Sukses

Masyarakat Dayak Tuntut Ganti Rugi Lahan

Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah menuntut ganti rugi lahan seluas 4.807,89 hektare kepada pihak perusahaan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit PT Teguh Sampurna (TS) secara hukum adat Dayak.

Liputan6.com, Samarinda: Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah menuntut ganti rugi lahan seluas 4.807,89 hektare kepada pihak perusahaan perkebunan  besar swasta (PBS) kelapa sawit PT Teguh Sampurna (TS) secara hukum adat Dayak.

"Lahan yang disengketakan antara masyarakat dengan pihak PT Teguh Sempurna itu tersebut berlokasi di Desa Kawan Batu, Kecamatan Mentaya Hulu, Kotim,"  kata Ketua DAD Kotim, Berthus F Mattali di Sampit, Rabu (22/12).

Ia mengatakan, tuntutan ganti rugi itu diajukan masyarakat sejak 2004 lalu, melalui keputusan Demang atau kepala adat. Namun pihak PT TS menolak dengan alasan tuntutan harus berdasarkan keputusan hukum Negara. Menurut Mattali, permasalahan ini sebetulnya sudah sampai kepada pemerintah provinsi Kalteng dengan turunnya Surat Perintah Gubernur Kalteng No.593.83 /1754/TAPRA tanggal 17 November Tahun 2007.

Dalam surat perintah itu, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang meminta agar pihak PT TS segera menyelesaikan ganti rugi lahan terhadap tanah perbatasan milik almarhum Abdul Karim.

Karena belum ada kepastian ganti rugi, Dewan Adat Dayak Kotawaringin Timur akan memasang "Hinting Pali" atau semacam police line di lahan yang masih bersengketa tersebut.

Sebelumnya dalam Rapat Koordinasi dan Evaluasi Perusahaan Besar Swasta (PBS) di Kotim  PT Teguh Sampurna menyampaikan bahwa perusahaan merasa dirugikan dengan eksistensi hukum adat. Terlebih dalam permasalahan klaim lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat. Mereka menilai, hukum adat yang diakui eksistensinya melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Kalteng dan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kotim dalam praktiknya saring bertindak sewenang-wenang terhadap perusahaan.

Perwakilan Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kotawaringin Timur Siswanto mengatakan, perusahan bukan tidak setuju dengan eksistensi hukum adat, namun penjabarannya harus jelas. Jangan sampai orang-orang berlindung dibalik hukum adat dengan mudahnya melakukan klaim lahan.

"Masyarakat beralasan eksistensi hukum adat diakui oleh Pergub dan Perda. Perusahaan yang sama sekali tidak mengetahui bagaimana mekanisme hukum adat, juga tidak dilibatkan dalam sidang adat, tahu-tahunya permasalahan klaim lahan diputuskan secara sepihak oleh Demang," katanya.(ANT)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini