Sukses

Bisakah Kita Move-on dari Isu PKI?

Belakangan ada pihak lain yang terlibat aktif membicarakan isu PKI, yaitu lawan politik PDIP.

Liputan6.com, Jakarta - Biasanya isu PKI ramai lagi setiap September. Ini karena jamak diketahui adanya peristiwa yang disebut oleh pemerintah sebagai Gerakan 30 September 1965, yakni ketika sejumlah jenderal TNI AD (Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Darat) diculik dan disiksa serta dibunuh dengan kejam oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI kemudian dibubarkan dan dilarang keberadaannya. Namun, masalah tidak selesai sampai di situ. Anggota PKI—baik yang benar-benar memeluk ideologi komunis atau sekadar simpatisan maupun ikut-ikutan saja—diburu dan dieksekusi oleh militer dengan dibantu oleh GP Ansor, organisasi kepemudaan milik Nahdlatul Ulama.

Cerita masih berlanjut. Anak, kolega, kerabat bahkan mereka yang pernah berinteraksi dengan anggota PKI juga ikut menanggung beban sejarah ini.

Mereka sulit mendapat pekerjaan, kredit dari bank, ataupun sekadar hidup normal di tengah masyarakat selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru. Misalnya, acara resepsi pernikahan pun mereka tidak diundang karena sang empunya hajat khawatir terkena getahnya.

Semangat rekonsiliasi masa lalu muncul di awal reformasi, setelah tumbangnya Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid bukan saja meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu, tapi juga mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Ketetapan tersebut, menurut presiden ke-4 RI ini, melanggar hak hukum orang, dan besar kemungkinan telah menghukum orang tidak bersalah secara sewenang-wenang.

Ide Abdurrahman Wahid  atau Gus Dur ditolak dari delapan penjuru angin. TNI dan berbagai ormas Islam kompak keberatan dengan usulan di atas. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer, yang lama mendekam di penjara akibat dituduh sebagai anggota PKI, menyergah ucapan maaf dari Gus Dur, "Enak saja, cuma minta maaf!"

Walhasil, saat ini kita mewarisi pertikaian dua kubu. Pertama, mereka yang terus-menerus khawatir akan munculnya kembali kekuatan PKI, yang akan merombak dasar negara RI dan membalas dendam atas pembantaian yang terjadi dulu.

Kedua, mereka yang merupakan keluarga atau kerabat korban yang dituduh PKI, dipenjara, dan disiksa atau bahkan dibunuh tanpa proses hukum yang adil dan bermartabat. Kedua pihak inilah yang setiap September akan terus ramai membicarakan isu PKI.

Belakangan, ini ada pihak lain yang terlibat aktif membicarakan isu PKI, yaitu lawan politik PDIP, khususnya mereka yang anti dengan Presiden Jokowi.

Saya sebut "anti" karena mereka bukan lagi sekadar memberikan kritik—sesuatu yang justru diperlukan dalam demokrasi, tetapi sudah pada taraf membenci apa pun yang dilakukan Jokowi akibat kegagalan mereka memenangi Pilpres 2014.

Pihak anti-Jokowi ini mengarahkan telunjuk mereka kepada PDIP sebagai anak kandung Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didirikan Presiden Sukarno, yang ditengarai dekat dengan PKI pada periode 1965.

Bahkan, ada pula yang dengan tega menganggap Joko Widodo sebagai anak anggota PKI. Keterlibatan Cina dalam sejumlah megaproyek di pemerintahan saat ini, plus masuknya pekerja asing dari Negeri Tirai Bambu, dianggap sebagai indikasi kebangkitan ajaran komunis lewat PKI saat ini.

Di dunia global, ideologi komunis sudah babak belur. Ini berbeda dengan situasi di tahun 1965 saat poros Uni Soviet sangat berjaya dan menjadi salah satu kekuatan besar di dunia.

Era perang dingin antara kubu Uni Soviet dan kubu Amerika Serikat telah berakhir. Uni Soviet bubar dan yang tersisa hanyalah Rusia dan negara kecil pecahan Uni Soviet lainnya. Tembok Berlin sudah runtuh.

Cina sendiri saat ini tengah fokus pada ekspansi ekonomi, bukan kekuatan militer apalagi ideologi. Bukan saja di Indonesia. Bahkan di Australia pun Cina mengepakkan sayap bisnisnya. Kontrak pertambangan di Australia Barat dikuasai oleh pengusaha Cina.

Ekonomi Australia disebut-sebut bergantung pada Cina—dan konon ini yang menjelaskan kenapa Australia tidak terkena dampak krisis ekonomi global 10 tahun lalu, karena bisnis mereka dengan Cina relatif aman dan stabil.

Walhasil, ide komunis, apalagi PKI sebagai sebuah organisasi, amat sangat tidak menarik saat ini, berbeda dengan kondisi tahun 1960-an. Hanya orang bodoh yang terlambat datang dalam sejarah, yang masih mau percaya dengan propaganda komunis.

Karena itu, saya sukar percaya bahwa PKI masih punya kekuatan untuk bangkit kembali. Gentayangan pun PKI sudah susah sekarang, apalagi mau memobilisasi masa.

Namun, isu ini memang sengaja dibuat tidak jelas. Di tengah ketidakjelasan biasanya akan lebih mudah menggoreng isu. Maaf, seolah isu PKI berubah menjadi bau kentut yang bau busuknya tercium membuat orang lain marah-marah, tapi tidak jelas siapa yang sebenarnya kentut? Jangan-jangan bau busuk itu bukan bersumber dari PKI, tapi dari pihak yang anti dengan Jokowi dan PDIP dengan memanfaatkan konflik kedua kubu "September" di atas.

Satu hal yang harus diantisipasi adalah kalau kelompok yang terus mengembuskan isu PKI ke pemerintahan Jokowi ini berhasil memprovokasi para kiai pesantren NU.

Banyak kiai sepuh yang masih trauma dengan isu PKI, baik sebelum maupun sesudah 1965. Kekejaman PKI dan fitnah yang dilancarkan menjelang 1965 kepada tokoh umat Islam masih terus membayang.

Kalau sampai isu kebangkitan kembali PKI, yang saya sebut tidak berdasar, tidak jelas dan hanya semacam bau kentut saja, berhasil memprovokasi para kiai di pesantren, maka dipastikan isu ini akan terus menggelinding.

Pemerintah Jokowi akan sulit bekerja dan sibuk meredam gejolak kegaduhan ini nantinya. Maka Jokowi dan PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) harus turun ke bawah, menjelaskan pada para kiai bahwa isu PKI ini harus juga dibaca dalam konteks pertarungan elite politik dan bukan sesuatu yang nyata.

Kalau perlu Jokowi bisa meminta MUI (Majelis Ulama Indonesia) untuk membentuk Tim Investigasi dan Pencari Fakta keberadaan PKI saat ini. Hasil tim bisa dilaporkan kepada Jokowi dan diuji oleh publik.

Kalau ternyata hasilnya sahih bahwa ada PKI di sekitar kita, maka seperti kata Presiden Jokowi, "saya gebuk". Ayo kita gebuk bareng-bareng kalau memang sosoknya ada. Kalau tidak ada, masak kita mau menggebuk bau kentut?

Pada titik ini, kita membutuhkan kewarasan kolektif sebagai bangsa yang cerdas dan bermartabat. Mari kita tutup lembaran PKI ini. Kita jadikan sebagai pelajaran berharga untuk perjalanan sejarah bangsa.

Cukup sudah. Luka lama tak perlu digaruk kembali. Mari kita memaafkan masa lalu, mensyukuri masa kini, dan terus berharap untuk masa depan yang lebih baik. Semoga!

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.