Sukses

WikiLeaks: Persediaan Minyak Arab Saudi Menipis

WikiLeaks melansir, produksi tertinggi minyak mentah di Arab Saudi diperkirakan hanya akan berlangsung selama 15 tahun. Artinya, setelah 2020 akan terjadi penurunan produksi yang berkelanjutan. Penurunan itu pun tak bisa dicegah.

Liputan6.com, Riyadh: Dalam kawat rahasia terbaru yang dirilis WikiLeaks, terungkap bahwa Arab Saudi ternyata tidak lagi mampu menekan harga pasaran minyak bumi yang kini kian meroket. Sebab, seperti tercatat di WikiLeaks, persediaan minyak buminya yang tak lagi dapat digembar-gemborkan terus.

Seperti dikutip Huffington Post dan dilansir The Guardian, dalam kawat rahasia tersebut, Sadad al Husseini--mantan Kepala Eksplorasi Pengelola Minyak Terbesar di Arab Saudi, Aramco--memperingatkan cadangan minyak mentah negaranya tidaklah sebanyak kabar yang beredar. Bahkan dia yakin bahwa jumlah cadangan minyak yang dikelola Aramco, yaitu sebesar 300 miliar barel, sudah berlebihan dan spekulatif.

Al-Husseini memperkirakan produksi tertinggi minyak mentah di Arab Saudi hanya akan berlangsung selama 15 tahun. Artinya, setelah 2020 akan terjadi penurunan produksi yang berkelanjutan. Penurunan itu pun tak bisa dicegah.

Proyeksi mantan eksekutif Aramco itu berdasarkan target pemerintah Arab Saudi memproduksi minyak mentah sebanyak 12,5 juta barel per hari mulai 2009. Kalangan pengamat industri menilai target itu meleset lantaran lesunya perekonomian global. Serta, kurang memadainya kapasitas penyulingan tingkat global.

Namun, Angus Mcdowall lewat pernyataannya di The Wall Street Journal memperingatkan bagi mereka yang terlalu percaya pada kabar WikiLeaks tersebut. Setelah dirinya berbincang dengan Al-Husseini, McDowall mengatakan bahwa sumber minyak di Arab Saudi terdiri dari yang dapat diperbarui dan tidak bisa diperbarui. Menurut dia, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan mengenai cadangan minyak bumi Arab Saudi yang menjadi negara penghasil minyak terbesar di dunia.

"Dunia energi terlihat cukup banyak sebagaimana itu tampak seperti kemarin," kata McDowall.

Dilaporkan, harga minyak dunia mengalami peningkatan menjadi US$ 103 per barel. Konflik di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi penyebab utama dari kenaikan harga tersebut. Jika kenaikan mencapai 10 persen dalam setahun, maka seperti diramalkan IHS Insight akan ada 270 ribu orang warga Amerika Serikat yang akan kehilangan pekerjaan.(DSC/ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.