Sukses

Para Perempuan di Garis Depan Hari Buruh

Saat dialog tidak bisa melahirkan solusi, aksi dipilih untuk memberikan dorongan lebih.

Liputan6.com, Jakarta - Bagi Laksmi, Senin adalah seragam putih-putih. Katanya, warna putih melambangkan kebersihan dan kesucian, identik dengan tugas mengantarkan kehidupan baru yang diembannya sebagai Bidan Desa Sigedong, Serang.

Namun, Senin 1 Mei 2017 berbeda. Seragam putihnya berganti kaos merah dan celana jins panjang. Kerudung putih yang biasa ia gunakan juga berganti dengan kain tipis berwarna merah. Baginya, merah melambangkan perlawanan. Laksmi dan ratusan bidan-bidan desa lain menyiapkan dandanan itu khusus untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day.

Banyak bidan desa memulai karier dengan sederhana, belajar secukupnya untuk mengikuti rangkaian tes yang diadakan pemerintah. Begitu juga dengan Laksmi. Ibu dari satu anak itu mulai berprofesi sebagai bidan desa sejak 2007. Menjadi bidan itu tugas mulia, katanya, dan karena itu sudah selayaknya dihargai orang banyak.

"Tapi nyatanya tidak ada keadilan untuk bidan-bidan desa," ujar Laksmi saat berbincang dengan Lintang Cahyaningsih, penerima beasiswa jurnalistik AJI dan British Council 'Upclose dan Personal With Journalism', Senin kemarin.

Sama dengan perempuan-perempuan lain yang mengikuti barisan panjang di pusat-pusat kota Jakarta di hari Buruh kemarin. Laksmi memilih ikut turun ke jalan karena merasa ada banyak hal yang perlu diperjuangkan.

Sekali setahun, tiap 1 Mei, ia tak membuat sarapan untuk suami dan anaknya di rumah. Pada hari itu, ia memilih untuk mengikuti rombongan mereka yang berprofesi sama: buruh.

"Ya saya relakan sehari ke sini karena ada ketidakadilan yang harus diubah," tegas Laksmi.

Perlawanan Kelas

Sepatu warna-warni, riasan sederhana, dan kacamata hitam. Tiga hal itu dengan mudah dijumpai dalam aksi Hari Buruh di Bundaran HI. 18 orang perempuan berjalan sambil mengangkat spanduk-spanduk selebar satu ruas jalan.

"Bangun Kekuatan Politik Kelas Buruh dan Rakyat Tertindas," begitu bunyi spanduk yang dibawanya.

Aryani datang dari Tangerang untuk mengangkat spanduk-spanduk itu. Ia kepanasan dan kecapekan setelah berjalan sekitar tiga kilometer jauhnya. Kata Aryani, ini bukan aksi pertamanya. Sudah lebih dari tiga tahun ia menjadi salah satu perempuan yang aktif ikut dalam aksi 1 Mei.

"Saya pikir perempuan dan laki-laki itu haknya harus sama," ujar Aryani.

Itu berlaku juga untuk masalah turun ke jalan. Menurutnya, jumlah perempuan yang banyak dalam aksi kali ini berarti makin pentingnya masalah-masalah yang harus diselesaikan.

Aryani adalah seorang buruh pabrik sekaligus ibu. Yang menjadi tuntutannya adalah kehidupan layak untuk anak-anaknya kelak, dimulai dari kenaikan gaji.

Marlina, karyawan cleaning service dari Subang, juga datang dengan alasan yang sama. Perawakannya kecil dengan tas selempang di bahu kanan yang terlihat sedikit keberatan untuk dirinya.

Marlina tidak takut untuk menjadi bagian dari massa Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). "Saya di sini mau menuntut upah layak," katanya.

Dia bercerita tentang lima orang adik di Cirebon yang menjadi tanggungannya. Yang paling muda masih bersekolah di kelas 5 SD, sedangkan yang tertua sudah tidak sekolah. Kelimanya adalah tanggungan utama Marlina selain diri sendiri dan orang tua. Semua kebutuhan anggota keluarganya itu harus rampung dengan angka Rp 2.300.000 rupiah di slip gaji bulanan.

Marlina bekerja untuk sebuah perusahaan produsen mainan dan boneka asal Korea yang berlokasi di Subang, Jawa Barat. Mulanya Marlina merantau ke Subang untuk menjahit boneka-boneka di bagian sewing.

