono yang menyebut 'Wajar PDIP disamakan dengan PKI'. 

Pernyataan PDIP disamakan dengan PKI muncul dari Arief saat menanggapi komentar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto soal UU Pemilu. Hasto mengkritik Prabowo yang menyebut UU Pemilu sebagai lelucon politik yang menipu rakyat.

"Nah biasanya sifat PKI itu antikritik dan melanggar Konstitusi. Makanya wajar sehingga PDIP sering disamakan dengan PKI seperti keluhan Hasto kepada media saat menanggapi pernyataan Prabowo di Cikeas saat bertemu SBY," kata Arief, Senin 31 Juli 2017.

Arief pun menyampaikan permohonan maaf kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan para kadernya terkait pernyataan 'Wajar PDIP disamakan dengan PKI'. Dia mengungkapkan hal itu dalam secarik kertas yang ditandatangani di atas meterai Rp 6.000.

"Bersama ini terkait pemberitaan di beberapa di media massa yang menyebutkan pernyataan saya yang mengatakan, WAJAR SAJA KALAU PDIP SERING DISAMAKAN DENGAN PKI KARENA MENIPU RAKYAT, dengan ini saya mengklarifikasi bahwa saya tidak bermaksud mengatakan bahwa PDIP adalah PKI dan menipu rakyat," demikian surat Arief yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Selasa 1 Agustus 2017.

Dia menegaskan, sebagai partai yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, PDIP bukanlah PKI. Terlebih dalam programnya selalu mengedepankan kemakmuran masyarakat.

"Dan tidak benar PDIP itu adalah PKI serta menipu. Sebab PDIP adalah partai yang menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dan berlandaskan pancasila dan bekerja serta memperjuangkan rakyat Indonesia untuk kemakmuran bangsa dan negara," ujar dia.

Untuk itu, dirinya pun meminta maaf atas pernyataan tersebut. Ungkapan maaf disampaikan untuk meluruhkan kesalahpahaman itu.

"Karena itu, untuk meluruskan kesalahpahaman, saya Arief Poyuono meminta maaf yang sebesar-besar nya pada Ibu Megawati Soekarnoputri dan seluruh jajaran kader PDIP yang merupakan sahabat-sahabat saya atas statement saya tersebut di atas," kata Arief.

3 dari 3 halaman

Rakyat Tak Percaya

Sebagian besar rakyat Indonesia saat ini ternyata tidak percaya dengan isu kebangkitan PKI. Kenyataan itu tercermin dalam hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Dalam rilis survei SMRC yang disampaikan Jumat, 29 September 2017, 86,8 persen responden tidak setuju anggapan PKI tengah bangkit. Hanya 12,6 persen responden yang setuju.

"Dari 12,6 persen rakyat yang setuju bahwa sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI, sekitar 39,9 persen yang merasa kebangkitan itu sudah menjadi ancaman terhadap negara ini," ungkap Direktur Program SMRC, Sirojuddin Abbas, di Kantor SMRC, Jakarta Pusat.

Abbas memaparkan, opini kebangkitan PKI cenderung banyak ditemukan di daerah Banten, Sumatera, dan Jawa Barat. Karakteristik penduduk yang mempercayai isu ini terutama dari kalangan muda, terpelajar, dan hidup di perkotaan.

Temuan ini menunjukkan ada mobilisasi dalam isu kebangkitan PKI. Sebab, menurut Abbas, bila proses ini berlangsung alamiah, kesadaran akan kebangkitan PKI seharusnya banyak muncul di kalangan warga yang lebih tua.

"Mereka lebih dekat masanya dengan masa PKI hadir di pentas politik nasional dibanding warga yang lebih junior," kata Abbas.

Riset SMRC juga menyoroti pandangan publik terhadap kaitan Jokowi dengan isu PKI. Menurut Abbas, isu kebangkitan PKI kerap digunakan untuk memperlemah dukungan rakyat pada Jokowi

Namun, isu yang diembuskan rupanya kurang efektif. Riset SMRC memperlihatkan hanya 5,1 persen responden percaya keterkaitan Jokowi dengan PKI. Sementara, mayoritas publik tidak percaya Jokowi merupakan bagian atau terkait dengan PKI.

"Tampaknya bukan pilihan isu strategis yang berpengaruh," ujar Abbas.

Uniknya, menurut dia, ketidaksetujuan itu tergambar pada pendukung Prabowo maupun Jokowi. Keduanya sempat bertarung sengit pada Pemilihan Presiden 2014.

Namun, dia menyebut pendukung Prabowo memiliki porsi setuju lebih banyak tentang isu tersebut, dibanding pendukung Jokowi.

"Sebanyak 19 persen pendukung Prabowo yang setuju isu tersebut. Sementara dari pendukung Jokowi hanya 10 persen," kata Abbas.

Survei tersebut dilakukan dalam rentang 3-10 September 2017. SMRC melibatkan 1.220 responden. Mereka dipilih dengan menggunakan metode multistage random sampling untuk seluruh populasi Indonesia yang telah berumur 17 tahun atau sudah menikah.

Response rate atau responden yang berhasil diwawancarai 87 persen. Survei ini memiliki margin of error sekitar 3,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.