Sukses

HEADLINE: Langkah Kuda KPK Hadapi Setya Novanto

Putusan sidang praperadilan hanya menyangkut aspek formil sah atau tidaknya penetapan tersangka, bukan aspek substansi.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR RI Setya Novanto kini tak lagi menyandang status tersangka korupsi proyek pengadaan e-KTP. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyiapkan sejumlah langkah kuda, salah satunya memperpanjang surat pencegahan Setya Novanto berpergian ke luar negeri.

Perpanjangan pencegahan akan dilakukan KPK agar Setya Novanto dapat bersaksi dalam proses hukum kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini.

"Pada waktu itu, surat pencekalan (pencegahan) karena yang bersangkutan (Setya Novanto) menjadi saksi. Surat pencekalan belum pernah dicabut, dan akan diperpanjang sekiranya akan habis," ungkap Ketua KPK Agus Rahardjo kepada Liputan6.com, Senin (2/10/2107).

Walaupun sudah tak jadi tersangka, jelas Agus, Ketua Umum DPP Partai Golkar itu masih berstatus sebagai saksi untuk para tersangka kasus dugaan korupsi pengadan e-KTP. 

"Yang terakhir (jadi tersangka) Dirut PT Quadra Solution (Anang Sugiana Sudihardjo)," ucap Agus.

Terkait penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk Setya Novanto dalam kasus yang sama, KPK masih menyimpan rapat langkah apa yang akan ditempuh. "Masih dibahas atau diskus‎ikan," Agus menegaskan.

Ketua KPK Agus Rahardjo menghadiri sidang praperadilan Setya Novanto (Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)

Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menambahkan, pihaknya akan mempelajari dan meneliti kembali isi putusan praperadilan sebagai bahan evaluasi dan konsolidasi bersama tim penyidik dan JPU serta pimpinan KPK. Hal itu dilakukan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil KPK, termasuk menerbitkan sprindik baru untuk Setya Novanto.

"Dalam norma-norma Mahkamah Agung disebut apabila penetapan tersangka dibatalkan, dibenarkan penyidik mengeluarkan kembali surat perintah baru. Masalah nanti akan diambil langkah demikian, bukan kapasitas saya menjelaskan," kata Setiadi.

Meski tak berstatus tersangka, Setya Novanto dinilai belum bebas sepenuhnya. Sebab, putusan sidang praperadilan hanya menyangkut aspek formil sah atau tidaknya penetapan tersangka, bukan aspek substansi apakah dia bersalah atau tidak bersalah.

"Dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Setya Novanto tidak secara otomatis gugur," kata Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting.

Ia menjelaskan, sidang praperadilan Setya Novanto bukan merupakan pemeriksaan pokok perkara. Hakim dalam konteks ini menurut Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016, hanya menguji aspek formil dari minimal dua alat bukti yang sah yang dimiliki.

"Penentuan bersalah atau tidaknya Setya Novanto nanti akan dilakukan pada pemeriksaan pokok perkara. Artinya, putusan praperadilan ini tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana," jelas Miko.

Dalam putusannya, Hakim Cepi menyebut surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 terhadap Setya Novanto tidak sah. Ia menilai, alat bukti yang digunakan oleh penyidik KPK dalam menetapkan Novanto sebagai tersangka merupakan alat bukti dari hasil pengembangan tersangka lain, yaitu Sugiharto dan Irman.

Ia pun menimbang bahwa alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.

"Menimbang setelah dicermati dari alat bukti yang dimiliki pemohon, tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah," terang Cepi.

Hakim Cepi menambahkan, proses pemeriksaan calon tersangka dapat mencegah terjadinya pelanggaran harkat martabat seseorang yang sesuai dengan hak asasi manusia dan perlakuan sama di muka hukum serta asas praduga tak bersalah.

"Menimbang dari hal-hal tersebut bahwa dengan penetapan tersangka di akhir penyidikan, maka hak-hak calon tersangka dapat dilindungi, untuk mengetahui apakah bukti itu valid apa tidak," kata Cepi.

Pengacara, Ketut Mulya Arsana, menyambut baik putusan Cepi. "Sudah sesuai dengan fakta persidangan," ujar Ketut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat 29 September 2017.

Menurut Ketut, alat bukti yang digunakan KPK dalam menjerat kliennya sebagai tersangka adalah tidak sah. Sebab, alat bukti yang digunakan merupakan alat bukti dari tersangka lain.

"Kalau dari alat bukti iya, karena pergunakan alat bukti orang lain tidak tepat," ucap dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kembali Lolos

Ketua DPR Setya Novanto meminta kepada Alat Kelengkapan Dewan terkait memfokuskan fungsi pengawasan pada ketersediaan sembilan bahan pokok.

