Sukses

Megawati: Indonesia Bukan Milik Satu Golongan

Ketua Umun PDIP Megawati Soekarnoputri menegaskan Indonesia bukanlah milik satu golongan.

Liputan6.com, Blitar - Ketua Umun PDIP Megawati Soekarnoputri menegaskan Indonesia bukanlah milik satu golongan. Dia menyatakan hal itu karena melihat fenomena intoleran yang terjadi belakangan ini.

"Hari ini kita melihat ada sebagian dari bangsa Indonesia yang justru tidak memperbesar cara berpikirnya. Justru sempit. Sepertinya hanya ada satu golongan kelompok saja yang punya Tanah Air tercinta ini. Saya melihat seperti itu," tutur Megawati usai ziarah di makam Bung Karno, Blitar, Jawa Timur, Senin 5 Juni 2017.

Megawati menyampaikan, warga Indonesia sangat beragam dan pluralis. Ideologi Pancasila menjadi asas negara yang sudah tepat diterapkan di Tanah Air.

"Bagaimana mereka tidak mau berpikir dengan baik, padahal negara yang disebut Timur Tengah sampai saat ini masih porak poranda. Belum bisa dicapai perdamaian kembali. Apakah itu bukanlah contoh yang buruk? Bagian besarnya yang berkelahi dan bunuh membunuh itu nyatanya umat Islam di sana sendiri," jelas dia.

Megawati menyampaikan bahwa masyarakat mestinya dapat memahami bahwa kultur budaya di Indonesia sangatlah beragam. Untuk itu, sikap toleransi menjadi penting tidak hanya terkait agama, tapi juga soal etnis, suku, dan budaya.

"Tanpa empat pilar, yaitu NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, maka pada prinsipnya kalau salah satu saja goyang maka negara ini akan ikut mengalami kegoncangan," tutur Megawati.

Dia menyebut, terkadang dirinya merenungi sejarah bangsa Indonesia. Nyatanya, pada penjajahan Belanda dulu, ratusan tahun mereka berkuasa di Tanah Air lantaran menggunakan isu perpecahan.

"Sering saya bertanya kenapa kita bisa dijajah 350 tahun? Padahal, begitu banyak perlawanan di banyak daerah dari Aceh sampai Merauke tapi selalu gagal. Itu sebetulnya, sebabnya karena kita itu mudah dipecah belah," jelas dia.

Bangsa Indonesia akhirnya dapat terbebas dari belenggu itu setelah lahir putra sang fajar yang disebut Bung Karno. Dia menggelorakan suaranya dan semangat persatuan sehingga berhasil membuat deklarasi Sumpah Pemuda. "Baru dari situ kita merasa, kita ini Bhinneka Tunggal Ika. Beragam tapi satu jua. Itu baru kita dapat memproklamasikan kemerdekaan kita," ujar Megawati.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Ada Negara Islam

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengatakan, pada masa lalu, Nabi Muhammad tidak pernah mendeklarasikan berdirinya negara Islam. Hal itu mengacu kepada toleransi yang ditunjukkan Sang Rasul Allah itu saat baru memasuki Kota Madinah.

"Nabi Muhammad masuk ke Yatsrib dan mendapati masyarakat di sana yang plural. Ada muhajirin, ada anshor. Pribumi beragama Islam dengan dua suku, yakni Aus dan Khadraj. Yahudi pun ada tiga suku," terang Said Aqil.

Dia melanjutkan, ketika Nabi Muhammad melihat kondisi yang plural itu, dia membuat ketetapan bahwa muslim pendatang, muslim pribumi, dan pribumi yahudi sesungguhnya adalah satu umat. Artinya bahwa berdirinya pemerintahan di sana bukanlah berdasarkan agama ataupun suku, tapi berlandaskan kondisi masyarakat atau citizen.

"Artinya Nabi Muhammad tidak pernah mendeklarasikan negara Islam dan berdirinya negara Arab," beber dia.

"Orang yang menghormati perbedaan itu berakhlak mulia. Orang toleran tidak mungkin hatinya tidak mulia. Bangsa yang berkarater itu toleran, yang menghargai perbedaan satu sama lain," Said Aqil menjelaskan.

Islam di Indonesia, sambungnya, haruslah dapat menjadi penengah dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada di Tanah Air. Agar tetap moderat, kualitas pendidikan agama mesti ditingkatkan untuk generasi muda bangsa.

"Allah tidak menghendaki menciptakan manusia satu suku. Kalau Allah berkenan niscaya bisa satu bangsa semua ini. Islam semua juga. Tapi Allah tidak menghendaki. Itu namanya sikap moderat," terang Said Aqil.

Menurut Said Aqil, itulah yang disebut sebagai Islam Nusantara. Islam yang menjadikan budaya sebagai infrastruktur agama. Terkecuali budaya yang melanggar syariat.

"Jangan agama digunakan untuk bisnis, digunakan untuk politik, digunakan untuk berpakaian. Tapi berpolitiklah, berbisnislah untuk agama. Berpakaianlah gamis untuk beragama bukan berdemo," Said Aqil menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.