Sukses

ICW: Temuan Pansus Angket Tidak Relevan

Pansus Angket KPK menjelang masa akhir kerjanya. ICW mengkritik proses kerja yang dilakukan Pansus.

Liputan6.com, Jakarta - Pansus Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap menyerahkan rekomendasi mereka di akhir masa kerja selama 60 hari. Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut beberapa kegiatan Pansus KPK tidak relevan dengan empat materi objek angket.

Peneliti ICW Donal Fariz memaparkan Pansus Angket berkunjung ke Badan Pemeriksa Keuangan, kepolisian, ke Kejagung, ke Lapas Suka Miskin dan Safehouse KPK.

"Menurut kami hanya dua yang relevan, BPK dan kepolisian, yang lain? Lapas korupsi, safehouse ini tidak. Kami sebut sebagai kunjungan politis dan kunjungan lobi," kata peneliti ICW Donal Fariz di Kantor ICW, Jakarta Timur, Minggu (27/8/2017).

ICW melihat cara kerja Pansus melebar. Mereka seperti berusaha mencari dan menemukan kesalahan KPK.

"Contoh kunjungan tersebut paling kentara pada saat mereka menemui terpidana di Suka Miskin, ini metode mengambil sampling sudah bermasalah," lanjut Donal.

Data ICW menunjukkan, ada lima ahli yang diundang Pansus Angket KPK. Menurut Donal, empat di antaranya menguntungkan Pansus, hanya satu yakni Mahfud MD yang dirasa ICW menguntungkan KPK karena menanyakan keabsahan Pansus Hak Angket. Namun, pendapat Mahfud MD tidak masuk ke dalam rekomendasi Pansus Angket.

"Kami menilai pemilihan ini, patut diduga ahli-ahli ini sudah dipilih dan untuk hanya mendukung argumentasi Pansus ini," kritik Donal.

Lebih jauh, ICW menilai adanya penggiringan opini dengan penebaran kabar bohong untuk melemahkan citra KPK.

"Seperti tudingan KPK punya rumah sekap, tudingan KPK pakai jet pribadi, tudingan LSM terima dana dari KPK, tudingan KPK terima pesanan kasus ini tidak mendasar," pungkas Donal.

Sebagai informasi, Pansus KPK terbentuk dengan empat materi objek awal yang dibacakan saat paripurna. Pertama Tata Kelola Keuangan KPK, kedua Tata Kelola Dokumentasi dalam proses hukum yang tidak cermat sehingga bocor ke publik, ketiga ketidakharmonisan internal KPK terhadap pimpinan KPK, dan keempat soal pencabutan BAP oleh Miryam dalam kasus E KTP karena diduga mendapat tekanan.

 

Saksikan Video Menarik Di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Temuan Pelanggaran

 

Sebelumnya, Pansus Angket mengeluarkan rekomendasi sementara yang berisi temuan Pansus. Sebelas dugaan pelanggaran itu lantas dibacakannya di Gedung DPR, 21 Agustus 2017. Berikut 11 temuan Pansus Angket KPK tersebut:

1. Dari aspek kelembagaan, KPK bergerak dan menjadikan dirinya sebagai lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan diawasi, serta menggunakan opini media untuk menekan para pengkritiknya.

2. Kelembagaan KPK dengan argumen independennya mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi membuat terjadinya abuse of power dalam sebuah negara hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

3. KPK dibentuk bukan atas mandat konstitusi, melainkan UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagai tindak lanjut atas perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka KPK sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya, dalam hal ini DPR, secara terbuka dan terukur.

4. KPK dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK belum bersesuaian atau patuh atas azas-azas yang meliputi azas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK.

5. Dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan esksistensi, jati diri, kehormatan dan kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara dan penegak hukum lain. KPK lebih mengedepankan praktek penindakan melalui pemberitaan atau opini dibanding pencegahan.

6. Fungsi supervisi KPK cenderung menangani sendiri tanpa koordinasi, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi, serta mengarahkan instansi kepolisian dan kejaksaan.

7. Dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan.

Ditemukan praktik tekanan, ancaman, bujukan, dan janji-janji. Bahkan juga didapatkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Selain itu, terjadi pencabutan BAP di persidangan, kesaksian palsu yang direkayasa. Hal-hal itu terjadi dan didapatkan Pansus.

8. Terkait dengan aparatur KPK, berbeda dengan unsur aparatur pada lembaga negara pada umumnya yang patuh dan taat kepada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Aparatur Negara lainnya, seperti UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.

9. Terkait dengan penggunaan anggaran berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang belum dapat dipertanggunjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan tersebut. Untuk itu, dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu.

Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasarannya, utamanya yang terkait kinerja KPK. Ke depan BPK juga perlu mengaudit sejumlah barang-barang sitaan (BASAN) dan barang-barang rampasan (BARAN). Pasalnya, dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan pansus di lima kantor, tidak didapatkan data-data BASAN dan BARAN dalam bentuk uang, rumah, tanah, dan bangunan.

10. Terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, pansus memberi dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM. Oleh karena itu, Komisi III DPR RI wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan terhadap instansi kepolisian dan kejaksaan.

11. Mengenai sejumlah kasus terkait dengan unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik dan penuntut umum KPK yang menjadi pemberitaan di publik, seperti laporan Niko Panji Tirtayasa ke Bareskrim, kasus penyiraman Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem, rekaman kesaksian Miryam Haryani, pertemuan Komisi III DPR dengan penyidik KPK, hal itu harus ditindaklanjuti Komisi III DPR. Dengan segera mengundang pihak KPK dan Polri dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar tidak terjadi polemik.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.