Sukses

Pluralisme Semu Berselimut Kekerasan

Pluralisme cuma dipahami sebagai pengakuan atas perbedaan, tapi tak sampai pada sikap nyata atas perbedaan. Kondisi itu berpotensi konflik, seperti, mungkin pada kasus penusukan jemaat HKBP Bekasi.

WAJAH damai Indonesia kembali dirusak aksi kekerasan sekelompok orang yang tak bertanggung jawab. Dua anggota jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Mustika Jaya, Bekasi, diserang dan ditusuk orang tak dikenal pada Minggu (12/9), saat mereka hendak beribadah.

Polisi, tiba-tiba—tanpa penyelidikan yang semestinya—memastikan bahwa penganiayaan itu adalah kasus kriminal murni. Padahal, semua orang yang melek berita, pasti paham bahwa kasus penusukan itu punya latar belakang masalah lama, yaitu penolakan pendirian gereja di wilayah tersebut.

Mendengar pernyataan polisi ini, masyarakat bertanya-tanya. Bila sekadar kasus kriminal murni, mengapa kemudian semua pihak mengeluarkan pernyataan? Tak hanya lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh partai, menteri, bahkan sampai Presiden pun berkomentar. Apa hebatnya dua anggota jemaat HKBP itu sampai-sampai semua orang berkomentar?

Mari menelaah peristiwa tanpa maksud terselubung. Tentu kita menghargai maksud polisi untuk melokalisir masalah—jika benar demikian. Tapi, tentu harus dipikirkan juga bahwa kasus ini adalah kasus laten. Persoalan sejenis masih sering muncul di tengah slogan-slogan pluralisme dan kebebasan beragama. Dan sudah berulang kali.

Ada dua hal yang patut dicermati tentang kasus ini. Pertama, soal budaya kekerasan yang masih kerap digunakan. Kedua adalah, soal jaminan kebebasan beribadat dan mendirikan tempat ibadah.

Menolak pembangunan sebuah tempat peribadatan—dengan berbagai alasan—adalah kasus yang jamak. Tapi kemudian menolak dengan cara-cara kekerasan adalah persoalan lain yang serius. Apalagi, jika mengatasnamakan agama.

Sebagian masyarakat kita tampaknya lebih mudah menggunakan mulut untuk berteriak dan menggunakan tangan untuk memukul. Ketimbang, menggunakan telinga untuk mendengar dan menggunakan pikiran dan hati untuk bertindak.

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kebebasan beragama adalah sebuah amanat konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) disebutkan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

Masih ada lagi. Pasal 28 E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 Tahun 2000 menyebutkan: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Inilah payung hukum yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh para pendiri negeri ini. Tentu saja, untuk menciptakan kedamaian di tengah keberagaman atau kerap kita sebut pluralisme. Inilah juga yang pernah diperjuangkan oleh almarhum Nurcholis Madjid dan mantan Presiden Gus Dur.

Tetapi tampaknya, slogan pluralisme belum seindah kenyataan. Pluralisme hanya dipahami sebagai bentuk pengakuan atas perbedaan yang ada, namun belum sampai pada pernyataan sikap yang nyata atas perbedaan itu. Padahal perbedaan pernyataan dan sikap ini tentu berbahaya, karena berpotensi melahirkan konflik, yang mungkin satu di antaranya bisa dicontohkan dengan penusukan jemaat HKBP Bekasi tadi.

Menyatakan menerima kelompok yang berbeda saja tentu tidak cukup. Sebab, yang penting dari arti pluralisme adalah persamaan perlakuan, dan di sinilah peran negara dibutuhkan. Negara, yang sudah didukung dengan UUD tentu harus bertanggung jawab penuh.

Mungkin tak semua orang tahu bahwa ternyata, pemerintah telah menganggarkan dana miliaran rupiah untuk menjaga kerukunan hidup beragama. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Periode 2009-2010, Departemen Agama memperolah dana Rp 30,5 miliar untuk program kerukunan hidup beragama.

Tetapi dalam catatan FITRA, 37 persen atau sekitar Rp 11,5 miliar dari anggaran itu digunakan untuk kegiatan pascakonflik. Artinya, Departemen Agama belum bekerja sesuai perencanaan yang semestinya untuk menjaga kerukunan dan menghindari konflik.

Sekadar tambahan data untuk introspeksi diri. November 2004 lampau, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah bersama Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal mengadakan survei tentang orientasi sosial-politik Islam. Hasil survei menunjukkan terjadinya peningkatan intoleransi terhadap pemeluk agama lain: sikap keberatan terhadap umat Kristen mengajar di sekolah negeri mencapai 24,8 persen, melakukan kebaktian sebesar 40,8 persen, dan keberatan soal pembangunan gereja sampai menembus angka 49,9 persen.

Sekali lagi tanpa bermaksud memanas-manasi, fakta tersebut adalah pekerjaan rumah utama pemerintah, pekerjaan rumah penting Departemen Agama, dan tentu menjadi bagian dari pekerjaan rumah kita semua.

Peristiwa kekerasan yang menimpa jemaat HKBP Bekasi itu tak boleh lagi berulang, dengan alasan apapun. Polisi harus segera bertindak untuk menangkap pelaku penganiayaan, serta mengembalikan rasa aman warga yang ingin beribadat sebagaimana mestinya, seperti yang dijanjikan UUD negeri ini. Departemen Agama sudah sepantasnya bekerja lebih baik, dan menggunakan anggaran yang ada untuk menghindarkan konflik dan gesekan antarumat.



Marthin B.L.
Kepala Departemen Liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini