Sukses

5 Halaman Pembelaan Ahok untuk Vonis 9 Mei

Ahok membaca sendiri lima halaman pembelaan di hadapan majelis hakim.

Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memasuki fase akhir. Setelah jaksa penuntut umum (JPU) membacakan tuntutan 1 tahun dengan masa percobaan selama 2 tahun, 20 April lalu, giliran Ahok menyampaikan nota pembelaan atau pleidoi.

Dalam sidang ke-21 yang digelar di Auditorium Gedung Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Ahok membaca sendiri lima halaman pembelaannya di hadapan majelis hakim.

Dalam pembelaan berjudul 'Tetap Melayani Walau Difitnah' tersebut, Ahok menuliskan bahwa JPU mengakui dirinya tidak menista agama.

"Setelah mengikuti jalannya persidangan, memperhatikan realita yang terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, serta mendengar dan membaca tuntutan penuntut umum yang ternyata mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan agama, seperti yang dituduhkan kepada saya selama ini. Terbukti saya bukan penista atau penoda agama," kata Ahok, Jakarta, Selasa 25 April 2017.

Ahok menegaskan, dia bukan penista agama. Ahok menyebut dia adalah korban fitnah dari pengunggah video di Kepulauan Seribu, yakni Buni Yani.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menjalani sidang pembelaan atau pleido kasus dugaan penistaan agama di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4). (Liputan6.com/Kristianto Purnomo/Pool)

"Saya mau tegaskan, saya bukan penista atau penoda agama. Saya juga tidak menghina suatu golongan apa pun. Majelis hakim yang saya muliakan, banyak tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah. Bahkan penuntut umum mengakui adanya peranan Buni Yani dalam perkara ini," ucap Ahok.

Hal ini, kata Ahok, sesuai dengan fakta di Kepulauan Seribu. Saat itu, banyak media massa yang meliput sejak awal hingga akhir kunjungannya, bahkan disiarkan secara langsung di Kepulauan Seribu. Namun saat itu tidak ada satu pun mempersoalkan, keberatan, atau merasa terhina atas perkataannya tersebut. Bahkan, saat diwawancara setelah dialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu pun tidak ada masalah.

Ahok mengatakan, hal tersebut baru menjadi masalah sembilan hari kemudian, tepatnya pada 6 Oktober 2016 setelah Buni Yani mengunggah potongan video pidato dengan menambah kalimat yang sangat provokatif.

"Barulah terjadi pelaporan dari orang-orang yang mengaku merasa sangat terhina, padahal mereka tidak pernah mendengar langsung, bahkan tidak pernah menonton sambutan saya secara utuh," tutur Ahok.

Ahok mengatakan, salah satu tulisan yang menyatakan dia korban fitnah adalah Goenawan Mohammad. Stigma itu bermula dari fitnah. Ahok tidak menghina agama Islam. Namun, tuduhan itu setiap hari dilakukan berulang-ulang seperti kata ahli propaganda.

Ahok menegaskan, ia telah dirugikan tiga hal pada kasus yang dituduhkan padanya.

"Pertama, difitnah. Dua, dinyatakan bersalah sebelum pengadilan, dan diadili dengan hukum meragukan. Adanya ketidakadilan dalam kasus ini, tapi bertepuk tangan untuk kekalahan politik Ahok," ucap Ahok dalam pleidoinya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ibarat Ikan Nemo

Dalam pledoinya, Ahok mengibaratkan dirinya sebagai Nemo, ikan kecil di film kartun Finding Nemo.

Ahok mengatakan, cerita soal Nemo itu ia sampaikan kepada sejumlah murid taman kanak-kanak (TK) yang berkunjung ke Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Anak-anak bertanya, kenapa Ahok sering melawan arus dan bersitegang dengan banyak orang.

"Saya waktu itu bingung menjawab menjawab anak TK untuk pertanyaan begitu," ucap Ahok.

Dia lantas mengajak anak-anak menonton cuplikan film Finding Nemo dan menyampaikan pesan moralnya.

"Kita hidup di zaman di mana orang-orang itu berenangnya salah arah. Jadi persis seperti ikan. Yang benar harusnya berenang ke bawah, tapi semua ikan ikut jaring ke atas," kata dia.

Jika dibiarkan, ikan-ikan yang mengikuti arus jala itu akan tertangkap oleh nelayan dan mati. Di sini, Nemo sebagai pemeran utama berupaya menyelamatkan ikan-ikan yang salah mengikuti arus itu.

"Waktu Nemo minta berenang berlawanan arah, kira-kira orang nurut nggak? Nggak nurut. Jadi sama, kita hidup di dunia ini, kadang kita melawan arus melawan orang yang ke arah berbeda sama kita. Tapi kita tetap lakukan demi menyelamatkan dia," kata Ahok.

Sebagai ikan kecil, Nemo sebenarnya bisa keluar-masuk jala dan meninggalkan ikan-ikan berukuran lebih besar yang terperangkap di dalamnya. Namun dia tidak pergi, dan tetap mengajak ikan-ikan lainnya melawan arus ke bawah agar bisa keluar dari jala.

"Lalu begitu terlepas, ada nggak ikan yang berterima kasih kepada Nemo yang terkapar pingsan. Tidak ada. Jadi inilah yang harus kita lakukan. Sekalipun kita melawan arus, melawan semua orang berbeda arah, kita harus tetap teguh," ujar Ahok.

"Semua tidak jujur nggak apa-apa, asal kita sendiri jujur. Mungkin setelah itu tidak ada yang terima kasih sama kita, kita juga tidak peduli karena Tuhan yang menghitung untuk kita, bukan orang," sambung dia.

 

3 dari 4 halaman

Suasana Sidang

Sekitar enam pengunjung diusir dari ruang sidang perkara penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Mereka keluar saat sidang ke-21 dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi Ahok baru dimulai.

Peristiwa bermula saat majelis hakim membuka persidangan dan mempersilakan terdakwa dan tim penasihat hukum menyampaikan nota pembelaan.

"Saudara terdakwa sehat hari ini? Sesuai dengan penundaan, hari ini giliran saudara bacakan pleidoi. Siap? Penasihat hukum siap? Silakan dibaca oleh terdakwa kemudian penasihat hukum," ujar Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara Dwiarso Budi Santiarto di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa 25 April 2017.

Beberapa pengunjung yang semula duduk tenang tiba-tiba berdiri dan meneriakkan takbir. "Allahuakbar... Takbir...," ucap mereka.

Sejumlah wanita berjoget sambil membentangkan poster saat mengawal sidang di Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Teriakan pengunjung itu dianggap memicu kegaduhan dan dapat mengganggu persidangan. Petugas keamanan langsung membawa beberapa orang yang diduga massa kontra Ahok itu ke luar ruang sidang.

"Perhatian ya, ini di ruang persidangan kita enggak boleh melakukan keributan atau interupsi. Hak pengunjung hanya untuk melihat persidangan," kata Dwiarso.

"Kalau tidak tertib, ketua majelis akan mengeluarkan. Jadi enggak perlu tepuk tangan, enggak perlu sorakan, enggak perlu cemoohan, perhatikan saja. Karena majelis enggak akan terpengaruh atas hal-hal tersebut," tandas majelis hakim sidang Ahok.

Di luar sidang, ratusan orang yang memadati area sidang menggelar demo. Pantauan Liputan6.com, seratusan massa kontra Ahok yang berada di sisi utara Jalan RM Harsono mulai berdemo. Massa kontra Ahok secara bergiliran berorasi.

Ratusan polisi tampak bersiaga menghadap ke arah pendemo dengan atribut lengkap. Empat kendaraan taktis juga terlihat disiagakan untuk berjaga-jaga.

Tak jauh dari lokasi demo kontra Ahok, sekitar 100 meter atau sisi selatan jalan Harsono massa pendukung Ahok juga melakukan aksi dukungan terhadap Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Polisi menerapkan pengamanan serupa sebagai antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Putusan 9 Mei

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah menjadwalkan pembacaan putusan atau vonis perkara dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Rencananya, sidang vonis akan digelar pada Selasa 9 Mei 2017.

"Sesuai jadwal, putusan akan kami ucapkan pada 9 Mei 2017. Diperintahkan terdakwa hadir dalam persidangan tersebut," ujar Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto dalam persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa 25 April 2017.

