Sukses

KPK Periksa Tersangka Suap Kemenakertrans dan Penerbitan Paspor

Febri menuturkan, kasus dugaan suap di Dirjen P2KTrans ini mirip dengan kasus mega korupsi e-KTP.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan pemeriksaan anggota DPR periode 2009-2014 yang juga tersangka dalam kasus suap di Dirjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KTrans) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakerstrans).

"CJM (Charles Jones Mesang) hari ini diperiksa penyidik terkait kasus di Kemenkertrans," tutur Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (8/5/2017).

Sebelumnya, Febri juga menuturkan, kasus dugaan suap di Dirjen P2KTrans ini mirip dengan kasus mega korupsi e-KTP. "Bahwa ada perencanaan dari awal yang dilakukan oleh birokrasi dan DPR. Dalam hal ini, anggota DPR RI pihak Banggar," kata Febri, Kamis 6 April 2017.

Dalam kasus ini, penyidik telah memeriksa eks Pimpinan Banggar DPR Tahun 2013, Ahmadi Noor Supit pada 10 April 2017. Pemeriksaan ini untuk mengusut aliran dana dalam kasus tersebut.

KPK resmi menetapkan Charles Jones Mesang sebagai tersangka. Charles diduga menerima gratifikasi atau hadiah atau janji terkait pembahasan anggaran untuk dana optimalisasi Ditjen P2KTrans pada Kemenakertrans tahun 2014.

KPK menyatakan terus mengembangkan kasus tersebut. Sebab, lembaga antikorupsi itu yakin selain Charles juga terdapat oknum lainnya yang turut menikmati suap dari mantan Ditjen P2KTrans pada Kemenakertrans, Jamaluddien Malik tersebut. Jamaluddien telah divonis enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta dalam kasus ini.

Kasus Penerbitan Paspor

Penyidik KPK juga terus mendalami informasi dalam kasus penerbitan paspor Indonesia dengan metode reach out dan calling visa pada 2016. Kali ini, penyidik memeriksa Atase Imigrasi KBRI Malaysia sekaligus tersangka dalam kasus ini, Dwi Widodo.

"Yang bersangkutan akan diperiksa sebagai tersangka," ujar Febri.

KPK pun telah resmi menahan Dwi selama untuk 20 hari ke depan sejak 21 April 2017. Penahanan dilakukan di Rutan Guntur, Jakarta Selatan.

Sebelumnya, penyidik telah menetapkan Dwi Widodo sebagai tersangka penerbitan paspor RI dengan metode reach out pada 2016. Dia diduga menerima uang sejumlah Rp 1 miliar.

Dwi diduga meminta uang melebihi tarif yang ditentukan dari pihak perusahaan yang mengurus paspor dan visa tenaga kerja Indonesia di Malaysia untuk membantu membuat paspor baru yang hilang atau rusak.

Dwi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Kasus Korupsi Alquran

Selain itu, KPK juga terus menelusuri aliran dana dalam kasus suap pengurusan anggaran dan pengadaan Alquran di Kementerian Agama tahun anggaran 2011-2012. Penyidik hari ini memeriksa PNS Kabag Sekertariat Banggar DPR RI Nurul Fauziah dan Asisten Manajer Operasional BRI Cabang Karawang Dadi Putro Utomo.

"Keduanya, diperiksa sebagai saksi untuk tersangka FEF (Fahd El Fouz)," kata Febri.

Sebelumnya, pada Rabu 3 Mei 2017, KPK terlebih dahulu memeriksa mantan anggota Komisi VIII DPR RI Zulkaranen Djabar dan mantan Anggota DPR RI Periode 2009-2014 Chairunnisa sebagai saksi untuk Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) itu.

KPK telah menetapkan Fahd El Fouz atau Fahd A Rafiq sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Alquran dan laboratorium di Kementerian Agama (Kemenag) tahun anggaran 2011-2012. Fahd merupakan tersangka ketiga dalam perkara ini.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 15 tahun penjara serta denda sebesar Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan kepada Zulkarnaen Djabar. Sementara Dendy Prasetya, yang juga anak Zulkarnaen Djabar dihukum penjara 8 tahun dan denda Rp 300 juta.

Fahd juga pernah menjadi tersangka kasus yang berkaitan dengan bantuan pengalokasian anggaran bidang infrastruktur daerah (DPID) tahun anggaran 2011 untuk tiga wilayah Kabupaten di Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah.

Fahd telah divonis oleh PN Tipikor dengan pidana penjara 2 tahun 6 bulan serta denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.