Sukses

Krisis Rohingya dan Benturan Nilai-Nilai

AS menghadapi dilema, bagaimana membantu komunitas Rohingya tanpa menyakiti pemerintahan sipil Myanmar yang baru lahir.

Liputan6.com, Jakarta - Saat berada di Myanmar pada pertengahan November 2017, yang terakhir dari rangkaian kunjungan sejak 2010, saya menyaksikan lapisan baru kompleksitas, dalam kekuatan historis dan politik, yang berkontribusi dalam krisis Rohingya.

Ketika penderitaan warga Rohingya memicu berbagai opini di dunia internasional, di dalam negeri, sentimen nasionalis sebagian besar masyarakat Myanmar menguat. Hal tersebut memaksa State Counselor Aung San Suu Kyi mendekat ke para jenderal militer yang dulu jadi musuh bebuyutannya saat memimpin perlawanan pada 1988.

Akibatnya, Amerika Serikat dan negara-negara Barat kesulitan untuk menghukum orang-orang yang memicu pengungsian massal warga Rohingya, tanpa menimbulkan gangguan pada proses transisi menuju pemerintahan sipil di Myanmar yang dimulai pada 2011.

Sudah lebih dari 600 ribu warga Muslim mengidentifikasi diri sebagai komunitas Rohingya, lari ke Bangladesh sejak Agustus lalu. Kala itu, angkatan bersenjata Myanmar secara masif melancarkan operasi kontraterorisme melawan sekelompok kecil kaum radikal Rohingya, yang telah menyerang sekitar 30 personel militer dan markas polisi menggunakan senjata tajam dan bambu runcing.

Amerika Serikat, pemerintah negara-negara Barat lain, PBB, dan lusinan LSM internasional yang mendukung transisi menuju pemerintah demokratis di Myanmar, yang dimulai pada 2011, berjuang untuk menemukan cara yang efektif untuk merespons tragedi Rohingya. 

Aung San Suu Kyi -- penerima penghargaan Nobel Perdamaian yang karismatik, yang selama 15 tahun menjadi tahanan rumah sebelum menjadi pemimpin politik Myanmar pascapemilu 2015 -- justru menjelma menjadi sorotan utama dalam pemberitaan media yang menyedot perhatian dunia terkait dengan krisis pengungsi Rohingya.

"The Lady", demikian ia sering dipanggil, menolak untuk mengkritik secara terbuka angkatan bersenjata Myanmar, terkait reaksi berlebihan mereka membalas serangan kelompok militan Rohingya. Ia bahkan menghindari penggunaan kata 'Rohingya'. 

Tindakan Aung San Suu Kyi ini mengejutkan para pejuang HAM di seluruh dunia, terutama setelah puluhan tahun dia menjalani tahanan rumah karena memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi.

Pemerintahan negara-negara Barat saat ini menghadapi tekanan masyarakat luas untuk menjatuhkan sanksi pada Myanmar. Namun, hal tersebut mungkin akan kontraproduktif.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Solusi untuk Rohingya

Sebagian besar penduduk Myanmar, terutama mayoritas pemeluk Buddha, menganggap warga Rohingya tak seharusnya ada di negara mereka. 

Mereka menganggap kaum Rohingya sebagai imigran ilegal, yang berupaya mengubah Myanmar yang mayoritas Buddha menjadi negara Islam. Itu mengapa, sanksi dari negara lain yang dianggap 'pro-muslim', dinilai sebagai serangan eksternal terhadap negara mereka.

Sejak Agustus lalu, sentimen nasionalis di Myanmar menjelma menjadi dukungan kepada angkatan bersenjata dan melawan pemerintahan yang dikuasi sipil, yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi (yang berbagi kekuasaan dengan militer). 

Aung San Suu Kyi sendiri, sebagian besar kekuasaan politiknya berasal dari dukungan yang diberikan oleh negara-negara demokrasi Barat selama lebih dari 30 tahun.

Jika dia kehilangan dukungan ini, pemerintahan sipilnya akan melemah, transisi menuju pemerintahan sipil akan terhenti, dan Myanmar bisa kembali ke junta militer. 

