Sukses

Bingkisan Uang ke Kompleks DPR dan 5 Fakta Lain Kasus E-KTP

Dalam persidangan kemarin, saksi mengungkapkan isi kotak pandora dari kasus korupsi e-KTP tersebut. Apa saja?

Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus korupsi e-KTP telah digelar pada Kamis 20 April 2017 di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat. Dalam sidang itu, jaksa KPK menghadirkan sejumlah saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto.

Saksi-saksi yang dijadwalkan hadir kebanyakan berasal dari konsorsium yang menjalankan proyek pengadaan e-KTP. Baik itu dari pihak swasta maupun dari pemerintah.

Dalam proses persidangan, saksi dicecar oleh Jaksa terkait penyelewengan uang negara dalam proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut. Mereka pun akhirnya mengungkap isi kotak pandora dari kasus korupsi e-KTP itu.

Mereka mengakui adanya antaran bungkusan uang ke kompleks DPR. Selain itu, adanya jatah tujuh persen untuk Ketua DPR Setya Novanto.

Tak hanya menembak para anggota dewan, senapan para saksi itu juga menyasar institusi lain. Nama auditor di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga disebut.

Lantas apa saja fakta yang diungkap dalam persidangan kasus korupsi e-KTP tersebut? Berikut ini uraian yang dihimpun Liputan6.com, Jakarta, Jumat (21/4/2017):

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Bingkisan Uang ke Kompleks DPR

Sekretaris Ditjen Dukcapil Kemendagri Drajat Wisnu Setyawan menjadi saksi dari terdakwa Irman dan Sugiharto terkait kasus korupsi e-KTP. Dia pun dicecar jaksa KPK atas perannya dalam pengadaan proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.

Dalam kesaksiannya, Drajat mengakui pernah mengantarkan bingkisan yang diduga berisi uang ke rumah legislator di Komplek DPR Kalibata, Jakarta Selatan.

"Iya pernah pak," ujar Drajat bersaksi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (20/4/2017).

Namun saat dicecar kepada siapa bingkisan uang itu diserahkan, ia mengaku tidak mengetahui namanya. Bingkisan tersebut diserahkan kepada seorang wanita.

"Saya hanya mengantarkan bingkisan. Ternyata orang yang saya sampaikan sedang tidak ada, istrinya yang terima, lalu dia sampaikan akan disampaikan ke suaminya," jelas Drajat.

Saat ditanya apakah rumah yang dia tuju merupakan kediaman Ade Komarudin, Drajat lagi-lagi mengaku tak tahu. "Saya nggak tahu pak. Uang hanya diberikan ke istrinya," kata Drajat.

3 dari 7 halaman

Andi Narogong Kuasai Proyek

Direktur PT Java Trade Utama Johanes Richard Tanjaya buka-bukaan terkait pembentukan tim Fatmawati dalam proyek pengadaan e-KTP. Tim itu disebutnya untuk pemenangan Andi Agustinus alias Andi Narogong agar menguasai proyek e-KTP.

Menurut Johanes, Andi rela mengeluarkan uang ratusan juta rupiah demi memenuhi hasrat sebagai 'pemain utama' dalam proyek yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini.

Andi Narogong disebut berani membayar Rp 5 juta per bulan kepada anggota tim Fatmawati selam satu tahun. Jumlah total yang dikeluarkan oleh Andi Narogong menurut Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdul Basyir mencapai Rp 408 juta.

"Dia (Andi Narogong) kan memiliki kepentingan menjadi pemenang proyek e-KTP," ujar Johanes saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis, (20/4/2017).

Dalam kesaksiannya, Johanes juga sempat mundur dari konsorsium Murakabi karena melihat kejanggalan. Johanes menilai konsorsium Murakabi, Perum PNRI dan Astra Graphia tak memiliki standar yang pas untuk menggarap proyek e-KTP.

"Saya lihat persiapan timnya enggak bulat. Ini kan pekerjaan besar tapi dikerjakan sembarangan. Saya marah sama Andi," ungkap Johanes.

4 dari 7 halaman

BPKP Kecipratan

Mantan Sekretaris Ditjen Dukcapil Drajat Wisnu Setyawan mengakui pernah memberikan uang kepada auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terkait pengadaan KTP elektronik atau e-KTP.

Menurut Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa di Kemendagri itu, uang untuk BPKB sekadar pengganti transportasi.

"Waktu itu ada review hasil lelang BPKP. Itu untuk uang lembur saja, ya sekadar transport," ujar Drajat di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (20/4/2017).

