Sukses

Kalimat Sakti Arwah Leluhur

Masyarakat Sunda di Sumedang, Jabar, tak pernah buta akan kejadian masa datang. Setiap awal Tahun Baru Islam, mereka merengkuh arwah para leluhur untuk memberi pesan demi bekal masa depan.

Liputan6.com, Sumedang: Manusia selalu berkeinginan besar mengetahui kejadian di masa datang. Asa pun digantungkan pada "orang-orang sakti" penyambung alam gaib dan alam nyata. Itulah yang dilakukan masyarakat Sunda di Desa Pasir Biru, Kecamatan Rancakalong, pinggiran Kota Sumedang, Jawa Barat. Sebuah ritual kuno yang sakral menyambut kedatangan Tahun Baru Islam dengan tajuk "Upacara Rayagungan Sumedang Larang". Sambil menggantungkan harapan nan gemilang di hari esok, serangkaian mantra pun terucap penuh harap kepada Sang Pencipta.

Upacara Rayagung dalam bahasa Sunda berarti Perayaan Agung. Sedangkan Sumedang Larang adalah nama kerajaan kuno di Sumedang yang berjaya sebelum Kerajaan Padjadjaran. Awalnya, Rayagungan adalah perayaan masyarakat pedesaan untuk mensyukuri hasil panen. Tapi, dalam perkembangannya, berubah menjadi perayaan yang diikuti semua kalangan, mulai dari si kaya hingga si miskin, termasuk para petinggi dan sesepuh desa. Dalam acara ini, si kaya akan mendermakan sebagian dari karunia yang mereka peroleh untuk ikut dinikmati sesama. Uang receh yang dihamburkan pun disambut meriah masyarakat, terutama kaum anak. Pemberian duit ini dinamakan saweran.

Acara yang dihadiri sejumlah kalangan mulai dari tokoh agama yang dikenal dengan nama Abah Anom, juru ramal, petani, seniman, pejabat, sampai masyarakat awam ini digelar dengan meriah saban tahun. Dimulai dengan dendang Kidung Rajah Pamunah, sebuah kidung untuk memohon restu dari Sang Penguasa Jagad Raya, para nabi, wali, dan para Karuhun Prabu Tadji --pendiri Kerajaan Sumedang Larang. Asap dupa dan kemenyan pun mengepul, layaknya jamuan bagi roh-roh halus yang datang memenuhi undangan. Ketika restu didapat, para pendekar dan jawara mulai menunjukkan kemampuan: atraksi silat, melempar sebongkah batu besar ke perut, hingga menyayat kulit dengan pisau tajam.

Di tengah acara, Abah Anom yang bergelar Pupuhuk atau orang yang paling dituakan mulai beraksi. Kali ini, Sang Abah dirasuki arwah Pangeran Santri, seorang tokoh pendiri Kerajaan Sumedang Larang. Ramalan masa depan pun terurai lancar. Sebuah wejangan kramat untuk bekal hidup di tahun baru. Abah memperingatkan, rakyat waspada terhadap bencana yang akan terjadi. "Air akan meluap, api akan berkobar," ujar arwah Sang Pangeran. Tak pelak, air mata mengucur deras dari pelupuk mata semua hadirin yang mendengar.

Sang Mentari beranjak pergi. Hening mulai merayap lambat kala asap dupa kian semarak. Dan, kidung-kidung sakral kembali melantun. Ini saatnya, sang arwah kembali hadir menemui rakyat yang haus wejangan. Diiringi siulan gaib nan syahdu khas Aki Nata --tokoh yang dituakan-- dan dipimpin Aki Ncuk, semua pengikut beriring rapi menuju makam Kyai Gendeng Gawa, bekas pemimpin Desa Pasir Biru.

Di makam itu, peristiwa supranatural terulang. Roh Ki Gendeng Gawa menyeruak perlahan memenuhi jasad Aki Ncuk. Serangkaian sabda terangkai kusyuk bagi pengikut dan keturunan Ki Gendeng. Warga diminta saling mengasihi dan mengikuti ajaran Karuhun. Rakyat juga disuruh beribadah bersama, doraka silih elingan atau saling mengingatkan kesalahan, dan berbuat kebajikan.

Menjelang tengah malam, ritual puncak yang disebut Tarawangsa mulai disiapkan. Sebuah ritual persembahan bagi Sang Esa melalui tarian gaib. Saiku mengawali upacara mengundang roh-roh gaib masuk ke dalam selendang tujuh warna. Kala asap kemenyan makin pekat mengiringi tarian Sang Saiku yang diiringi musik rebeb jentreng, Saiku bersama enam dayangnya kerasukan roh-roh gaib. Para peserta pun mulai bertarawangsa atau menari digerakkan tujuh selendang tadi. Selendang yang mampu membuat tangan dan kaki bergerak tanpa sadar, terbawa ke alam bawah sadar. Konon, di dunia terawang itulah para penari menyadari kebesaran Sang Pencipta. Sebuah kekuatan maha besar yang tak tertandingi. Yang membuat rakyat dan semua tokoh masyarakat di Desa Pasir Biru menyadari ketakberdayaan manusia tanpa peringatan-peringatan yang diberikan Sang Pencipta melalui arwah-arwah sang leluhur. Pesan-pesan yang membuat mereka yakin menapaki dunia di masa datang. Disertai kerendahdirian di hadapan Sang Khalik.(MTA/Tim Potret)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini