Sukses

LBH Jakarta: Vonis Ahok Bisa Memicu Kriminalisasi Minoritas

Pasal 156a merupakan pasal yang notabene mengekang hak seseorang untuk menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nurani.

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta merespons putusan penodaan agama yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Vonis dua tahun penjara merupakan preseden ancaman bagi kelompok minoritas dan individu yang berbeda keyakinan.

"Pasal 156a (KUHP) selama ini terbukti menjadi alasan pembenar negara dan pihak mayoritas yang intoleran untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas, atau individu yang berbeda keyakinan dengan warga negara mayoritas," kata Ketua LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Rabu (10/5/2017).

Menurut Alghiffari, pasal 156a merupakan pasal yang notabene mengekang hak seseorang untuk menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nurani, serta hak atas kebebasan berekspresi, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E UUD 1945, dan UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, serta berbagai aturan hukum lain.

Alghiffari menilai, akibat penerapan pasal 156a dalam putusan yang diketuk majelis hakim, Selasa 9 Mei 2017, Ahok merupakan korban di tengah masyarakat mayoritas muslim.

"Hari ke depan bisa jadi yang menjadi korban kriminalisasi adalah individu muslim di tengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu atau Budha atau Kristen," kata Alghiffari.

Majelis Hakim, Alghiffari menambahkan, tidak melihat bahwa unsur mencederai umat Islam, menimbulkan kegaduhan serta memecah kerukunan di masyarakat justru disebarkan oleh kelompok-kelompok intoleran yang melaporkan Ahok dan mendorong Ahok masuk ke meja hijau.

"Majelis Hakim membebankan segala bentuk kegaduhan dan gerakan massa yang menimbulkan keresahan di publik selama ini kepada Ahok seorang dan menghukumnya untuk itu," kata dia.

Alghiffari mengkhawatirkan ke depan putusan yang diketuk Hakim kepada Ahok dapat memicu masyarakat untuk melaporkan pasal penodaan agama.

"Putusan Majelis Hakim pada perkara ini justru memicu masyarakat untuk semakin giat menggunakan pasal penodaan agama yang antidemokrasi ini di kemudian hari," jelas Alghiffari.

LBH meminta masyarakat untuk menghargai perbedaan dan kebebasan berpendapat juga berekspresi.

"Jika hal ini tidak dijaga bersama, maka siapa pun dan siapa saja bisa dipenjarakan semata karena berbeda pendapat atau ekspresinya dianggap melukai perasaan orang lain, sesuatu yang sulit diukur secara objektif," kata Alghiffari.

Alghiffari menyatakan, LBH Jakarta mendesak pemerintah meninjau ulang perumusan delik penodaan agama yang saat ini sedang berlangsung dalam pembahasan RUU KUHP di DPR.

"Dan menghapuskan pasal antidemokrasi tersebut demi menghormati prinsip demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia serta kepastian hukum di Indonesia," Alghiffari menegaskan.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis pidana penjara selama 2 tahun terhadap Ahok pada Selasa, 9 Mei 2017.

"Memperhatikan Pasal 156a huruf a KUHP dan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 serta ketentuan lain yang bersangkutan, mengadili, menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa olah karena itu dengan pidana penjara selama dua tahun," kata Ketua Hakim Dwiarso Budi Santiarso.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.