Sukses

Cara Jitu Polisi Tangkal Geng Motor

Geng Jepang ditangkap polisi karena menjarah toko pakaian di Jalan Cakalele, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.

Liputan6.com, Jakarta - Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono yakin, setelah polisi menangkap Geng Jembatan Mampang alias Geng Jepang, tak akan ada lagi geng motor yang berulah terutama saat Tahun Baru.

Geng Jepang ditangkap polisi karena menjarah toko pakaian di Jalan Cakalele, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.

"Saya rasa sudah enggak ada yang berani dengan adanya penangkapan (geng motor) di Depok," ujar Argo kepada Liputan6.com, Sabtu (30/12/2017).

Namun, kata dia, jika ada lagi geng motor yang melakukan tindak pidana maka polisi akan menindak tegas.

Polisi memiliki cara jitu untuk mengerem maraknya geng motor. Argo mengatakan, polisi dapat memetakan adanya geng motor melalui RT, RW dan lurah di setiap wilayah.

"Tentunya kita tanya ke lingkungan situ karena mereka kan yang lebih tau. Jadi di sana kan ada pranata sosialnya di situ, komunikasinya ke situ," ujar Argo di Polda Metro Jaya, Sabtu (30/12/2017).

Setelah itu, menurut Argo, anak-anak tersebut bisa diarahkan untuk melakukan hal yang positif.

"Kalau mereka misalnya suka kelahi, bisa diarahkan ke olahraga judo, karate seperti itu," ujar dia.

Sementara untuk mengantisipasi adanya geng motor berbuat onar, kata Argo, polisi akan mensweeping anak-anak muda yang nongkrong di jalanan.

"Kalau melakukan kegiatan pidana kita tindak, tapi tetep dilihat masa kalau cuma duduk-duduk nongkrong kita tindak. Tapi tetep kita tanyakan ngapain nongkrong-nongkrong, kalau kita minta bubar ya bubar," kata dia.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Cek Isi Tas Anak

Sementara, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengaku prihatin terhadap aksi penjarahan yang dilakukan oleh Geng Jepang alias Jembatan Mampang beberapa waktu lalu di Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Mirisnya, mayoritas pelaku masih berusia remaja dan di bawah umur.

"Mereka ini Generasi Z, di bawah milenial sebetulnya, anak-anak remaja. Saya khawatir ini bagian dari proses perilaku imitatif mencari identitas diri," ujar Khofifah usai melantik sejumlah pejabat Eselon I Kemensos, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (29/12/2017).

Menurut dia, remaja seperti ini cenderung ingin melakukan hal yang heboh demi mendapat pengakuan. Termasuk dengan melakukan kekerasan dan tindak kriminal lainnya dengan kedok geng motor.

"Ketika dia tidak melakukan hal yang heboh (khawatir) dianggap tidak top. Nah, ini berarti ada ruang yang kosong," kata Khofifah.

Ruang kosong ini yang harus menjadi perhatian bersama, terutama orangtua masing-masing anak. Orangtua dan lingkungan keluarga menjadi faktor paling penting untuk mengantisipasi maraknya kriminalitas di usia remaja.

Tingginya pemberitaan mengenai geng motor dan sekelompok remaja yang melakukan kejahatan jalanan diharapkan mampu meningkatkan perhatian orangtua terhadap anaknya.

"Paling sederhana kalau anaknya keluar rumah atau sekolah di dalam tas coba dicek. Saya dulu menyampaikan ke beberapa teman saya, ternyata dia temukan golok di tas sekolah anaknya (usia) SMA, SMP," ucap Khofifah.

Langkah tersebut perlu dilakukan oleh seluruh orangtua. Sebab, anak yang terlihat diam di rumah tidak menjadi jaminan baik ketika berada di luar rumah atau saat bersama teman-temannya.

"Karena itu, kewaspadaan para orangtua dan guru ini harus betul-betul memberikan monitoring lebih intensif dan memberikan basis nilai yang lebih kuat, agar mereka bisa bermanfaat bagi orang lain," Khofifah menandaskan soal pencegahan geng motor.