Dilema yang dihadapi Amerika Serikat dan pemerintah negara Barat lainnya, adalah bagaimana membantu komunitas Rohingya tanpa menyakiti pemerintah sipil Myanmar yang baru lahir.

Solusi yang paling solutif adalah membantu warga Rohingya kembali ke rumah mereka di Myanmar, dan hidup dalam damai serta merdeka.

Sayangnya, solusi ini tampaknya mustahil dilakukan dalam jangka pendek, karena sentimen nasionalis dari mayoritas rakyat Myanmar. 

Tindakan yang tampak paling masuk akal adalah merumahkan kembali sebagian masyarakat Rohingya, yang jumlahnya beberapa ribu orang, ke "desa-desa baru", dengan membatasi hak-hak dasar mereka untuk bekerja dan bepergian secara bebas di Myanmar dan negara-negara lain.

Hal ini jelas-jelas merupakan persoalan yang sulit diatasi. Besar kemungkinan para pengungsi Rohingya akan tetap tinggal di Bangladesh, dalam kondisi mengenaskan selama lebih dari lima tahun dan bisa jadi lebih lama lagi.

Sisi emosional untuk menjatuhkan sanksi terasa kuat. Namun, jika tidak ditetapkan secara terbatas, sanksi itu kemungkinan besar akan merugikan 53 juta orang lain yang tinggal di Myanmar, dan akan memundurkan transisi menuju pemerintahan sipil.

 

3 dari 3 halaman

Efek Sanksi

Secara umum, penduduk Myanmar telah merasakan efek negatif dari krisis Rohingya. Jumlah wisatawan yang datang anjlok. Investor-investor asing berpikir ulang untuk memulai proyek-proyek baru, dan lembaga-lembaga donor telah menunda kegiatan-kegiatan mereka.

Pemberian sanksi hanya akan memperuncing dampak-dampak negatif pada perkembangan ekonomi jangka pendek.

Telah terlihat kemajuan ekonomi yang berarti selama lima tahun terakhir. Adapun transisi menuju pemerintahan sipil Myanmar, mungkin tergantung pada perkembangan ekonomi selama periode ini, hingga berlangsungnya pemilihan umum pada 2020.

Keberhasilan transisi juga bergantung pada banyak faktor, terutama berakhirnya perang saudara dengan etnis-etnis minoritas di perbatasan China, India, dan Thailand.

Konflik-konflik tersebut tak kunjung berakhir sejak Myanmar merdeka pada 1948. Faktor krusial lain adalah memperbaiki "kapasitas negara" -- kemampuan pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan pro-pertumbuhan.

Kehidupan sebagian besar penduduk Myanmar telah membaik secara dramatis sejak 2010. Kekhawatiran bahwa mereka akan ditahan atau properti mereka direbut oleh militer nyaris sirna.

Ribuan tahanan politik telah dibebaskan. Kebebasan pers sudah diakui. Telepon seluler dan akses internet yang dulunya barang mewah kini mudah didapat di mana-mana.

Statistik di seluruh penjuru negeri menunjukkan perbaikan nyata di bidang layanan kesehatan. Perusahaan-perusahaan swasta berjaya. Sistem pendidikan, yang awalnya terabaikan selama 50 tahun, maju pesat.

Negara ini merupakan salah satu dari yang termiskin di Asia Timur, dan membutuhkan good governance lebih dari satu generasi untuk mengejar ketertinggalannya.

Pemerintah Amerika Serikat harus mencari pihak yang bertanggungjawab atas kekerasan terhadap komunitas Rohingya, dan memberikan bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi di Bangladesh.

Kita harus menjaga nilai-nilai kebenaran yang diagungkan. Namun, jika bereaksi berlebihan, yang dampaknya menyulut bangkitnya kembali sentimen nasionalis (di Myanmar), kita akan menembak kaki kita sendiri. 

Jelas, jika mencoba memaksakan nilai-nilai kita, justru kekalahan yang akan didapat. 

Myanmar dapat kembali diperintah oleh junta militer. Atau, negara itu akan berpaling dari Barat, mengejar pembangunan ekonomi dengan dukungan dari negara-negara tetangganya di Asia, yang jelas-jelas tidak terlalu peduli dengan nasib etnis Rohingya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.