Sejak beberapa bulan lalu, pekerjaannya berganti menjadi pengolah sampah-sampah pabrik. Kini, sebagai bagian dari cleaning service, ia mendorong tong-tong sampah setinggi dada, memilah tumpukan-tumpukan sampah, dan merapikan bagian-bagian kantor.

"Ini pekerjaan berat untuk perempuan. Seharusnya ada pertimbangan untuk memilih kemampuan pegawai yang bekerja di bagian ini," keluh Marlina.

Salah satu tuntutannya adalah pemberian pertimbangan yang lebih manusiawi dengan standar kelayakan hidup dalam pengaturan ketenagakerjaan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bukan soal Uang

Bukan masalah uang, tidak juga terkait erat dengan status perkawinan. Bagi Lilik Dian Ekasari dari Forum Bidan Desa (Forbides) Indonesia, aksi ini lebih dari sekadar masalah kesejahteraan ekonomi.

"Kalau hanya uang tidak akan seperti ini," ungkapnya.

Laki-laki atau perempuan, semua akan bergerak jika ada ketidakadilan, begitu prinsip hidup yang dianut Lilik. Untuk ratusan bidan desa yang mengikuti aksi, artinya adalah dihapuskannya diskriminasi yang muncul akibat pembatasan usia dalam pengangkatan Bidan Desa PNS Maret lalu.

Para bidan yang berusia di atas 35 tahun tidak diangkat menjadi PNS, meskipun telah memiliki pengalaman kerja bertahun-tahun. Setengah marah Lilik berseru, "Ini masalah status kami sebagai bidan yang tidak diakui oleh negara."

Saat dialog tidak bisa melahirkan solusi, aksi dipilih untuk memberikan dorongan lebih.

Lilik dan perempuan-perempuan lainnya yang mengikuti aksi kali ini beranggapan kalau semua orang yang menjadi objek diskriminasi harus bersuara. "Menjadi perempuan bukan alasan untuk menutup mata pada ketidakadilan," ujar Lilik.

Tidak hanya kaum ibu yang turun ke jalan. Epani, gadis cilik berusia empat tahun, juga ikut turun ke jalan. Rambutnya dikuncir tiga. Celana jins panjang hingga ke mata kaki, kaos merah, dan sepatu mungil merah muda, membalut gadis dari Cengkareng ini. Hari itu juga, ia ikut bapak dan ibunya berjalan mengelilingi pusat kota Jakarta.

Tangan kanannya digenggam ayah, yang kiri digenggam ibu. Epani terlihat lelah, tetapi ia masih semangat berjalan dengan kedua orangtuanya.

"Memang kemarin ingin ikut, jadi ya kami bawa," kata Tata Nurasa, karyawan sebuah perusahaan produsen beton di Cengkareng. Bagi Tata, Epani perlu ikut aksi hari ini. Menurut Tata, sang anak juga harus tahu perjuangan orangtuanya.

"Kami (saya dan istri) jadi buruh untuk anak juga, jadi ya harus tahu," kata Tata.

Ada lagi Meifa dan Tiara, dua remaja perempuan yang diajak Sriani ikut mengikuti long march. Meifa berusia 12 tahun, sedangkan Tiara 15 tahun. Keduanya duduk di pinggir-pinggir jalan sambil menyesap minuman dingin.

Sriani, ibu dari Tiara, memang sudah biasa mengajak anaknya untuk mengikuti aksi. Ia, begitu juga dengan suaminya, bekerja sebagai buruh pabrik. Menurut Sriani, kegiatan mengajak anak dalam aksi Hari Buruh bisa membuat para anak turut prihatin terhadap pekerjaan orangtua. Harapannya, keprihatinan itu bisa membuat mereka lebih menghargai apa yang orang tua lakukan.

Sama seperti banyak buruh lain, Sriani tidak menginginkan anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari dirinya kelak.

"Jangan jadi seperti saya, pokoknya harus lebih baik," begitulah pesan yang sering ia berikan pada Tiara.

Meskipun ia tidak pernah berharap anaknya akan menjadi seorang buruh pabrik, Sriani tetap menganggap kalau anak-anak muda perlu mengikuti aksi Hari Buruh. Baginya mengikuti aksi tidak hanya berarti kecapekan dan kepanasan, tetapi juga membangun empati terhadap orang-orang yang sudah bekerja keras selama ini.

Dia ingin gadis kecilnya mampu untuk melihat buruh lebih dari sekadar pekerjaan berupah rendah dan memberikan penghargaan yang sepantasnya untuk mereka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini