Sukses

Pengamat: Revisi UU KPK Tidak Relevan

DPR mewacanakan revisi Undang-Undang KPK. Hal ini menuai pro dan kontra.

Liputan6.com, Jakarta - DPR mewacanakan revisi Undang-Undang KPK. Hal ini menuai pro dan kontra. Pengamat hukum Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menilai rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi tidak relevan.

"Itu benar-benar tidak relevan," kata Azmi dalam acara diskusi Berbincang dan Berpikir (Cangkir) di kampus Universitas Bung Karno, Jakarta, Rabu (5/4/2017).

Menurut dia, wajar memberikan keleluasaan lebih kepada KPK. Demi, lanjut dia, hasil penyelidikan dan penyidikan yang maksimal.

Ini terkait dengan poin penting dalam revisi UU tersebut. Poin penting itu antara lain soal penyadapan, wacana memberikan hak untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), perekrutan penyelidik dan penyidik independen, pembatasan masa kerja KPK 12 tahun, serta keberadaan lembaga pengawas di KPK. Terutama, lanjut dia, terkait penyadapan.

"Selama ini, dengan metode penyadapan, menjadi senjata karena sebagian besar pelaku korupsi dapat ditangkap KPK. Penyadapan ini harus dipertahankan," ujar Azmi, seperti dilansir dari Antara.

Demikian pula dengan tidak mengenal SP3 juga harus dipertahankan mengingat kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya juga harus luar biasa pula.

Fakta menunjukkan, sambung dia, tak ada satupun tersangka yang lolos di pengadilan. Ini membuktikan penyadapan yang dilakukan KPK tidak sia-sia. Hal itu juga berkaitan dengan hak mengeluarkan SP3. Dia khawatir SP3 justru akan menjadi celah untuk praktik jual beli perkara.

Sementara, dia menilai KPK harus memiliki penyelidik dan penyidik independen sendiri jangan sampai akan terjadi tarik menarik seperti kejadian beberapa tahun lalu. "KPK bisa membentuk lembaga untuk mendidik penyidik dan penuntut umum sendiri, hingga benar-benar independen," tandas Azmi soal revisi UU KPK.

Sebelumnya, sosialisasi rencana revisi UU KPK atau UU Nomor 30 Tahun 2002 oleh DPR juga mendapat respons negatif dari mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Antikorupsi Yogyakarta menolak kedatangan perwakilan DPR melakukan sosialisasi.

Penolakan itu ditujukan kepada dua perwakilan DPR, Johnson Rajagukguk sebagai Kepala Badan Keahlian DPR dan Inosentius Samsul sebagai Kepala Pusat Perancangan Undang-undang Badan Keahlian DPR. Mereka menilai apa yang dilakukan DPR dengan revisi UU KPK tak lebih dari pelemahan KPK.

Koordinator Aliansi Mahasiswa Antikorupsi Yogyakarta, Kuncoro Jati mengatakan, pihaknya menuntut DPR menghentikan proses revisi UU KPK. Pihaknya menilai, DPR harus mempertimbangkan berbagai reaksi penolakan dari mahasiswa maupun masyarakat sipil.

"Penolakan ini harus dijadikan pertimbangan dalam proses yang mereka lakukan selama sosialisasi rencana revisi UU KPK," ujar Kuncoro di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Rabu 22 Maret 2017.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.