Sukses

HEADLINE: Letusan Gunung Agung dan Lunturnya Mitos Juru Kunci

Suara dentuman terdengar, lava merah terpantau keluar dari kawah Gunung Agung, disusul abu vulkanik dan lahar dingin.

Liputan6.com, Jakarta - Gunung Agung kini berstatus Awas. Level tertinggi tersebut ditetapkan mulai Senin, 27 November 2017, pukul 06.00 Wita. Sejak malam minggu, dentuman keras terdengar, lava merah pun terpantau dari "Menara Suci Pulau Dewata". 

Lahar dingin juga keluar dari perut gunung tertinggi di Bali itu. Pun dengan abu vulkanik yang dimuntahkannya ke angkasa, yang mengganggu jalur penerbangan dan jadi alasan penutupan bandara di Pulau Dewata. Aktivitas Gunung Agung kemudian dipantau dunia. 

Yang jadi pertanyaan banyak orang, akankah dampak letusan Gunung Agung sedahsyat yang terjadi pada 1963?

Kala itu, 54 tahun lalu, gunung setinggi 3.031 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu meletus, hampir 1.600 orang tewas dan 296 orang luka. Mayoritas korban jiwa jatuh karena awan panas dan dampak aliran piroklastik. 

Efek erupsi Gunung Agung 1963 juga mengglobal. Di belahan lain, Bulan pun gelap. Suhu Bumi menurun gara-gara material erupsi mengurangi intensitas sinar matahari. Sementara itu, kekeringan melanda China bagian selatan.

Sejauh ini, terkait letusan 2017, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum mencatat adanya korban baik luka-luka maupun meninggal dunia.

Mantan Kepala Badan Geologi, Surono, menilai sikap masyarakat di sekitar Gunung Agung, yang kini mempercayai penjelasan ilmiah daripada pertimbangan juru kunci yang didasarkan pada mitos, ikut andil mencegah jatuhnya korban jiwa. 

Pria yang akrab dipanggil Mbah Rono itu menambahkan, masyarakat saat ini cenderung patuh pada imbauan yang dikeluarkan otoritas setempat untuk mengungsi dan menjauhi zona bahaya.

"(Saat erupsi 1963) orang percaya supranatural dari juru kunci karena ingin suatu kepastian yang mudah diperoleh dan mudah dicerna. Untuk mengalihkan ke scientific opinion susah sekali, tapi akhirnya sekarang mereka lebih percaya (hal ilmiah)," ujar Surono saat dihubungi Liputan6.com, di Jakarta, Senin (27/11/2017).

Menurut dia, dalam hal mitigasi, subjek terpenting adalah masyarakat sekitar zona bencana. "Kalau gunungnya meletus, ya meletus saja. Namun, membuat masyarakat mengerti dengan imbauan otoritas setempat itu yang penting."

Meski begitu, Mbah Rono menilai penetapan status Awas Gunung Agung terlalu dini. Ia khawatir, masyarakat akan terlalu lama berada di pengungsian.

Gunung Agung kali pertama berstatus Awas pada 22 September 2017. "Warning-nya terlalu dini, sejak 22 September warga telah menunggu di pengungsian. Jangan sampai seperti kasus Gunung Sinabung, masyarakatnya lama di pengungsian, tapi gunungnya tak meletus," ungkap Mbah Rono.

Apalagi, ada dampak yang bisa ditimbulkan dari keputusan untuk menaikkan status sebuah gunung, termasuk sosial dan ekonomi. Terlebih, daerah sekitar Gunung Agung merupakan wilayah pertanian dan wisata.

"Masyarakat perekonomian rendah sampai tinggi sangat bergantung di situ. Banyak risiko tinggi, seperti bandara ditutup akibat letusan Gunung Agung. Itu yang menuntut akurasi pemantauan gunung api," tambah Mbah Rono. 

Erupsi Gunung Agung 1963 Vs Merapi 2010

Mbah Rono mengatakan, di antara banyak gunung api yang di Indonesia, Gunung Agung salah satu yang paling dikhawatirkan jika kembali meletus. 

"Ini gunung besar dengan letusan besar, dengan sejarah erupsi tahun 1963 yang lebih besar dibandingkan letusan Merapi tahun 2010."

Tingginya risiko bencana dari letusan Gunung Agung ini, menurut Surono, tidak hanya karena sejarah kekuatan letusannya. Namun, juga karena banyaknya penduduk yang tinggal di zona bahaya.

"Banyaknya korban letusan 1963 saat itu salah satunya juga karena sebagian warga menolak diungsikan," katanya.

Tim Liputan6.com berusaha menemui juru kunci Gunung Agung, Jero Mangku Darma. Namun, saat disambangi ke rumahnya yang berada dalam radius berbahaya, ia tak ada di sana.

Saat masih berstatus siaga, Jero telah menyatakan tidak akan meninggalkan kediamannya bila belum mendapat petunjuk bahwa Gunung Agung akan meletus secara dahsyat.

Dia mengaku tidak khawatir bila letusan 1963 kembali terjadi. Saat itu, paman dan kedua orangtuanya-lah yang bertugas sebagai juru kunci Gunung Agung.

Alasannya sederhana. Sebagai juru kunci, status yang diembannya secara turun temurun, ia adalah orang terakhir yang akan pergi dari desanya. Jero mengaku, dengan memilih bertahan, ia bisa menginformasikan kepada warganya tentang kondisi Gunung Agung jelang erupsi besar.

"Saya berdoa dari sini untuk keselamatan umat manusia. Saya kukuh di sini enggak mau saya mundur," ujar Jero.

Sebagai juru kunci, ia mengaku sangat percaya akan mendapatkan petunjuk menjelang Gunung Agung meletus. Namun, ia tidak tahu kapan itu akan terjadi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Sebahaya 1963?

Letusan Gunung Agung pada 1963 mulai terjadi pada 18 Februari 1963 dan baru berakhir 27 Januari 1964. Butuh waktu hampir setahun sampai gunung itu kembali tenang. 

Klimaksnya pada 23 Februari 1963. Gunung Agung bergemuruh dan melemparkan bola api. Wilayah Pura Besakih, Rendang, dan Selat dihujani batu-batu kecil dan tajam, pasir, juga abu panas. Aliran lumpur turun deras di Besakih sehari kemudian, mengakibatkan bangunan-bangunan di sana roboh. Awan panas dan hujan lahar dimuntahkan.

Meski riwayat gawat Gunung Agung berpotensi terulang, Kepala Data dan Informasi Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memprediksi, letusan dahsyat pada 1963 itu tidak akan terjadi pada 2017 ini. Meski, erupsi besar masih mungkin terjadi setelah ini. 

"Kalau dari erupsinya kemungkinan tidak sebesar tahun 1963, mengingat energi ada di dalam dapur magma tidak sebesar 1963. Pada 1963 kolom letusan hingga 20 km, sekarang tidak sampai," ungkap Sutopo kepada Liputan6.com.

Kemudian, jelas Sutopo, dari tinggi letusan materialnya dan dampak yang ditimbulkan, juga tidak sehebat saat letusan 54 tahun lalu.

Kondisi masyarakatnya juga berbeda karena pada tahun 1963 mereka tidak mendapatkan informasi peringatan dini.

"Saat itu juga peralatan belum banyak, jalur komuniasi juga belum sebagus sekarang. Sekarang lebih baik dan masyarakat juga sudah lebih baik. Jadi sampai saat ini belum ada korban meninggal dan jangan sampai ada," kata Sutopo.

Ia mengatakan, sejak Gunung Agung meletus pertama kali sejumlah antisipasi aktif telah dilakukan. Aksi itu berdampak positif, buktinya belum adanya korban jiwa.

"Kami dengan masyarakat telah terlatih, sehingga saat bencana sudah tahu cara menyelamatkan diri, dan pastinya tidak panik," ujar Sutopo.

Saat ini ada 22 desa dengan radius 10 km dari titik bencana terpapar dampak meletusnya Gunung Agung. Seperti Ababi, Pidpid, Nawakerti, Datah, Bebandem, Jungutan, Buana Giri, Tulamben, Dukuh, Kubu, Baturinggit, Ban, Sukadana, Menanga, Besakih, Pempatan, Selat, Peringsari, Muncan, Dudat Utara, Amertha Bhuana, dan Sebudi.

BNPB mengimbau, agar masyarakat memperhatikan lingkungan sekitar agar tetap berada di kawasan yang aman. "Kurangi aktivitas di luar rumah dan menggunakan masker. Kedua, harus rajin mengurangi pasir yang ada di atap (rumah)," imbau Sutopo. Yang terakhir penting dilakukan, agar rumah warga tak roboh. 

Sebelumnya, Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) I Gede Suantika menyatakan, letusan Gunung Agung yang terjadi pada Minggu 26 November 2017 memiliki ‎Volcanic Explosivity Index (VEI)‎ atau indeks letusan berada di antara level 4 dan 5.

"Ini sama dengan tahun 1963. VEI‎-nya itu antara 4 atau 5," ujar Suantika.

Ia memaparkan, penentuan indeks letusan berada di level 5 merupakan hasil analisis berbagai hal menggunakan teknologi yang dimiliki PVMBG. "Berdasarkan alat-alat yang kita miiki, ketemu angka itu," ucap dia.

Radius bahaya pun berubah dari 6 kilometer menjadi 8 kilometer dengan zona perluasan dari 7,5 kilometer menjadi 10 kilometer ke arah utara-timur laut, tenggara-selatan dan barat daya‎. "

Terkait penanganan bencana letusan Gunung Agung, ia sependapat bahwa kondisi dulu beda dengan saat ini.

Pada 1963, teknologi pemantauan gunung api belum secanggih saat ini. "Minim sekali peralatan. Baru dipasang peralatan setelah letusan. Itu mungkin salah satu penyebab terjadinya banyak korban (pada 1963)."

Kalau sekarang, lanjut Suantika, semua teknologi mitigasi sudah dimiliki PVMBG. Sepanjang warga mematuhi rekomendasi yang dikeluarkan PVMBG, diyakini tidak akan jatuh korban. "Kecuali kalau ada yang bandel," tegas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.