3 dari 3 halaman

Masyarakat Apatis?

Kriminolog Universitas Indonesia Yogo Tri Hendiarto menilai maraknya geng motor merupakan salah satu akibat dari ketidakpedulian masyarakat.

Ia melihat masyarakat sudah mulai tak acuh dengan keberadaan geng motor. Menurut dia, kehadiran geng motor semestinya sangat mencolok di ruang publik. Langkah pencegahan awal bisa dimulai dari laporan masyarakat.

"Masyarakat kita sudah mulai apatis, bukan tanggung jawab saya itu anaknya siapa kenapa saya harus urusin," ujar Yogo kepada Liputan6.com.

Dia berpendapat, hendaknya, masyarakat mulai aktif apabila melihat segerombolan anak yang nongkrong membawa motor. "Kalau ada yang mencurigakan bisa ditindaklanjuti," ujar dia.

Tindakan awal masyarakat bisa dimulai dari teguran atau apabila masyarakat takut menegur bisa lapor ke polisi.

Sementara, lanjut Yogo, polisi hendaknya lebih kreatif dalam melakukan pencegahan. Ia menilai keliru apabila pencegahan hanya dilakukan dengan sosialisasi ke sekolah-sekolah.

"Harusnya lebih ke pendekatan dengan masyarakat. Kalau sekolah kan mayoritas anak geng motor itu putus sekolah," kata Yogo.

Seharusnya, sambung dia, polisi melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mau melapor apabila melihat geng motor terutama yang memiliki kegiatan mencurigakan.

Pada sisi lain Yogo berharap negara memperhatikan anak-anak anggota geng motor ini yang memang putus sekolah karena kesulitan biaya.

"Libatkan sekolah, berikan akses pada yang memang putus sekolah. Apabila ada anak putus sekolah karena ekonomi itu akan menjadi tanggung jawab negara," tuturnya.

Yogo menyampaikan bahwa fenomena geng motor bisa dicegah dengan sinergi antar pihak baik dari polisi, masyarakat maupun sekolah.

Yogo mengusulkan melakukan profiling kepada setiap anak dalam geng motor untuk mengetahui penyebab awal mengapa seorang anak terlibat geng motor.

"Setiap anak unik, khas, nantinya ia akan memiliki karakteristik dan latar belakang yang berbeda-beda. Setiap pelaku kejahatan geng motor tidak bisa disamakan," ujarnya.

Unsur utama yang bisa dilihat dari latar belakang setiap anak, kata dia, adalah keluarga. Anak perlu dipastikan apakah berasal dari kondisi keluarga yang baik seperti bebas dari kekerasan, konsumsi obat-obatan terlarang atau minuman keras, juga asupan nutrisi yang cukup.

Selanjutnya hal tersebut akan berkolerasi dengan perilaku anak.

"Pada tahap childhood misalnya bagaimana masa kanak-kanaknya. Anak-anak itu mengadaptasi perilaku orang tuanya," jelas Yogo.

Ia mengingatkan agar hendaknya setiap anak bebas dari kekerasan di dalam keluarga sehingga ia tidak akan mengadopsi perilaku tersebut saat dewasa.

Kemudian pada saat anak memasuki usia remaja, mereka mulai mengambil keputusan. Namun sayangnya anak belum ditahap yang matang sehingga keputusan atau tindakan yang dilakukannya hanya berdasarkan kehendak tanpa alasan yang rasional.

"Misalnya ia mengambil tindakan-tindakan tertentu agar lebih dihargai di geng motornya daripada di keluarganya sendiri," ungkap Yogo.

Lalu tahap adulthood menentukan apakah perilaku anak akan berubah menjadi kenakalan.

"Tergantung dari self control-nya apakah tinggi atau rendah," ucap Yogo.

Yogo menyatakan banyak agen sosial yang juga memiliki andil besar dalam membentuk perilaku anak seperti pola asuh, keluarga, dan juga media.

"Agen sosial memengaruhi seseorang untuk menerima nilai dan norma, mana yang baik mana yang buruk," imbuh Yogo.

 

Saksikan video di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.