Sukses

Pesan dalam Kangkung untuk Bung Karno di Parapat

Di Parapat, Sukarno ditempatkan di sebuah rumah dengan pemandangan yang indah namun akses menuju ke sana cukup sulit.

Liputan6.com, Jakarta - Kemerdekaan Bangsa Indonesia diuji. Kebebasan yang baru seumur jagung yang direbut dengan darah dan airmata kembali ingin dikoyak Belanda.

19 Desember 1948, Belanda melakukan serangan besar-besaran ke Yogyakarta yang menjadi ibu kota Indonesia. Belasan pesawat tempur menghujani kota Yogyakarta dengan bom dan roket.

Tak banyak yang bisa dilakukan para pejuang kemerdekaan. Mereka terdesak oleh serangan sporadis dengan peralatan tempur modern tersebut. Di bawah komando Panglima Besar Jenderal Sudirman, para pejuang memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan pergi ke hutan sekitar melanjutkan perlawanan dengan gerilya.

Presiden Sukarno menerima Panglima Besar Jenderal Sudirman di Gedung Agung Yogyakarta, tempat Presiden berkantor selama Ibu Kota pindah ke Yogyakarta. (Ist)

Yogyakarta pun jatuh ke tangan Belanda.

Sukarno yang telah menjabat sebagai Presiden RI pertama akhirnya ditahan di Istana Yogyakarta.

"Kemana kami akan dibawa?" ucap Sukarno membuka perbincangan pagi, 22 Desember 1948.

"Aku tidak tahu," ujar Kolonel Van Langen ketus.

Tanpa banyak bicara, sang kolonel meminta Sukarno bersiap dalam waktu lima menit untuk mengemasi barang-barangnya dan pamitan dengan keluarga. 

Pagi itu, menjadi titik baru kehidupan Bung Karno. Dengan pesawat B-25 dia kembali diasingkan ke sebuah tempat. Tak ada yang tahu kemana dia akan dibawa. Sampai kemudian pilot merobek segel sebuah pesan sangat rahasia di ketinggian ribuan kaki, baru diketahui tujuan dari pengasingan tersebut. Pesawan pun meluncur ke tujuan yang tertera dalam pesan rahasia itu: Berastagi. 

Di Berastagi, Sukarno bersama rombongan bapak bangsa lainnya, Haji Agus Salim dan Syahrir di tempatkan di sebuah tempat tinggal yang dikelilingi kawat berduri. Enam penjaga bersenjata lengkap secara bergiliran menjaga rumah tersebut. Sangat ketat.

Tak cukup itu, beredar kabar Berastagi akan menjadi tempat pengasingan terakhir Sukarno. Dia akan dieksekusi dengan ditembak keesokan harinya.

Seorang perempuan juru masak di rumah tersebut mengabarkan hal itu saat menyusup ke kamar Sukarno.

"Pak, tadi saya menanyakan apa yang akan saya masak untuk Bapak besok, dan opsir yang bertugas menjawab: Tak perlu masak apapun, Sukarno akan ditembak besok," ujar perempuan yang bersimpati ke Sukarno tersebut.

Saksikan video menarik di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menuju Parapat

Namun, kabar eksekusi yang sempat membuat takut Sukarno tidak terbukti. Belanda terdesak di Berastagi. Mereka pun memutuskan membawa Sukarno dan rombongan ke Parapat, sebuah daerah di pinggiran Danau Toba. Butuh perjalanan seharian dari Berastagi untuk sampai ke Parapat.

Belanda telah menguasai wilayah ini sejak lama. Di Parapat, Sukarno ditempatkan di sebuah rumah dengan pemandangan yang indah namun akses menuju ke sana cukup sulit.

"Rumah kami ditahan sangat indah tapi tak mudah dijangkau," ujar Sukarno seperti dikutip dalam buku Sukarno Penyambung Lidah Rakyat, karya Cindy Adams.

Rumah pengasingan Sukarno di Parapat Sumatera Utara

Di Parapat, di tengah ketatnya penjagaan, Bung Karno tetap berupaya membangun komunikasi dengan dunia luar. Keberadaan pelayan bernama Ludin, warga setempat yang ditugaskan menjadi pelayan Presiden RI pertama tersebut, banyak membantu Sukarno berkomunikasi dengan para pejuang di luar Parapat.

Ludin menjadi penghubung Bung Karno dengan pemimpin dan pejuang di luar. Selain sebagai pelayan, Ludin juga berprofesi sebagai pedagang dan memiliki hubungan dengan kelompok gerilya.

Pusat pertemuan antara Ludin dan para pejuang gerilya adalah pasar. Dimana pesan atau surat yang ditulis Bung Karno dilipat di dalam daun kemudian dimasukkan diselipkan di lipatan celana Ludin.

Di pasar sebagai lokasi pertemuan, para pejuang gerilya yang berpura-pura jadi pedagang sudah menunggu.

"Kalau kami menjual ayam, lihatlah di bawah sayapnya pesan untukmu. Atau kalau kami menjual ikan, potonglah perutnya," kata Bung Karno.

Aksi Ludin sebagai penghubung perjuangan tidak pernah tercium dan tidak pernah dicurigai para tentara pengawal.

Pada suatu hari, pejuang mengirim pesan yang dimasukkan dalam batang sayur kangkung kemudian dimasukkan lagi ke dalam mulut ikan. Pesan berisi rencana para pemuda pejuang Parapat untuk membebaskan Bung Karno.

Pada hari yang sudah diputuskan, satu kelompok gerilyawan mulai merayap mendekati tempat tinggal Sukarno menggunakan perahu. Namun, aksi para gerilyawan gagal. Pasukan penjaga Belanda mencium keberadaan mereka sebelum berhasil mendekat ke rumah pengasingan Bung Karno, hingga akhirnya mereka jadi sasaran senjata mesin para tentara Belanda.

3 dari 3 halaman

Saksi Seteru Sukarno-Syahrir

Pengasingan Parapat juga menjadi saksi kehidupan para pemimpin bangsa yang tidak selalu harmonis. Seperti diakui Bung Karno sendiri, dirinya kerap bertengkar dengan Sjahrir.

Tokoh Partai Sosialis itu menyalahkan Sukarno terkait agresi militer Belanda. Sjahrir menilai keputusan Bung Karno mengumumkan rencananya menghadiri undangan Nehru, pemimpin India saat itu, merupakan pemicu serbuan Belanda.

Sutan Sjahrir, Sukarno, Mohammad Hatta. (Ist)

Setelah beberapa minggu di Parapat, mereka dihubungi oleh pihak Belanda. Perdana Menteri Belanda Willem Dress menyatakan ingin berbicara dengan pemimpin Republik Indonesia.

Namun, Dress hanya mau berbicara dengan Sjahrir, bukan dengan Sukarno selaku Presiden RI saat itu. Sjahrir menyetujui permintaan itu. Tetapi Bung Karno menolak tegas.

"Saya menentang sama sekali siasat ini. Lagi-lagi berunding dalam kedudukan sebagai tawanan," kata Bung Karno mengingatkan Sjahrir.

Tetapi Sjahrir bergeming. Dia tetap berangkat ke Jakarta. Ia berjanji hanya seminggu di Jakarta. Sementara Bung Karno dan Haji Agus Salim tetap mendekam di pengasingan di Parapat. Dan Sjahrir akhirnya tidak pernah kembali ke Parapat.

"Dia tidak pernah kembali. Dia tidak pernah melaporkannya kepadaku," keluh Bung Karno.

Akhir Januari 1949, Bung Karno dan Haji Agus Salim dipindahkan ke Pulau Bangka. Keduanya menumpangi pesawat Catalina dan mendarat di rawa-rawa di Pulau Bangka.

Di Bangka Bung Karno dan Haji Agus Salim berkumpul dengan pemimpin Republik yang lain, seperti Bung Hatta dan Ali Sastroamidjojo.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.