Suasana sidang sidang kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok  di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4). Sidang beragendakan pembacaan pledoi. (Liputan6.com/Kristianto Purnomo/Pool)

Persidangan dengan agenda pembacaan putusan akan lebih cepat karena tidak ada pembacaan replik dan duplik. Pihak jaksa penuntut umum (JPU) tetap pada tuntutannya, sehingga tidak perlu mengajukan replik. Begitu juga Ahok dan penasihat hukumnya, tetap pada pembelaannya atau pleidoinya.

4 dari 4 halaman

Pleidoi Lengkap Ahok

Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok membacakan pleidoi atau pembelaan di sidang ke-21 kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.

Berikut pleidoi lengkap Ahok yang dibacakan di depan majelis hakim:

Tetap Melayani Walau Difitnah

Setelah mengikuti jalannya persidangan, memperhatikan realita yang terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, serta mendengar dan membaca tuntutan penuntut umum yang ternyata mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan agama, seperti yang dituduhkan kepada saya selama ini dan karenanya terbukti saya bukan penista atau penoda agama. Saya mau tegaskan, saya bukan penista atau penoda agama. Saya juga tidak menghina suatu golongan apa pun.

Majelis hakim yang saya muliakan, banyak tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah. Bahkan Penuntut Umum mengakui adanya peranan Buni Yani dalam perkara ini. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa saat di Kepulauan Seribu, banyak media massa yang meliput sejak awal hingga akhir kunjungan saya.

Bahkan disiarkan secara langsung yang menjadi materi pembicaraan di Kepulauan Seribu, tidak ada satu pun mempersoalkan, keberatan, atau merasa terhina atas perkataan saya tersebut.

Bahkan termasuk pada saat saya diwawancara setelah dialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu. Namun baru menjadi masalah sembilan hari kemudian, tepatnya tanggal 6 Oktober 2016 setelah Buni Yani mem-posting potongan video pidato saya dengan menambah kalimat yang sangat provokatif. Barulah terjadi pelaporan dari orang-orang yang mengaku merasa sangat terhina. Padahal mereka tidak pernah mendengar langsung, bahkan tidak pernah menonton sambutan saya secara utuh.

Adapun salah satu tulisan yang menyatakan saya korban fitnah adalah tulisan Goenawan Mohamad: "Stigma itu bermula dari fitnah. Ia tak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari diulang-ulang; seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus menerus diulang akan jadi "kebenaran". Kita mendengarnya di masjid-masjid, di media sosial, di percakapan sehari-hari, sangkaan itu menjadi bukan sangkaan, tapi sudah kepastian.Ahok pun harus diusut oleh pengadilan, dengan undang-undang "penistaan agama" yang diproduksi rezim Orde Baru -- sebuah undang-undang yang batas pelanggarannya tak jelas, dan tak jelas pula siapa yang sah mewakili agama yang dinista itu.Walhasil, Ahok diperlakukan tidak adil dalam tiga hal: (1) difitnah, (2) dinyatakan bersalah sebelum pengadilan, (3) diadili dengan hukum yang meragukan.Mengakui adanya ketidak-adilan di dalam kasus ini tapi bertepuk tangan untuk kekalahan politik Ahok -- yang tak bisa diubah -- adalah sebuah ketidak-jujuran.

Majelis Hakim yang saya muliakan,

Ketika saya memilih mengabdi melayani bangsa tercinta ini, saya masuk ke pemerintahan dengan kesadaran penuh untuk mensejahterakan rakyat -- otak, perut dan dompet. Untuk itu ketika saya memberikan sambutan di Pulau Pramuka, saya memulai dengan kata 'saya mau cerita biar bapak ibu semangat'. Dari sambutan saya jelas sekali, saya hanya punya satu niat, saya, keluarga tebal kantongnya mau ambil program yang sangat menguntungkan ini.

Terbukti penuntut umum mengakui tidak memiliki niat sedikit pun untuk menista atau menoda agama. Dan saya tegaskan, saya tidak punya niat sedikit pun untuk menghina golongan tertentu‎.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.