Sukses

Akhir Cerita Tempat Cukur Legendaris di Glodok

Dari sembilan pemangkas rambut, tersisa satu pemangkas di kedai cukur Ko Tang.

Liputan6.com, Jakarta - Dari belasan kursi pendek yang tersedia, hanya dua yang digunakan. Satu untuk tukang cukur, dan satu lagi untuk orang yang dicukurnya. Begitulah suasana sehari-hari di Pangkas Rambut Ko Tang sejak tiga bulan lalu.

"Kalau mau cukur harus tunggu yang itu selesai dulu," ujar Ncik Gani, salah satu karyawan usaha pangkas rambut sederhana itu, saat ditemui tim penerima beasiswa jurnalistik 'Upclose and personal with Journalism' kerjasama British Council dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sabtu 29 Mei 2017.

Sambil menunggu, Gani menunjukkan tumpukan majalah di rak dekat meja cukur yang telah dikumpulkan selama dua tahun terakhir. Ia membuka majalah itu satu-satu dan menceritakan tentang kisah tempat cukur ini.

"Dulu banyak yang antre untuk cukur," kenang Gani, memulai ceritanya.

Namun kini, usaha kecil yang telah dijalankan secara turun-temurun itu hanya bisa menangani satu pelanggan sekali waktu.

Di dinding-dinding bangunan selebar enam meter itu terpajang kumpulan-kumpulan artikel dan foto-foto lawas yang menandakan ketenaran masa lalu. Salah satunya adalah foto Sandiaga Uno, wakil gubernur terpilih DKI Jakarta.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Djarot Saiful Hidayat juga pernah mampir ke tempat pangkas rambut di Jalan Pintu Besar Selatan III 10, Pinang Siang, Tambora, Jakarta Barat ini. Dari sana, tempat cukur ini sering disebut-sebut sebagai pembawa peruntungan.

"Cukur di sini bisa jadi presiden," kata Gani berseloroh.

"Kalau Ahok ke sini juga, mungkin kemarin bisa menang," timpal tukang cukur lain di seberang ruangan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ketenaran Masa Lalu

Sambil menunggu rampung kesibukan awal hari para pekerja, Liputan6.com berkunjung ke para pedagang yang berdampingan langsung dengan Pangkas Rambut Ko Tang. Usaha kecil itu diapit oleh dua rumah makan yang sering dikunjungi banyak orang.

Ketenaran Pangkas Rambut Ko Tang datang dengan singkat dan pergi secara cepat, begitulah Daniel Chung dari Ketupat Gloria 65 mengisahkan usaha tetangganya.

Daniel mengatakan, tempat cukur itu memang sudah dikenal secara turun-temurun oleh kaum peranakan sebagai pembawa peruntungan, tetapi baru sekitar dua tahun lalu benar-benar digemari.

"Yang suka ke sana orang-orang tua, seusia bapak saya," tutur Daniel.

Siti Maimunah, pegawai Soto Betawi Afung, juga berkisah tentang hal yang sama. Dia adalah salah satu orang yang turut merasakan keriuhan saat para tokoh-tokoh politik bertandang ke Pangkas Rambut Ko Tang.

"Saya pernah lihat Jokowi, Pak Djarot, dan Sandiaga Uno," kisah Maimunah.

Saat para tokoh itu datang, jalanan mendadak ramai. Orang-orang atau warga sekitar berkumpul untuk melihat dan menyambut tokoh tersebut. Mereka rela menunggu di luar jendela untuk melihat tokoh-tokoh itu potong rambut. Beberapa di antaranya sampai menunggu untuk bisa berfoto bersama para tokoh.

Suasana keriuhan itu tak lagi terasa. Letaknya yang diapit dua rumah makan dan jalanan yang ramai membuat usaha sederhana itu terlihat lebih lengang. "Ada sih ada ya, tetapi cukup sepi," jelas Siti sembari meracik bumbu-bumbu soto.

3 dari 4 halaman

Tukang Cukur Terakhir

"Ini nih, yang biasa potong rambut Sandiaga Uno," ujar Ncik Gani sambil menepuk kursi pendek berwarna biru yang tak digunakan.

Kursi ini, kata dia, adalah kursi milik salah satu tukang cukur senior Pangkas Rambut Ko Tang. Kursi cukur itu tak lagi digunakan sejak Koh Pi Cis terkena stroke Desember lalu.

Gani kemudian menunjuk ke arah lelaki paruh baya yang sedang sibuk memangkas rambut di seberang ruangan.

"Tiga bulan lalu Koh Ji Sin meninggal dunia. Sekarang tinggal satu yang potong rambut," jelas Gani.

Tukang cukur itu tidak mau diganggu. Ia sibuk saja mengapitkan dua jari ke gunting gaya lawas untuk merapikan ujung-ujung rambut lelaki paruh baya di depannya. Sesekali ia merundukkan kepala untuk melihat hasil potongannya dengan seksama.

