Sukses

Setara Institute: Majelis Hakim Ahok di Bawah Tekanan Massa

Hendardi menilai vonis Ahok mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukan.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai vonis 2 tahun penjara untuk Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, merupakan kasus penodaan agama ke-97 yang terjadi sepanjang 1965-2017.

Hendardi mengatakan, sebagai sebuah mekanisme demokrasi, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara harus dihormati, meskipun menurutnya putusan hakim di bawah tekanan.

"Harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa, yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki," ujar Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/5/2017).

Hendardi menilai vonis Ahok mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukan, bagi siapa pun dan untuk kepentingan apa pun.

"Bahkan, dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi pasca-1998. Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP," ujar dia.

Hendardi menilai vonis Ahok di luar kelaziman karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan JPU. Karena gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, jaksa hanya menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP.

"Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU," ujar dia.

Namun, kata Hendardi, kemerdekaan hakim semestinya sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan. Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Ahok dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, mestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Ahok.

"Atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU," dia melanjutkan.

Menyimak konsideran vonis Ahok, kata Hendardi, tampak bahwa hakim menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks peristiwa hukum itu. Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan ucapan Ahok.

"Tapi di sisi lain, hakim a historis dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat. Betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukan yang efektif, untuk memenangi sebuah kontestasi," ujar dia.

Kerumunan Massa Jadi Legitimasi

Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek nonhukum inilah, menurut Hendardi, yang membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob (percobaan massa).

"Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd, dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Basuki," ujar dia.

Hendardi menyebutkan, trial by mob sudah dipastikan bertentangan dengan rule of law (aturan hukum) dan membahayakan demokrasi serta negara hukum ini.

"Karena sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan UUD, menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari prinsip-prinsip negara hukum," kata dia.

"Due process of law dalam penegakan Pasal 156a tidak pernah dilakukan, padahal genus Pasal 156a adalah UU No 1/PNPS/1965 yang menuntut adanya peringatan dan proses-proses non-yudisial, sebelum seseorang diproses secara hukum," dia melanjutkan.

Trial by mob juga, kata Hendardi, telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas in dubio pro reo atau keraguan untuk terdakwa dalam memutuskan kasus Ahok.

"Asas ini memandu hakim, jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, maka haruslah diputuskan berdasarkan pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa. Lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah," Hendardi menandaskan.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.