Sukses

Pansus Hak Angket KPK Siap Panggil Paksa Miryam

Bambang menjelaskan perintah pemanggilan paksa itu, selain diatur dalam konstitusi juga tercantum di Pasal 204 UU MD3.

Liputan6.com, Jakarta - Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Hak Angket KPK) kemungkinan akan menggunakan mekanisme panggil paksa, apabila KPK bersikukuh menolak permintaan pansus untuk menghadirkan tersangka pemberian keterangan palsu dalam sidang KTP elektronik (e-KTP) Miryam S Haryani.

"Kalau pun nanti terjadi pemanggilan paksa oleh Kepolisian untuk dihadirkan pada sidang Pansus Hak Angket, itu bukanlah keinginan Pansus DPR ataupun Polri, tapi perintah UU," kata anggota Pansus Hak Angket KPK Bambang Soesatyo, Minggu (18/6/2017).

Bambang menjelaskan perintah pemanggilan paksa itu, selain diatur dalam konstitusi juga tercantum di Pasal 204 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Dalam pasal tersebut, kata Bambang, dinyatakan secara tegas Warga Negara Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing (WNA), yang dipanggil panitia angket wajib memenuhi panggilan.

"Jika tidak memenuhi panggilan tiga kali berturut-turut, maka Panitia Angket bisa meminta bantuan Polri untuk memanggil paksa," ujar politikus Partai Golkar itu.

Menurut Bambang, KPK sebagai pelaksana undang-undang menjalankan tugas sesuai tugas, pokok, dan fungsi (Tupoksi) berlandaskan aturan dan undang-undang.

Karena itu, Bambang menegaskan, kalau panggilan Pansus Angket tidak dipenuhi, maka akan dikirimkan lagi surat pemanggilan kedua.

"Sama dengan KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan kalau mengirimkan surat panggilan," ujar pria yang karib disapa Bamsoet itu, seperti dilansir Antara.

Namun, Bambang menanggapi santai pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa institusinya tidak akan menghadirkan Miryam dalam rapat Pansus Angket. Karena hak angket KPK bukan urusan personal tapi tugas konstitusi.

Karena itu, Bambang mengingatkan, apa yang dijalankan Pansus Angket juga berdasarkan konstitusi dan UU. Sehingga pansus akan menjalankannya.

Bukan Menyelidiki Perkara KPK

Sementara, anggota Pansus Angket Masinton Pasaribu menilai, sikap reaksioner KPK terhadap pansus yang dibentuk DPR itu mengundang pertanyaan dan kecurigaan.

Hal itu, menurut Masinton, karena KPK adalah kategori lembaga negara yang wajib tunduk, taat, dan patuh pada keputusan DPR yang dimandatkan UUD dan perundang-undangan melakukan penyelidikan terhadap institusi negara yang melaksanakan undang-undang.

"Karena itu KPK jangan menjadi institusi arogan yang merasa paling benar, dan menginjak-injak konstitusi dan perundang-undangan negara kita," ujar dia.

Politikus PDIP itu mengatakan, hak angket adalah perintah konstitusi yang dimiliki DPR, dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasannya untuk melakukan penyelidikan.

Tugas dan fungsi pengawasan itu, menurut Masinton, tercantum dalam Pasal 20A ayat 1 dan 2 UUD 1945, serta teknis pembentukan Pansus Hak Angket DPR RI diatur dalam UU MD3.

"Sejak awal DPR berkomitmen membentuk Pansus Hak Angket KPK, bukan untuk menyelidiki penanganan perkara yang ditangani oleh KPK," kata dia.

Masinton menjelaskan hak angket sebagai hak pengawasan tertinggi DPR RI, untuk melakukan penyelidikan atas pelaksanaan perundang-undangan yang dilakukan KPK.

Masinton mencontohkan pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi, serta UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

 

 

 

 

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.