Alis laki-laki pemegang gunting tradisional itu terpaut, kedua matanya menyipit. Setelah memastikan tak ada yang terlewat di kedua sisi samping kepala, dia kembali menegapkan badan. Satu jam, itulah kisaran waktu yang diperlukannya untuk merampungkan satu potongan rambut.

Namanya Koh A Pauw, tukang cukur terakhir di Pangkas Rambut Ko Tang. Perawakannya sederhana, dengan kemeja motif lawas berwarna kuning, celana kain, dan sepatu hitam. Kini, dia satu-satunya yang bisa memotong rambut sekaligus memberikan pelayanan korek kuping khas tempat pangkas rambut tersebut.

A Pauw mulai berkisah tentang usaha kecil yang digelutinya. Pangkas Rambut Ko Tang berawal dari tukang-tukang cukur asal Tiongkok yang merantau ke Jawa. Pada 1936, para perantau itu memutuskan untuk membuat toko cukur di sekitar wilayah tinggal orang-orang keturunan Tionghoa.

"Saya bekerja di sini meneruskan ayah saya," kata A Pauw.

Saat dia mulai bekerja, ada sembilan tukang cukur yang sehari-hari bekerja di Pangkas Rambut Ko Tang. Dari ujung pintu hingga pojok ruangan, semua penuh oleh tukang-tukang cukur dan para pelanggan.

"Sekarang tinggal saya yang di sini. Sehari-hari juga saya semua yang potong," ujar A Pauw.

4 dari 4 halaman

Menjaga Tradisi

A Pauw mengalihkan pandangan ke pelanggan yang beberapa menit lalu duduk tepat di hadapannya. Perawakan pelanggan itu mirip dengan si pemangkas. Wajahnya memperlihatkan usia paruh baya, dengan potongan rambut yang tidak jauh berbeda pula.

"Saya bisanya ya potong begini, gaya orang tua." jelas A Pauw, merujuk ke potongan rambut yang baru saja dituntaskannya.

Potongan rambut khas orang tua bukan satu-satunya ciri Pangkas Rambut Ko Tang. Usaha kecil yang terletak di sela-sela jalanan sempit Pasar Glodok Pancoran ini juga memberikan pelayanan korek kuping tradisional dengan teknik yang dipelajari dari Tiongkok.

Kali ini Ncik Yeye, salah satu karyawan, menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan gaya mencapit. Ia sedang memperagakan gaya Koh A Pauw dalam menggunakan alat korek kuping.

"Ini tidak bisa dipelajari sembarangan," ujar Yeye. Dia bilang, untuk memegang alatnya secara benar  membutuhkan waktu cukup lama.

Teknik korek kuping Pangkas Rambut Ko Tang dibawa orang-orang Tionghoa yang mampir ke Jawa. Untuk bisa mempelajarinya seorang calon tukang cukur harus berguru bertahun-tahun. Koh A Pauw saja perlu berguru tiga tahun sampai diperbolehkan menggunakan alat korek kuping itu.

"Saya dulu tiga tahun belajar di Jember sampai bisa korek kuping," jelas Koh A Pauw. Ia kemudian bercerita tentang pengalamannya mempelajari teknik cukur tradisional.

Tiga tahun ia merantau ke Jember untuk berguru pada orang-orang yang melestarikan teknik cukur tradisional khas Tiongkok. Mulanya ia hanya diperbolehkan membersihkan lantai dan alat-alat yang digunakan. Setelah pengamatan teknik serta penggunaan alat selama bertahun-tahun, barulah dia benar-benar mendapat pengajaran.

Itu semua dilakukan karena teknik cukur serta korek kuping tidak boleh dipelajari secara sembarangan. Satu langkah salah saja bisa mengganggu kesehatan pelanggan. Karenanya, proses pembelajaran dianggap sebagai sesuatu yang sakral.

Selama merantau, A Pauw juga harus menghabiskan waktu sehari-hari di tempat cukur. Ia tinggal di penginapan yang dikelola oleh pengajarnya di Jember. "Sekarang susah cari anak muda yang mau begitu," keluh A Pauw.

Sulit mencari orang yang benar-benar ingin belajar, ketidaktersediaan penginapan bagi yang ingin, dan minimnya jumlah pelanggan membuat A Pauw dan ketiga karyawan Pangkas Rambut Ko Tang sungkan mencari penerus.

Saat ditanyai tentang kelanjutan Pangkas Rambut Ko Tang, keempatnya saling mengalihkan pandangan.

"Ya mau bagaimana lagi, tidak ada orang, hanya saya," ujar A Pauw. Keempat pengelola Pangkas Rambut Ko Tang ini telah sepakat kalau usaha tak akan berlanjut selepas si tukang cukur terakhir.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.