Putusan untuk Setya Novanto memantik kehebohan. Warganet, misalnya, meramaikan media sosial dengan membuat berbagai meme dengan tagar #ThePowerOfSetnov.

Tercatat, Ketua DPR RI itu sudah lima kali lolos dari jerat hukum. Berikut uraiannya:

1. Skandal Cessie Bank Bali

Pada 1999, nama Setya Novanto disebut dalam kasus korupsi pengalihan tagihan (cessie) Bank Bali. Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian cessie ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09 miliar. Setya adalah Direktur Utama PT Era Giat Prima ketika itu.‎

Pengadilan pun menganggap ada tindak pidana korupsi dalam cessie Bank Bali. Gubernur Bank Indonesia saat itu, Syahrir Sabirin dan petinggi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pande Lubis menerima hukuman penjara karena dinilai terbukti bersalah atas kasus itu.

Mereka dianggap menyalahgunakan wewenang dengan mencairkan klaim tagihan Bank Bali kepada BDNI. Skandal Bank Bali menjadi pembicaraan hangat berbagai kalangan lantaran dicurigai melibatkan para petinggi negara.

Kabar yang berembus kala itu, keputusan mencairkan tagihan Bank Bali di BDNI oleh PT EGP itu dilakukan setelah pertemuan di Hotel Mulia, Jakarta. Pertemuan itu disebut-sebut dihadiri Ketua Dewan Pertimbangan Agung--saat itu--A.A. Baramuli, Direktur PT EGP Joko S. Tjandra, Menteri Negara Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng, dan Gubernur BI Syahril Sabirin. Tak lama setelah pertemuan itulah transaksi cessie terjadi. 

2. Kasus PON Riau

Setya Novanto beberapa kali diperiksa sebagai saksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau oleh KPK. Kasus ini menjerat mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang juga kader Partai Golkar.Pada Selasa 19 Maret 2013, KPK menggeledah sejumlah tempat terkait kasus suap PON, termasuk ruang kerja Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR.

Wakil Ketua KPK saat itu, Busyro Muqoddas memastikan, tidak ada unsur politis dalam pengusutan kasus ini. Penggeledahan ruang kerja Setya Novanto itu dilakukan berdasarkan pengembangan keterangan dari sejumlah tersangka dalam kasus ini. Dugaan keterlibatan Setya terungkap dalam persidangan perkara yang sama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru, Riau, pada 2 Agustus 2012.

Mantan Kepala Dinas Kepemudaan dan Olahraga Riau, Lukman Abbas, mengungkapkan pernah memberikan Rp 9 miliar kepada Setya dan Kahar. "Penyerahan uang kepada kedua anggota DPR RI itu terjadi pada awal Februari 2012," kata Lukman yang juga terjerat dalam kasus yang sama. "Penyerahan uang dilakukan di lantai satu Gedung DPR."

Setya Novanto sudah membantah menerima uang itu. Bahkan Setya mengaku tak terlibat dalam proyek PON. "Saya hanya tegaskan bahwa tidak ada sama sekali ada hubungannya dengan masalah yang berkaitan dengan PON yang ada di Riau," kata Setya usai diperiksa KPK pada 29 Juni 2012.

Sementara, Kahar Muzakir, melalui kuasa hukumnya Rudi Alfonso, membantah menerima aliran dana proyek PON.

3. Bertemu Donald Trump

Rombongan DPR bertemu dengan calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald Trump pada Kamis 3 September 2015. Dalam rombongan itu, ikut serta Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi VII Satya Yudha, dan utusan Presiden Eddy Pratomo.

Setya dan Fadli Zon juga berpose bersama Trump. Kehadiran mereka menuai kehebohan di dalam negeri dan dinilai melanggar etika.

Setya dan Fadli Zon kemudian dilaporkan 7 anggota ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR karena diduga melanggar kode etik. Setelah diproses, MKD memutuskan, dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setya Novanto dan Fadli Zon sebagai bentuk pelanggaran ringan dengan sanksi berupa teguran.

Ketua DPR Setya Novanto menjelaskan secara singkat apa yang telah dilakukan Pimpinan DPR dalam perjalanannya selama 11 hari ke Amerika Serikat. Perjalanan tersebut sudah direncanakan sejak 6 bulan lalu.

"Tepatnya tanggal 31 Agustus (2015) saya berangkat dan kembali pada 11 September dengan pertemuan-pertemuan yang sangat padat sekali," ujar Setya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 14 September 2015.

Setya mengungkapkan, pertemuan-pertemuan tersebut adalah salah satu bentuk tugas dari anggota DPR di mana rangkaian acaranya telah disusun dengan dasar proses yang sangat panjang. Pertemuan itu juga sehubungan dengan adanya Inter Parliamentary Union (IPU) atau Persatuan Parlemen Internasional yang dihadiri 158 negara.

4. Saham Freeport

Menteri Energi dan Sumber Daya (ESDM) Sudirman Said melaporkan politikus Senayan berinisial SN ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Laporan itu atas dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia yang berujung pada permintaan saham.

Sudirman Said membawa bukti rekaman percakapan SN dengan beberapa orang yang diduga merupakan seorang pengusaha, R dan salah satu petinggi PT Freeport di Indonesia, MS. Dalam surat laporan yang beredar, disebut SN adalah Ketua DPR Setya Novanto.

Selain surat pelaporan, juga tersebar transkrip rekaman percakapan SN dengan bos Freeport, serta seorang pengusaha berinisial R.

Ketua DPR Setya Novanto telah membantah tudingan tersebut. Dia mengaku tidak pernah bertemu dengan Sudirman Said. Namun dia mengaku pernah bertemu pejabat PT Freeport Indonesia.

"Yang pertama tentu saya melihat di media bahwa saya (dikatakan) membawa atau mencatut nama presiden," kata Setya Novanto di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 17 November.

‎"Tapi yang jelas bahwa presiden dan wapres adalah simbol negara yang harus kita hormati dan juga harus kita lindungi," ujar Setya.

5. Kasus e-KTP

Nama Setya Novanto juga kerap dikaitkan dengan kasus hukum. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin juga menyebut Setya Novanto bersama mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP.‎ Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR.

Pada suatu kesempatan Setya membantah Nazaruddin. Dia mengaku tidak pernah tahu dan tidak pernah ikut campur dalam proyek e-KTP. "Dia (Nazaruddin) bohong," ujar Setya di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis 24 April 2014.

Proyek e-KTP pertama kali muncul sejak Muhammad Nazaruddin menjadi terpidana pada kasus suap proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games, Jakabaring, Palembang. Menurut Nazaruddin, Setya Novanto selain memiliki perusahaan yang turut memenangkan tender tersebut, juga berperan memberi perintah pembagian fee pada proyek senilai Rp 6 triliun.

KPK pun menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus ini. Namun, Setya mengajukan permohonan praperadilan ke PN Jakarta Selatan dan hakim mengabulkannya sehingga status tersangka Ketua DPR RI itu tidak sah.

3 dari 3 halaman

Kursi Golkar 1 Digoyang

Tak hanya KPK, Partai Golkar pun menanggapi dingin kemenangan Setnov. Ketua DPP Partai Golkar Andi Sinulingga mengatakan, putusan hakim Cepi Iskandar yang menggugurkan status tersangka Setya Novanto bukanlah kemenangan Golkar, melainkan kemenangan individu.

"Kami harus hormati hukum. Tapi saya bilang itu kemenangan sebagai individu," kata Andi di Kawasan Menteng Jakarta Pusat, Sabtu 30 September 2017.

Bahkan, Andi juga menyinggung elektabilitas Partai Golkar yang turun dalam berbagai lembaga survei. Menurut dia, elektabilitas yang turun karena kasus e-KTP harus segera ditindaklanjuti, sehingga tidak berdampak pada partai. Terlebih, menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.

"Kami diskusi dengan beberapa pihak, termasuk SMRC, bagaimana publik melihat kasus e-KTP, terjadi penurunan elektabilitas Partai Golkar, ada sentimen negatif," jelas dia.

"Ya sudah kami ambil alih keputusan DPP didukung oleh DPD-DPD. Ambil alih aja, kan itu langsung nanti pleno itu menetapkan Airlangga menjadi Plt, udah," kata dia.

Terkait mekanisme pengunduran diri, Yorrys menyebutkan, Novanto hanya perlu membuat surat pernyataan dan menunjuk Airlangga Hartanto sebagai Plt Ketua Umum Partai Golkar.

"Dia bikin surat bahwa dia menunjuk Airlangga, gitu aja," ujar dia.

Nantinya, menurut Yorrys, pemilihan Ketua Umum Partai Golkar akan dilaksanakan saat Musyawarah Nasional (Munas) 2019.

"Munas 2019, kewenangan sama dengan Ketum. Kami tinggal lapor untuk asas legalitas Menkumham, selesai kan?" Yorrys menandaskan.

Ada suara berbeda. Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Mahyudin meminta segala persoalan internal di dalam tubuh partai berlambang beringin itu dihentikan.

"Imbauan saya hentikanlah manuver-manuver yang bisa menimbulkan perpecahan di dalam partai. Kita ikuti saja aturan partai yang berlaku, hormati AD/ART kita, kemudian kita juga hormati Ketum kita. Jaga kesatuan dan persatuan di dalam partai," ujar Mahyudin di Jakarta, Senin 2 Oktober 2017).

Menurut dia, mengingat Setya Novanto telah memenangkan putusan praperadilan terkait status tersangkanya dalam kasus dugaan korupsi e-KTP, tidak lagi diperlukan Plt Ketum Golkar.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.