Sukses

Celengan di Kancah Peradaban

Uang merupakan alat tukar yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia zaman modern. Zaman berubah tapi menabung di celengan tak pernah punah. Celengan berasal dari kata celeng atau babi hutan. Meski beragam bentuk, namanya tetap celengan.

Liputan6.com, Jakarta: Uang menjadi senjata untuk memenuhi kebutuhan hidup. Begitu lekatnya uang dan manusia, lahir istilah uang untuk hidup dan hidup untuk uang. Sebelum mengenal uang, pada abad pertengahan, manusia menerapkan sistem tukar menukar atau barter untuk memperoleh barang yang diinginkan. Barter ditinggalkan karena tidak praktis. Manusia kemudian memanfaatkan benda berharga dari alam untuk dijadikan uang. Saat itu logam dan kertas belum digunakan. Bobot uang bisa seberat batu gunung dan seringan bulu ayam. Ada yang berupa kapak, cangkang hewan laut, atau bahkan di Solomon, Kepulauan Pasifik, terdapat sejumlah uang batu yang beratnya mencapai empat hingga lima ton. Catatan arkeologis meyakini, uang batu Solomon adalah peninggalan masa lampau. Sampai kini, uang batu raksasa ini masih digunakan dan terakhir dibuat pada 1931 silam. Tentu tak mudah menyimpan uang model seperti itu, terlebih jika dimasukkan ke saku baju atau celana. Arsip paling tua menyebutkan, uang dalam bentuk sederhana berupa emas dan perak berasal 4.500 tahun silam dari Mesopotamia kuno, kini bagian selatan Irak. Munculnya uang kertas di Cina pertama kali, sekitar abad 14, membuat penggunaan bahan jenis uang semakin variatif. Ketika bentuk uang tak lagi rumit, tumbuh naluri primitif manusia untuk menyimpan harta ke dalam berbagai wadah. Dunia mengenalnya sebagai 'Piggy Bank', dan di Indonesia dikenal sebagai celengan. Rudi Corens, seorang seniman Belgia, yang menetap di Yogyakarta selama 25 tahun, merupakan kolektor lebih dari 600 ragam  permainan anak, termasuk celengan dari berbagai negara. Rudi termasuk orang yang percaya, celengan terkait erat dengan peradaban manusia dalam penggunaan uang.

***

Majapahit merupakan kerajaan besar yang pernah hidup di Nusantara pada abad ke-13. Jejak sejarah kerajaan agung tersebar di Mojokerto, Jawa Timur. Ada banyak artefak kerajaan itu yang dapat menjelaskan banyak hal, termasuk mengenai kehidupan ekonomi masyarakat. Terakota, misalnya, atau kerajinan tanah liat era Majapahit. Sebagai kerajaan yang luas kekuasaannya, Majapahit berorientasi ke bidang perdagangan. Perekonomian tanah Jawa yang tumbuh pesat saat itu berubah drastis karena pemerintahan Majapahit mengganti mata uang emas dan perak menjadi kepeng. Kepeng terbuat dari tembaga impor asal Cina. Penggunaan pecahan kecil atau receh diperlukan agar rakyat Majapahit bisa menggunakannya dalam aktivitas perekonomian sehari-hari. Celengan kuno tanah liat pun menjadi bukti rakyat Majapahit memiliki tradisi menabung di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi. Celengan berasal dari kata celeng, atau babi hutan. Meski beragam bentuk, namanya tetap celengan. Wujud celengan hewan bukanlah tanpa makna. Ini bentuk ekspresif manusia yang menganggap sejumlah binatang menandai simbol tertentu. Wujud babi diyakini sebagai bentuk kemakmuran. Zaman berubah, tapi menabung di celengan tak pernah punah. Di Indonesia mudah menjumpai mereka yang memiliki kebiasaan menyimpan uang tapi tidak di bank. Celengan-celengan yang terbuat dari lempung atau tanah liat tak pernah hilang. Banyak orangtua di tanah Jawa yang masih mengajarkan cara berhemat dengan teknik sederhana pada anak mereka Bahkan rupa dan bentuk celengan juga bisa menjadi media untuk membawa pesan moral. Rukani dan Wanito adalah seorang perajin gerabah dari Desa Trowulan, Jawa Timur. Keluarga besarnya secara turun-temurun mengajarkan pemanfaatan lempung, jenis tanah yang akan mengeras ketika kering dan lunak saat basah. Artefak celengan Majapahit berbentuk babi telah menginspirasi mereka untuk membuat hal serupa. Kenapa babi? Kedua kakak beradik Rukani dan Wanito meyakini celengan babi menjadi salah satu ciri khas tradisi masa lampau Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Selain itu, mereka ingin melestarikan sesuatu yang telah dilakukan rakyat Majapahit tempo dulu. Rukani dan Wanito tak pernah berhenti. Begitu juga Temu, perajin di wilayah Desa Kasongan, Yogyakarta. Lempung dan celengan telah menjadi bagian hidup mereka, di tengah arus zaman yang terus menjauhi pemanfaatan tanah sebagai wadah penyimpanan uang.(IDS/YUS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini