Sukses

3 Ketua Lembaga Tinggi Negara yang Terjerat Kasus Korupsi

Setya Novanto menjadi tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik atau e-KTP.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik atau e-KTP, Senin 17 Juli 2017.

Ketua Umum Partai Golkar yang akrab dipanggil Setnov itu diduga telah melakukan tindakan korupsi dengan menguntungkan diri sendiri atau orang, atau korporasi dalam pengadaan proyek e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.

Setnov bukanlah satu-satunya ketua lembaga tinggi negara yang terjerat kasus hukum. Sebelumnya dua nama lain, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman juga terjerat kasus korupsi. Keduanya kini tengah meringkuk di balik jeruji besi.

Berikut perjalanan kasus mereka:

1. Akil Mochtar

Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini pernah berujar jika hakim MK melakukan korupsi maka akan dia gantung di tiang gedung MK. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Kabar menghebohkan terjadi Rabu malam, 2 Oktober 2013. KPK menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra nomor 7 Jakarta Selatan. Akil diciduk bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berinisial CHN dan seorang pengusaha berinisial CN.

"Ditangkap setelah serah-terima uang sekitar pukul 22.00," kata juru bicara KPK Johan Budi, 3 Oktober 2013.

Setelah penangkapan di Widya Candra, KPK juga menangkap dua orang lainnya di sebuah hotel di Jakarta Pusat. Keduanya adalah Bupati Gunung Mas Kalimantan Tengah, Hambit Bintih dan seorang lagi berinisial DH. Dalam operasi tersebut, KPK menyita sejumlah uang dolar Singapura senilai Rp 2 miliar.

Akil dibawa ke pengadilan. Dia didakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di MK dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Akil Mochtar kemudian divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Selain itu hak politik Akil untuk memilih dan dipilih juga dicabut.

Vonis ini sesuai dengan tuntutan jaksa yang menuntut Akil Mochtar dipenjara seumur hidup.

"Menyatakan bahwa terdakwa Akil Mochtar terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan gabungan perbuatan," ujar Ketua Majelis Hakim Suwidya di PN Tipikor Jakarta dalam amar putusannya, Senin 30 Juni 2014.

Akil yang duduk di kursi terdakwa terlihat tegar menerima vonis hakim yang merupakan hukuman terberat yang pernah dijatuhkan PN Tipikor Jakarta bagi seorang terdakwa.

Pantauan Liputan6.com di lokasi, mengenakan kemeja putih lengan panjang, mantan politisi Golkar itu hanya menatap tajam ke arah majelis hakim yang berada di hadapannya.

Akil memutuskan banding atas putusan tersebut. Namun di tingkat kejati dan Mahkamah Agung, keputusan tersebut tidak berubah. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Akil sehingga dia tetap harus menjalani hukuman seumur hidup.

"Permohonan kasasi M Akil Mokhtar yang dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Tinggi DKI, tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung," kata anggota Majelis Hakim Kasasi Krisna Harahap di Jakarta, Senin 23 Februari 2015.

Krisna menjelaskan permohonan kasasi ditolak antara lain dengan pertimbangan bahwa Akil Mokhtar adalah hakim Mahkamah Konstitusi yang seharusnya merupakan negarawan sejati yang steril dari perbuatan tindak pidana korupsi.

Selain menolak permohonan kasasi Akil, Mahkamah Agung juga tidak mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum yang menginginkan penambahan hukuman Akil Mochtar dengan denda Rp 10 miliar.

Saksikan video di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

2. Irman Gusman

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya, Jalan Denpasar Raya Blok C3 Nomor 8 Jakarta, Sabtu, 17 September 2016 dini hari.

Irman langsung ditetapkan sebagai tersangka. Dia disangkakan menerima Rp 100 juta dalam perkara kuota impor gula.

"Dari operasi tangkap tangan, tim mengamankan uang Rp 100 juta pemberian pengusaha XSS (Xaveriandy Susanto) kepada IG (Irman Gusman) terkait pengurusan kuota impor gula," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu Sabtu 17 September 2016.

Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/2). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Di persidangan, Irman didakwa menerima suap Rp 100 juta dari Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Susanto dan istrinya, Memi. Uang itu diberikan sebagai hadiah atas alokasi gula impor dari Perum Bulog kepada‎ CV Semesta Berjaya untuk wilayah Sumatera Barat.

Dalam dakwaan Jaksa terungkap, Irman memanfaatkan jabatannya sebagai Ketua DPD untuk memengaruhi Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti agar bersedia mengirim stok gula impor ke Sumbar lewat CV Semesta Berjaya.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) akhirnya  menjatuhkan vonis penjara 4 tahun 6 bulan dengan denda Rp 200 juta atau subsider 3 bulan kurungan kepada Irman Gusman.

"Dengan ini majelis hakim menilai, saudara Irman terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan," ujar Hakim Tipikor Nawawi saat membacakan putusan, Jakarta, Senin 20 Februari 2017.

Selain itu, majelis hakim menetapkan Irman Gusman tak mendapatkan hak politik selama 3 tahun.

"Menetapkan tidak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun usai menjalani pidana pokok," kata Nawawi.

Pada sidang sebelumnya, 8 Februari 2017, Irman Gusman dituntut 7 tahun penjara oleh PN Tipikor. Selain itu, Irman harus membayar denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan penjara.

Irman memutuskan menerima vonis tersebut dan tidak melakukan banding.

 

3 dari 3 halaman

3. Setya Novanto

Catatan kelam ketua lembaga tinggi negara terjerat korupsi bertambah. Kali ini, KPK menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, Senin 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga telah melakukan tindakan korupsi dengan menguntungkan diri sendiri atau orang, atau korporasi dalam pengadaan proyek e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.

Ketua KPK, Agus Rahardjo mengatakan, keputusan penetapan tersangka diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN, anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan, sehingga diduga mengakibatkan negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Agus di Gedung KPK, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.

Ketua DPR Setya Novanto tiba di gedung KPK, Jakarta, Jumat (14/7). Setya Novanto diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP  dengan tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Setnov diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Atas perbuatannya, Ketua Umum Partai Golkar itu disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Nama Setya Novanto telah berulang kali disebut dalam persidangan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.

Dalam dakwaan kasus e-KTP, Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar dan Andi Narogong selaku penyedia barang dan jasa di  lingkungan Kemendagri, dianggarkan mendapat bagian sebesar Rp 574 miliar dalam megakorupsi tersebut.

Jumlah yang sama juga disebutkan telah dialokasikan untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin.

Alasan Setya Novanto dan Anas Urbaningrum diberikan jumlah besar karena keduanya dianggap perwakilan dari dua partai besar saat itu, serta dapat mengawal proyek  yang akan digulirkan di gedung dewan.

Dari data yang dihimpun, Setya Novanto diperiksa perdana oleh penyidik KPK pada Selasa 13 Desember 2017. Saat itu, ia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Sugiharto.

Setya Novanto sebelumnya tegas membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dugaan korupsi KTP elektronik atau e-KTP.

Novanto menegaskan tidak pernah bertemu Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong.Dia juga dengan tegas mengatakan, tidak pernah menerima apa pun dari aliran dana e-KTP.

"Saya tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin bahkan menyampaikan yang berkaitan dengan e-KTP. Bahkan, saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari e-KTP," ujar Setya Novanto usai menghadiri Rakornas Partai Golkar di Redtop Hotel, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.