Sukses

Kewajiban Seorang Pemimpin

Istilah pribumi membuat suasana menjadi tidak lagi harmoni, karena menimbulkan ketegangan baru dan trauma sejarah.

Liputan6.com, Jakarta - Pidato pertama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan setelah pelantikannya, memicu percakapan di media sosial terkait keputusannya untuk menggunakan kata 'pribumi'.

Sebagian pengguna media sosial merasa tidak terkejut ketika kata tersebut muncul, setelah rangkaian kampanye Pilkada DKI Jakarta yang penuh dengan politik identitas.

Di Spredfast, penggunaan kata 'pribumi' tercatat mulai muncul pada Senin 16 Oktober sekitar pukul 18.00 WIB, menjelang berlangsungnya acara pesta rakyat setelah pelantikan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno, di Istana Negara.

Istilah 'pribumi' membuat suasana menjadi tidak lagi harmoni, karena menimbulkan ketegangan baru dan trauma sejarah. Teringat kembali sejarah kekerasan, yang sejak reformasi telah di kubur dalam benak nurani kita.

Seorang pemimpin memiliki jiwa kerahiman agar bertindak welas asih, serta berkata dengan bijak dan menjaga roh kesatuan bangsa.

Tantangan ke depan pemimpin haruslah memiliki jiwa pelayan, mengacu pada nilai Jakarta yang membutuhkan pemimpin berjiwa kerahiman, berjiwa terbuka, dan pemimpin yang mau belajar dan selalu rendah hati.

Yang terpenting juga adalah dia yang mau merangkul lawan politiknya dan membangun kebersamaan.

Kerahiman itu pula yang menuntun jiwa seorang yang kredibel dalam kasih, dan yang bisa menunjukkan kasihnya kepada mereka yang miskin, tersisih, dan lemah.

Orientasi pemimpin berjiwa kerahiman meskipun tidak sempurna atau mendekati sempurna, yang terutama pemimpin yang dekat dengan rakyatnya dan memiliki belas kasih.

Apakah Pancasila menjadi rohnya saat mengambil sebuah kebijakan, atau Pancasila sekadar hiasan belaka? Kalau pemimpin memiliki roh Pancasila, dia akan mencintai rakyat dan memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk rakyatnya.

Pancasila harus dijadikan aplikasi kebajikan. Kita ingat salah satu pidato Bung Karno, "Apakah kita mau Indonesia merdeka dengan kaum kapital yang merajalela, atau yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?"

Ungkapan di atas masih menjadi pilihan sampai hari ini. Saat kaum kapitalis lebih berkuasa dari pemimpin dan rakyat. Saat kepentingan kapitalis lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat. Saat jurang kesenjangan semakin lebar.

Beragam kasus terus muncul di depan mata, dan kita semakin merasakan relevansi ungkapan Bung Karno itu saat ini, apalagi ketika kedaulatan negeri terus tergerus.

Tanpa perubahan, kita akan kehilangan kedaulatan, dan masa depan semakin suram. Inilah momentum yang tepat untuk melakukan perubahan.

Pemimpin yang mampu menciptakan perubahan mendasar itu, memutuskan ketergantungan para mafia dan cukong ekonomi. Untuk itu, semuanya bisa dimulai dari mental. Dengan meyakinkan diri bahwa kita memiliki kemampuan mengolah sumber daya dan mengoptimalkannya demi kesejahteraan rakyat.

Mentalitas elite yang korup harus dibabat habis. Kebijakan yang cenderung hanya menguntungkan mereka dan kaum kaya (karena kepentingan politik dinasti), harus dienyahkan jauh-jauh. Itu semua hanya akan membuat mereka tidak mampu menjadi pelayan terbaik buat rakyat.

Inilah saatnya rakyat memilih pemimpin dengan visi yang jelas dan terukur. Bukan pemimpin yang asal berjanji. Kecerdasan rakyat sangat menentukan nasib masa depan negeri ini.

Perubahan Indonesia masa depan akan ditentukan oleh pemimpin yang bisa memadukan keberanian, kebajikan, dan kemampuan dalam tata kelola pemerintahan untuk melayani rakyat dengan sikap jujur dan tulus.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jujur dalam Kuasa

Sikap jujur dalam berkekuasaan memang sering disebut sebagai sebuah kemustahilan. Namun, dalam banyak fenomena kekuasaan, masih ada orang baik dan jujur di tengah kemunafikan dan keserakahan.

Kita merindukan sosok pemimpin otentik dan berkeutamaan. Pemimpin yang mampu membawa rakyat menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.

Pemimpin yang mampu mengubah bangsa ini, dari bangsa yang tidak memiliki kepercayaan diri menuju bangsa yang kuat dan tangguh.

Indonesia adalah bangsa besar, tetapi seringkali itu hanyalah dalam angan-angan. Kenyataannya, kita sebagai bangsa kerap masih terjajah oleh bangsa lain.

Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Kebanyakan justru adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan layaknya seorang pebisnis.

Akibat itu, barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi sering terjadi, dan banyak melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan.

Hanya pemimpin terbaik yang akan mampu mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa besar, yang selama ini luntur seiring waktu.

Kita bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat. Karena itu, pemimpin ke depan hendaknya mampu menjadi tonggak agar kita bisa kembali bangga menjadi Indonesia.

 

3 dari 3 halaman

Mencari Negarawan

Selama ini kepercayaan diri sebagai bangsa meluntur karena para elite negeri ini banyak yang berperan sebagai calo, bukan negarawan yang tulus.

Kita bisa melihat praktik jual-beli di semua lini, di negara yang telah mendeklarasikan kebangkitan nasionalnya ratusan tahun ini. Kita bisa melihat bagaimana kebangsaan kita tak lebih dari kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku.

Banyak fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering terseok-seok di tengah jalan.

Kekayaan sumber daya alam yang melimpah tak kunjung bisa dinikmati sebagai kemakmuran rakyat, tetapi justru dikuasai oleh kepentingan golongan tertentu.

Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta.

Kemiskinan, pengangguran, dan perbaikan kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita bersama, yang mendesak untuk dicarikan jalan keluar.

Kebijakan publik pun belum disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh.

Kenyataan banyak lahirnya calo politik (rent seeker) hingga detik ini, sangatlah memprihatinkan. Apalagi, di balik praktik percaloan itu ada kekuatan besar para pemilik modal yang sangat berperan.

Semua itu tidak boleh dibiarkan. Saatnya energi kita bukan mempersoalakan pribumi dan non pribumi, tapi bagaimana kita mengaktualisasikan Pancasila dengan semangat gotong royong menciptkaan kesejahteraan masyarakat, itulah kewajiban seorang pemimpin.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini