Sukses

Kesaksian Hamdan Zoelva: Akil Tak Pernah Beri Kode Perkara Buton

Jaksa menghadirkan mantan Hakim MK Hamdan Zoelva sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Bupati nonaktif Buton Samsu Umar kepada Akil Mochtar.

Liputan6.com, Jakarta Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Bupati nonaktif Buton Samsu Umar Abdul Saimun kepada Hakim MK Akil Mochtar.

Dalam sidang, Jaksa menanyakan soal ada tidaknya 'kode' dari Akil Mochtar kepada saksi Hamdan agar memutus suatu perkara untuk dimenangkan ke salah satu pihak. Baik itu pemohon atau termohon, khususnya dalam penanganan kasus perkara MK Nomor : 91-92/PHPU.D-IX/2011 tanggal 24 Juli 2012, tentang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Buton Tahun 2011.

"Pernah enggak Pak Akil, sebut atau bilang pada saudara saksi 'Pak Zoelva, ini ada permohonan atau ini ada isinya (uangnya) lah ini kasarnya?" kata Jaksa KPK dalam sidang di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (19/6/2017).

"Selama saya sama Pak Akil, tidak hanya Buton ya seluruh perkara ya kami tidak pernah kode istilahnya atau ada tanya-tanya putusan," jawab Hamdan Zoelva.

Dia menuturkan, dalam kaitan sidang perkara sengketa Pilkada Buton memang Akil Mochtar menjadi pimpinan sidang. Namun dalam setiap pengambilan atau lahirnya keputusan, anggota hakim dan ketua sama porsinya. Malahan, kata Hamdan, saat akan melahirkan putusan, Akil adalah hakim terakhir yang mengutarakan pendapat atau putusan.

"Memang secara etik diberikan kepada anggota dulu pandangan (putusan). Jadi Pak Akil terakhir saat itu (mengutarakan putusan), karena ketua panel. Ini sudah lama ya 2011, seingat saya itu antara saya atau hakim lain yang utarakan dan sepakat mufakat semua," beber dia.

Hamdan menegaskan, selama bertugas menjadi Hakim Konstitusi, dirinya juga tidak pernah terpengaruh apalagi dipengaruhi atau bahkan bisa ditekan dengan gelombang demo dalam memutus suatu perkara.

"Mau ada demo 2 ribu atau 3 ribu orang itu tidak pengaruh, jadi saya akan ambil putusan sesuai bukti persidangan saja," dia menandaskan.

Dakwaan Jaksa

Dalam dakwaan, jaksa menyebut Samsu Umar memberikan uang Rp 1 miliar kepada Akil untuk mempengaruhi putusan akhir perkara MK No: 91-92/PHPU.D-IX/2011 tanggal 24 Juli 2012, tentang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Buton Tahun 2011.

"Terdakwa memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan untuk diadili," kata jaksa di PN Tipikor, Jakarta, Senin 12 Juni.

Awalnya pada Agustus 2011, Samsu menjadi peserta Pilkada Buton sebagai calon bupati berpasangan dengan La Bakry sebagai calon wakil bupati. Pilkada Buton saat itu diikuti sembilan pasangan calon.

Lalu 4 Agustus 2011 dilakukan pemungutan suara dan hasil penghitungan suara, KPU Kabupaten Buton menetapkan pasangan nomor 3 yaitu Agus Feisal Hidayat dan Yaudu Salam Adjo sebagai pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Buton.

Samsu bersama calon wakil bupati dan dua pasangan calon lainnya mengajukan gugatan ke Mahakamah Konstitusi. Dan hasilnya, keputusan KPU tersebut dibatalkan.

Pemilihan ulang pun dilakukan. Dari pemilihan ulang itu, KPU akhirnya menetapkan Samsu dan pasangannya sebagai peserta yang paling unggul dengan perolehan suara terbanyak. Tak terima dengan hasil itu, pasangan calon lainnya kembali mengajukan gugatan ke MK.

Pada 16 Juli 2012, Samsu dihubungi oleh Arbab Paproeka yang mengajak bertemu di Hotel Borobudur Jakarta dan dia menyetujuinya. Tiba di Hotel Borobudur, Arbab pun menyampaikan kepada Samsu bahwa Akil hadir di ruangan tersebut.

Pada malam harinya setelah pertemuan, Samsu menerima telepon Arbab yang menyampaikan adanya permintaan Akil, agar dia menyediakan uang sebesar Rp 5 miliar terkait putusan akhir dalam perkara Perselisihan Hasil Pilkada di Kabupaten Buton.

Menindaklanjuti permintaan tersebut, Samsu memberi uang Rp 1 miliar kepada Akil. Penyerahan uang dilakukan sesuai dengan arahan yang diberikan Arbab.

Samsu didakwa melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.






Saksikan video menarik di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.