Sukses

Begini Dugaan Korupsi SKL BLBI Bermula

Menurut data Fitra setidaknya ada 5 SKL yang diberikan kepada 5 obligor ternyata belum sepenuhnya melunasi utang-utangya.

Liputan6.com, Jakarta - Surat Keterangan Lunas (SKL) secara hukum adalah sah. Sebab SKL diterbitkan merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002, yang dikeluarkan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Inpres tersebut berisi tentang pemberian jaminan dan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya. Selain itu juga memberikan tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham (release and discharge).

Kewajiban itu merujuk pada para obligor penerima bantuan likuditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI semacam skema bantuan atau pinjaman yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas atau keuangan.

Pada krisis moneter 1997 itu, setidaknya 48 bank yang bermasalah. BI pun, pada Desember 2018, mengucurkan dana Rp 147,7 triliun.

Namun, bank-bank yang diberikan bantuan tidak melakukan kewajibannya membayar pinjaman. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pun ditunjuk untuk menagih kewajiban para obligor penerima BLBI.

Nah, para obligor BLBI yang telah melunasi utang-utangnya itu akan diberikan SKL oleh pemerintah. Merujuk data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), setidaknya ada 5 SKL yang diberikan kepada 5 obligor ternyata belum sepenuhnya melunasi utang-utangnya.

Salah satunya adalah Sjamsul Nursalim pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Masih menurut data Fitra, Sjamsul Nursalim memiliki utang Rp 28,408 triliun. Namun yang dikembalikan hanya Rp 4,932 triliun.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tersangka SKL BLBI

Dari penyelidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjabat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Mei 2002 mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terkait perubahan proses litigasi menjadi restrukturasi atas kewajiban penyerahan aset obligor yakni BDNI.

Kemudian, Sjamsul Nursalim diwajibkan menyerahkan asetnya sebesar Rp 4,8 triliun. Pembayaran kewajiban tersebut bisa dilakukan dengan penyerahan aset atau dengan dana tunai.

Namun, karena BDNI tidak memiliki dana tunai, maka dalam proses ini melibatkan petani tambak. Sebab, BDNI mengucurkan kredit sebesar Rp 1,1 triliun kepada petani tambak. Dana itulah yang kemudian digunakan BDNI untuk membayarkan kewajibannya kepada BPPN.

"Sebanyak Rp 1,1 triliun sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak," kata Wakil Ketua KPK, Basari Panjaitan, dalam keterangan pers di KPK, Jakarta, Selasa, 25 April 2017.

Nah, sisanya sebesar Rp 3,7 triliun tidak ditagih BPPN atau dilakukan pembahasan dalam restrukturisasi. Malahan, BPPN mengeluarkan SKL untuk Sjamsul Nursalim.

"Akan tetapi pada April 2004, tersangka selaku Ketua BPPN mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap obligor Sjamsul Nursalim atas semua kewajibannya kepada BPPN. Padahal saat itu masih ada kewajiban setidaknya Rp 3,7 triliun," tutur Basaria di KPK.

Sebelumnya, dugaan korupsi aliran dana BLBI ini juga pernah diusut Kejaksaan Agung (Kejagung). Sjamsul Nursalim saat itu telah ditetapkan sebagai tersangka, namun Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyedikan (SP3) atas kasusnya pada 13 Juli 2004.

SP3 ini dikeluarkan lantaran adanya Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002. Bagi debitor kooperatif yang sudah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) maka diberikan jaminan bebas dari jeratan pidana. Kejaksaan mengategorikan Sjamsul sebagai debitor kooperatif yang telah melunasi kucuran dana bantuan pemerintah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.