Sukses

Jokowi, Wajah Ndeso, dan Tudingan Diktator

Presiden Jokowi mulai angkat bicara soal berbagai tudingan yang menerpa dia dan pemerintahannya.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo alias Jokowi mulai angkat bicara soal berbagai tudingan yang menerpa dia dan pemerintahannya. Salah satu yang terus disinggung adalah tudingan sikap diktator dan otoriter.

Lahirnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) disinyalir menjadi titik awal tudingan itu muncul. Pemerintah dinilai arogan dan tergesa-gesa dalam menyikapi pembubaran ormas anti-Pancasila.

Setelah cukup lama diam, Jokowi akhirnya berkomentar soal tuduhan itu. Jokowi punya cara tak biasa dalam menanggapi sebuah masalah.

Pertama kali, Jokowi menjawab tudingan otoriter dan diktator saat membuka Pasanggirinas dan Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Persinas (Perguruan Silat Nasional) ASAD di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Saat itu, seorang anak perempuan yang maju ke atas panggung seakan takut berdiri di dekat Jokowi.

Jokowi kemudian meminta bocah bernama Gladis itu berdiri lebih dekat. Pria bertubuh kurus itu meyakinkan Gladis bahwa dia bukan sosok diktator yang perlu ditakuti.

"Sini dekat. Presidennya bukan diktator, kok. Di socmed banyak yang bilang Presiden Jokowi otoriter, diktator. Masak wajah begini diktator," kata Jokowi, Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2017.

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut kembali menyinggung masalah ini saat membuka simposium internasional Mahkamah Konstitusi se-Asia di Solo, Jawa Tengah. Kali itu, dia meyakinkan tak ada kekuasaan mutlak di Indonesia.

"Merujuk konstitusi kami, tidak ada satu pun institusi yang memiliki kekuasaan mutlak, apalagi seperti diktator," ujar Jokowi, Rabu, 9 Agustus 2017.

Stigma negatif yang terus bergulir di media sosial khususnya, cukup membuat Jokowi resah. Dia juga tak habis pikir dengan cara pandang masyarakat soal tipe kepemimpinan yang pas untuk Indonesia.

Jokowi ingat betul, ketika dia mula-mula mengawali tugas sebagai presiden. Sebagian masyarakat melihat sosok Jokowi sebagai pemimpin yang ndeso, klemar-klemer, dan cenderung tidak tegas.

Kini pola pikir itu berubah 180 derajat ketika mantan Wali Kota Solo tersebut menegakkan aturan hukum tanpa pandang bulu. Puncaknya, ketika Jokowi meneken Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Perppu ini memang disiapkan untuk mempercepat proses pembubaran ormas anti-Pancasila, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

"Eh, begitu kita menegakkan UU, balik lagi. Loncat menjadi otoriter, menjadi diktator. Yang benar yang mana? Yang klemar-klemer, yang ndeso, atau yang diktator, atau yang otoriter?" ujar Jokowi usai meresmikan Museum Keris Nusantara di Solo, Jawa Tengah.

Ayah tiga anak itu memastikan tidak ada ruang untuk pemimpin diktator dan otoriter di Indonesia. Sistem demokrasi dan konstitusi yang dianut Indonesia membuat setiap lembaga bisa mengawasi lembaga lainnya.

"Jadi negara ini negara hukum yang demokratis, yang itu dijamin oleh konstitusi. Enggak akan ada yang namanya diktator dan otoriter. Enggak akan ada," ujar Jokowi.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik Jokowi karena lebih banyak diam dalam menanggapi permasalahan bangsa. Fahri mendorong Jokowi agar lebih banyak bicara dan menjelaskan kepada masyarakat agar semua mengerti permasalahan yang sedang dihadapi.

"Pak Jokowi kurang berbicara, tidak boleh. Ini bangsa besar tidak ingin dipimpin diam-diam, harus dialektika," ujar Fahri di Cibubur, Jakarta Timur, Minggu, 6 Agustus 2017.

Jokowi menyebut, dia tidak punya alasan khusus sampai akhirnya memilih angkat bicara soal tudingan diktator ini. Dia bermaksud mengklarifikasi pernyataan seseorang, tapi hanya ingin menjawab suara sumbang yang belakangan santer terdengar. 

"Ya (menjawab) suara-suara yang ada," pungkas Jokowi.

Saksikan video berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.