Sukses

Pelarian Rengasdengklok dan Susu Guntur Sukarno yang Tertinggal

Fatmawati kaget ada ribut-ribut di rumahnya tengah malam. Ternyata mereka para pemuda yang datang ingin membawa suaminya, Bung Karno.

Liputan6.com, Jakarta - Suara ribut-ribut membuat Fatmawati yang tengah menemani anak pertamanya, Guntur, terbangun dari tidurnya. Sekilas, terdengar suara ramai itu berasal dari ruang makan rumahnya.

Tampak, suaminya Bung Karno sedang berbincang serius dengan para pemuda dari kelompok Menteng 31. Fatmawati menggambarkan para pemuda itu berpakaian seram, mereka terlihat membawa pistol dan sebagian membawa sebilah pisau.

"Dengan gaya jagoannya, dia (salah seorang pemuda) mencabut pisaunya dengan mata terbelalak berseru, "Berpakaianlah Bung.., sudah tiba waktunya. Aku mengenal salah satu di antara mereka, di antaranya Sukarni," ucap Fatmawati.

Dalam perbincangan itu, para pemuda menginginkan Sukarno dan Hatta segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Namun Bung Karno menolak. Saat itu desas-desus kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Dunia ke-II telah santer terdengar. Belum ada pernyataan resmi soal kekalahan itu.

Buat Sukarno dan Hatta, kemerdekaan tak bisa diumumkan secara sepihak. Mesti melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sudah bekerja sejak 7 Agustus 1945. Sukarno adalah Ketua PPKI, sementara Hatta wakilnya.

Di tengah suara ribut-ribut dari ruang makan, tiba-tiba Bung Karno masuk menemuinya di dalam kamar. Kepada Fatmawati, Bung Karno mengatakan, para pemuda itu akan membawanya ke luar kota. Bung Karno saat itu sempat bertanya kepada istrinya itu, apakah ingin ikut bersamanya.

Sukarno, Fatmawati, Guntur Sukarnoputra dan Megawati Sukarnoputri (Foto: Buku berjudul Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno)

"Segera aku menjawab: Fat sama Guntur ikut. Ke mana Mas Pergi, di situ aku berada," ucap Fatmawati seperti di kutip dari buku Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno.

Setelah memastikan ikut dengan Bung Karno, Fatmawati lalu mempersiapkan keperluan yang mesti dibawa. Saat itu, ia tidak sempat menyiapkan pakaiannya, hanya pakaian Guntur, anak pertamanya yang ia bawa. Hanya dengan sehelai kain gendongan, putranya itu dia bawa.

Di luar rumah, sebuah sedan Fiat hitam kecil sudah menunggu. Di dalamnya, ternyata sudah ada Bung Hatta.

Susu Guntur yang Tertinggal

Dalam kondisi gelap dan udara yang begitu dingin, Fiat hitam itu meluncur ke sebuah tempat yang ia tidak ketahui. Fatmawati menggambarkan tempat itu seperti pos penjagaan. Belakangan diketahui, lokasi tersebut berada di Jatinegara.

Di lokasi ini, Fatmawati mengaku sempat beristirahat dan menyusui Guntur. Ia lalu menyadari bahwa susu bubuk yang biasa diminum Guntur tertinggal. Fatmawati sempat panik kala itu. Khawatir anaknya akan kehausan selama perjalanan.

"Aku tak tahu bahwa susu persediaan tertinggal. Akhirnya mobil Fiat yang kami tumpangi itu kembali mengambil susu bubuk yang tertinggal di Pegangsaan," kata dia. 

Setelah beberapa waktu menunggu, Hatta dan Sukarno bersama keluarga diminta pindah ke sebuah truk yang disopiri Iding. 

Alasan para pemuda, sedan terlalu besar untuk melewati jalan menuju tujuan akhir. Setelah beberapa saat, Hatta mahfum, ini siasat Sukarni cs supaya supir sedan itu tak tahu ke mana Hatta dan Sukarno dibawa.

Setelah menempuh perjalanan, Fatmawati baru mengetahui bahwa tujuannya adalah Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Mereka pun lalu dibawa ke sebuah asrama PETA.

Mereka masuk ke sebuah ruangan berlantai papan, tanpa meja dan kursi. Hanya ada tikar pandan. Rupanya ini ruang tidur para prajurit PETA.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Guntur Kencingi Bung Hatta

Setelah satu jam di sana, Hatta dan Sukarno diberitahu bahwa ada sebuah rumah milik seorang tuan tanah Tionghoa, Djiaw Kie Song, yang dikosongkan untuk mereka. Hatta, Sukarno, Fatmawati, dan Guntur pindah ke rumah yang di maksud.

Waktu berjalan. Hatta ingat, kerja mereka saat itu hanya bergantian mengasuh dan memangku Guntur. Ketika Hatta memangku Guntur, terjadi hal tak disangka. Guntur kencing. Hatta segera menurunkan Guntur ke lantai tapi tak urung celananya basah juga.

"Maka celana yang basah sebagian itu terpaksa dipakai terus sampai kering dengan sendirinya. Cuma dengan celana itu saya tidak dapat mengerjakan sembahyang," kenang Hatta.

Sekitar pukul 12.30 WIB, Hatta meminta pemuda yang berjaga di muka pintu untuk memanggil Sukarni. "Siapa itu, Tuan?" kata pemuda itu.

"Dia itu salah seorang pemuda yang mengantarkan kami ke rumah ini," terang Hatta.

Tak lama berselang, ia kembali dengan Sukarni yang langsung bertanya, "Ada apa, Bung?"

"Sukarni, revolusi yang akan mulai pukul 12 siang hari sudah dimulai? Apakah 15 ribu rakyat itu sudah masuk ke kota?"

"Saya belum dapat kabar soal itu, Bung."

"Kalau demikian, ada baiknya kau menelepon teman di kota, untuk memastikan hal itu."

3 dari 3 halaman

Misi Revolusi yang Gagal?

Di Jakarta, Kamis 16 Agustus sekitar pukul 08.00 WIB, Soediro muncul di rumah bosnya, Ahmad Subardjo, di Jalan Cikini Raya No 82. Dengan gugup, staf pribadi Subardjo itu melapor, "mereka telah menculik keduanya."

Subardjo adalah anggota sekaligus penasihat PPKI. Dia dekat dengan Laksmana Muda Tadashi Maeda, perwira penghubung Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Kelak, ia menjadi menteri luar negeri pertama Indonesia.

"Keduanya siapa?" kata Soebardjo seperti ditulisnya kembali dalam buku Lahirnja Republik Indonesia.

"Sukarno dan Hatta."

"Ke mana mereka pergi?"

"Saya tidak tahu. Mereka sekarang sedang mengadakan rapat di kantor kita di Prapatan dan Wikana ada di antara mereka. Mereka tidak mau memberitahukan di mana kedua pemimpin itu disimpan."

Sempat melaporkan hal ini ke Maeda, Subardjo menuju kantornya di Jalan Prapatan No 59 untuk menemui Wikana, yang juga salah seorang stafnya. "Apa yang telah kamu perbuat terhadap Sukarno dan Hatta?" ujar Subardjo.

"Hal itu merupakan keputusan kami dalam pertemuan semalam. Untuk keselamatan mereka, kami membawa ke sebuah tempat di luar Jakarta," kata Wikana.

"Apakah akibat dari tindakan tersebut telah kamu pikirkan?"

"Putusan itu bukan keputusan pribadi saya, tapi merupakan keputusan dari semua golongan pemuda. Tugas saya adalah membujuk Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin dan kembali melaporkan."

Subardjo mendesak Wikana untuk membocorkan tempat Sukarno dan Hatta dibawa. Wikana gamang. Ia lalu bilang akan merundingkan hal itu dulu dengan teman-temannya. Wikana pergi.

Beberapa waktu kemudian, Wikana datang kembali bersama Pandu Kartawiguna, pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang Domei.

"Nah, apa keputusannya?" cecar Subardjo.

Pandu menjawab, "kami tidak dapat mengatakan kepada Bung karena kami pun tidak tahu tempatnya. Teman-teman PETA yang tahu. Mereka bahkan tidak mau mengambil risiko dengan memberi tahu kami. Kita semua sedang menunggu seseorang yang akan membawa kabar tentang itu."

Setelah alot bernegosiasi, Subardjo akhirnya diberitahu bahwa Sukarno dan Hatta ada di Rengasdengklok. Dia langsung berangkat sore itu juga untuk menjemput.

Tak ada penolakan dari pihak pemuda, terutama setelah Subardjo menyampaikan kabar bahwa Jepang telah resmi menyerah dari Sekutu.

Pada Kamis 16 Agustus sekitar pukul 21.00 WIB, Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Isyarat kemerdekaan yang dicita-citakan saat itu kian terlihat  jelas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.