Drajat yang dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto ini mengatakan, dirinya yang juga sebagai panitia lelang tak memiliki kewajiban memberikan uang kepada auditor BPKB.

Drajat juga mengaku lupa apakah pemberian uang tersebut berdasarkan perintah dari para terdakwa atau bukan. Yang dia ingat, auditor BPKP yang menerima uang dari dirinya adalah M Toha.

"Saya lupa yang mulia," kata Drajat.

5 dari 7 halaman

Terima Mobil dari Andi Narogong

Meski masuk dalam tim Fatmawati, Direktur PT Java Trade Utama Johanes Richard Sanjaya mengakui tak pernah kebagian uang bulanan dari Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus e-KTP. Dia mengaku terima yang lebih besar dari sekadar uang Rp 5 juta.

"Saya pernah terima mobil. Tapi sudah saya kembalikan ke KPK," ujar Johanes saat bersaksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (20/4/2017).

Johanes juga mengatakan, Andi Narogong merupakan seseorang yang bisa melobi para anggota DPR untuk meloloskan anggaran e-KTP senilai Rp 5,9 triliun.

Johanes mengaku, ia mengetahui hal tersebut dari terdakwa Irman. Ketika itu, Irman sempat meminta Johanes agar bisa melakukan hal seperti Andi, yakni melobi anggota DPR untuk menggolkan anggaran e-KTP.

"(Diminta) melakukan seperti Andi (menggolkan anggaran e-KTP). Andi kan pengusaha besar. Kami belum sanggup kayak gitu," kata Johanes.

6 dari 7 halaman

Gunakan Uang untuk Operasional

Sekretaris Ditjen Dukcapil Kemendagri Drajat Wisnu Setyawan mengakui menerima uang USD 40 ribu dari terdakwa Sugiharto. Namun uang tersebut sudah dia kembalikan kepada KPK.

Sebelum dia kembalikan, uang tersebut rupanya sempat dibagi-bagikan kepada anggota tim lelang masing-masing Rp 10 juta. Hakim John pun lantas bertanya dari mana asal muasal uang dari terdakwa Sugiharto tersebut.

"Itu saya ambil dari uang operasional tim. Kan ada anggaran Rp 100 jutaan untuk operasional, nah saya ambil dari situ," kata Drajat sambil terbata-bata.

Mendengar jawaban dari Drajat, Hakim John lantas menilai Drajat bukan orang yang baik. Drajat sudah 'memainkan' uang operasional untuk dibagi-bagi.

"Loh, berarti saudara itu enggak benar dong. Itu secara aturan tidak boleh kan?" cecar hakim John.

"Benar yang mulia," jawabnya dengan suara nyaris tidak terdengar.

7 dari 7 halaman

Tujuh Persen Setnov

Staf PT Java Trade Utama, Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby dihadirkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi sidang e-KTP untuk terdakwa Irman dan Sugiharto.

Dalam kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Bobby menyebut jatah tujuh persen untuk Senayan. Jatah dari proyek pengadaan e-KTP itu dia ketahui dari Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi.

"Irvan sempat bicara biaya besar banget. Saya tanya berapa besar? Tujuh persen kata dia. Dia bilang buat SN, Senayan," ujar Bobby, Kamis (20/4/2017).

Irvan diketahui merupakan keponakan dari Ketua DPR Setya Novanto. Hal tersebut sempat disampaikan Direktur PT Java Trade Utama Johanes Richard Tanjaya yang juga dihadirkan sebagai saksi di sidang e-KTP.

Johanes tak menampik pernah mendengar jatah tujuh persen itu dari Bobby. Jaksa KPK pun lantas mencecar Johanes terkait hal tersebut.

"Apa pernah dapat info dari Bobby, SN Group dapat tujuh persen?" tanya jaksa KPK.

Johanes pun lantas membongkar maksud SN bukan Senayan, melainkan Setya Novanto. "Setahu saya SN bukan grup, SN ya Setya Novanto," jawab dia.

Setya Novanto sebelumnya menjadi saksi dalam kasus korupsi e-KTP. Dia menampik telah mendapatkan aliran dana dari proyek tersebut.

"Tidak benar, Yang Mulia. Betul, saya yakin. Betul, sesuai dengan sumpah saya," kata Setya Novanto yang dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto, Kamis (6/4/2017).

Setya Novanto juga mengaku tak tahu secara detail mengenai proyek e-KTP. Meski jabatannya pada saat itu sebagai Ketua Fraksi, dia hanya mendapat laporan terkait rapat pembahasan e-KTP dengan Komisi II DPR melalui Chairuman .

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini