Sukses

HEADLINE: Tersangka dan Sakit, Setnov Mundur dari Ketum Golkar?

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto jadi tersangka kasus E-KTP sejak 17 Juli lalu. Saat ini dia tengah dirawat di RS Premier Jatinegara.

Liputan6.com, Jakarta - Elite Partai Golkar terbelah. Penetapan tersangka dan sakitnya Ketua Umum Setya Novanto atau Setnov memunculkan polemik di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut.

Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Partai Golkar, Yorrys Raweyai, menyatakan Setnov harus dinonaktifkan sementara dan partai menunjuk pelaksana tugas.

"Rekomendasi politik kita meminta kepada ketua umum untuk dinonaktifkan dengan dua alasan. Pertama, Beliau mesti fokus untuk menyelesaikan kasus hukum. Kedua, karena kesehatan Beliau," kata Yorrys di Jakarta, Kamis, 28 September 2017 malam.

Yorrys menyatakan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar menyebut kepemimpinan Partai Golkar itu bersifat kolektif kolegial.

"Karena ini kan roda organisasi harus berjalan terus walaupun Pasal 19 AD/ART mengatakan kepemimpinan itu kan kolektif kolegial. Tetapi harus ada yang jadi juru kunci. Nah, ini tidak bisa kita biarkan," ujar Yorrys.

Yorry menyatakan, Setnov berstatus tersangka dan dirawat di rumah sakit. Hal itu pun membuat elektabilitas Golkar merosot drastis.

"Kalau dia sakit terus begini, kenapa tidak fokus pulihkan kesehatan dulu? Tergantung dia mau bagaimana, ini kan saran. Soal keputusan, itu di tangan dia karena dia kan masih ketua umum," ujar Yorrys.

Bila Setya Novanto tidak bersedia mundur, Yorrys menegaskan, Ketua DPR itu tidak bisa berbuat banyak. Apalagi keputusan pergantian posisi ketua umum sudah berdasarkan keinginan kader partai.

"Memang dia siapa? Ini kan sudah kolektif kolegial," ujar Yorrys.

Koordinator Bidang Kepartaian Partai Golkar, Kahar Muzakir, mengatakan, penunjukan Plt Ketua Umum diperlukan guna menanggapi turunnya elektabilitas partai sesudah Setnov ditetapkan sebagai tersangka.

"Intinya kira-kira ada penurunan elektabilitas faktor penyebabnya karena (partai) tersandera kasus e-KTP. Oleh karena itu, mereka berharap Pak Novanto mengundurkan diri," ujar Kahar.

Wacana penggantian Setnov mendapat dukungan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK. Tokoh senior Golkar yang juga mantan Ketua Umum Golkar itu menilai tepat jika Setnov mundur dari posisi Ketua Umum Golkar saat ini. Sebab, ketua partai punya pengaruh besar terhadap apa yang dilihat oleh publik.

"Sepantasnya begitu. Karena ini kita tidak bicara pribadi atau kita tidak bicara hanya legalitas. Kita bicara image (citra). Partai itu tergantung image masyarakat," kata JK di kantornya, Jakarta, Selasa, 26 September 2017.

JK menyatakan, kalau publik sudah menyatakan pimpinannya jelek, seharusnya pimpinan tersebut mundur.

Setnov sendiri saat ini tengah terbaring di RS Premier Jatinegara, Jakarta Timur. Tersangka KPK dalam kasus KTP elektronik atau e-KTP sejak 17 Juli lalu itu, tengah mendapat perawatan medis. Dia disebut menderita sejumlah penyakit, seperti jantung, vertigo, dan juga diabetes.

Sebelum di RS Premier, Setnov sempat dirawat di Rumah Sakit MRCCC Siloam Jakarta. Dia dirawat sejak Minggu, 10 September 2017 malam atau sehari jelang pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus e-KTP.

Saksikan vidio pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tolak Plt

Usulan Yorrys Cs yang mendapat lampu hijau dari JK itu tidak berbanding lurus dengan sikap pengurus Golkar lain.

Ketua Harian DPP Partai Golkar, Nurdin Halid, menegaskan hingga saat ini belum ada pembicaraan resmi terkait penggantian Setya Novanto dan menunjuk pelaksana tugas (Plt). Menurut Nurdin, dirinya sementara ini yang menggantikan Novanto.

"Kalau sesuai hierarki organisasi ya ketua harian, tapi saya tidak berambisi. Jadi nanti kita lihat," ujar Nurdin di Kantor DPP Partai Golkar Jalan Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Kamis 28 September 2017.

Dia mengatakan, seharusnya Plt itu ditunjuk langsung oleh Setya Novanto sebagai ketua umum.

"Harusnya yang menunjuk ketua umum. Makanya hasil kajian itu memberi kewenangan kepada ketua umum. Tapi kalau ketua umum tidak menggunakan haknya, kemudian DPP sudah memandang perlu ada Plt, DPP juga bisa mengambil keputusan," jelas Nurdin.

Nurdin mengaku dari internal tidak ada permintaan agar Setya Novanto mundur dari jabatannya. Namun, dia mengakui ada permintaan penunjukan Plt.

"Yang minta mundur itu dari luar, Pak JK (Jusuf Kalla), Akbar Tandjung. Dari dalam itu minta nonaktif dan supaya ada Plt," ujar Nurdin.

Alasannya, kata Nurdin, agar Novanto dapat fokus dengan masalah hukum yang kini sedang menderanya.

"Enggak ada yang minta mundur, dari internal itu minta supaya nonaktif. Agar konsentrasi mengurus masalah hukum dan kesehatan. Supaya partai ini pedomannya bisa berjalan dengan baik," ucapnya.

infografis Jalan Berliku Pergantian Setnov

"Beliau (Novanto) juga secara faktual dan fisik tidak bisa mengurus secara harian. Maksudnya baik, agar Beliau bisa konsentrasi, ada Plt. Itu masih kajian," ujar dia.

Ketua DPP Partai Golkar, Ali Wongso Sinaga, membantah ada keputusan rapat harian yang mendesak penggantian ketua umum. Menurut Ali, wacana Setnov mundur hanya hasil dari tim kajian elektabilitas.

"Jadi tidak benar itu keputusan rapat harian, tapi itu kajian daripada tim," ujar Ali di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (28/9/2017).

Pelaksana Tugas (Plt) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) itu menegaskan, yang terpenting Golkar mengerjakan program-program yang bisa kembali mengerek naik elektabilitas.

"Perlu segera program aksi yang bisa menggerakkan konsolidasi, organisasi kader, dan keanggotaan di tingkat basis. Apakah itu di tingkat kelurahan atau kecamatan, selain aktualisasi peran seluruh kader," kata dia.

Dengan begitu, lanjut Ali, tidak hanya mampu menaikkan elektabilitas Golkar, tetapi juga mendorong percepatan pembangunan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.

Ali juga menyebutkan hingga kini tidak ada kewajiban mencari Plt ketua umum untuk menggantikan Setya Novanto. Terlebih itu bukan keputusan rapat harian.

3 dari 3 halaman

Elektabilitas Melorot

Penetapan Ketua Umum Golkar Setya Novanto sebagai tersangka kasus E-KTP oleh KPK sejak 17 Juli 2017 lalu memang diyakini berpengaruh pada elektabilitas partai Beringin ini.

Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis 12 September lalu menyebut, elektabilitas Golkar pada 2017 melorot dibanding tahun lalu. Jika di 2016 elektabilitas Golkar ada di angka 14,1 persen, pada 2017, elektabiitas Golkar berada di angka 10,9 persen atau turun 3,2 persen.

Dari hasil survei tersebut, elektabilitas Golkar berada di urutan ketiga di bawah PDIP (35,1 persen) dan Partai Gerindra (14,2 persen).

Survei sendiri dilakukan CSIS dengan melibatkan 1000 responden di 34 propinsi dengan masa pengumpulan data pada 23-30 Agustus 2017.

Peneliti CSIS, Arya Fernandes, menyatakan penetapan Setnov sebagai tersangka menjadi salah satu penyebab turunnya elektabilitas Golkar tahun ini. "Golkar dilanda sejumlah masalah internal setahun terakhir ini, dan itu tidak mudah," ujar Arya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis 28 September 2017) malam.

Selain faktor Setnov tersangka, hal lain yang membuat turun adalah konsolidasi partai yang belum sepenuhnya berhasil usai perpecahan. "Selain itu juga karena Golkar belum mampu menggaet basis massa baru," ucap dia.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, menyatakan penetapan Setnov sebagai tersangka kaus E-KTP menjadi penyebab utama melorotnya elektabilitas Golkar.

Terlebih kasus yang menjerat Setnov adalah kasus besar yang melibatkan banyak kalangan dan nilainya fantastis.  Isu keterlibatan Setnov di kasus E-KTP jauh hari telah berembus sebelum dia ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.

"Wajarlah kalau kemudian ada sejumlah kader partai Golkar yang minta Setnov turun dari jabatan," kata Djayadi saat dihubungi Liputan6.com, Kamis 28 September 2017 malam.

Kasus Setnov, kata dia, selamanya akan menyandera Golkar jika Setnov masih menjabat sebagai ketua umum.

"Sekarang pilihan ada di petinggi Golkar, mau sampai kapan mereka bertahan dengan situasi seperti ini. Jika terus begini, bukan tidak mungkin elektabilitas golkar akan terus turun," kata Djayadi.

DPP Partai Golkar sejatinya tak tinggal diam. Mereka berencana menggelar rapat pleno dengan salah satu agenda membahas hasil tim kajian elektabilitas yang dipimpin Yorrys Raweyai.

Kajian tersebut menghasilkan permintaan agar Setnov diganti dan ditunjuk Plt ketua umum yang telah berstatus tersangka dan sedang sakit.

Nurdin Halid menyatakan, sedianya pleno digelar Kamis, 28 September 2017. Namun, akhirnya sidang ditunda sehari. Dia membantah penundaan karena menunggu hasil praperadilan Novanto pada Jumat, 29 September 2017.

"Enggak ada hubungannya (dengan praperadilan Novanto), rapat jalan terus. Ini karena Sekjen punya pertimbangan untuk ditunda besok," ujar Nurdin di Jakarta.

Ia mengaku sudah bertemu Sekjen Partai Golkar Idrus Marham terkait rencana penundaan ini.

Ketika ditanyakan apa saja yang dibicarakan dengan Sekjen, Nurdin enggan menjawab. "Sudah. Nanti malam atau besok pagi (ketemu Sekjen lagi)," jelas Nurdin.

Yorrys Raweyai juga membenarkan rapat pleno Kamis ditunda.

"Tadi Nurdin (Nurdin Halid) sudah tanda tangan untuk besok (Jumat, red) malam, pukul 19.00 WIB, pleno tapi belum ditandatangani Sekjen, karena masih fisioterapi," tutur Yorrys.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.