Sukses

DPR: MoU KPK, Polri dan Kejagung Tak Lemahkan Berantas Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Polri memperbarui kerjasama penanganan tindak pidana korupsi.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Polri memperbarui kerjasama penanganan tindak pidana korupsi. Penandatanganan nota kesepahaman atau MoU ini dilakukan di ruang Pusat Data dan Analisis kompleks Mabes Polri, Jakarta.

Berkas MoU ini ditandatangani Ketua KPK Agus Rahardjo, Jaksa Agung HM Prasetyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Wakil Ketua Komisi III DPR Mulfachri Harahap yakin, penandatanganan kerja sama ini bukan upaya menghambat pemberantasan korupsi di Tanah Air

"Kalau dirasa menghambat tentu tidak ditandatangan MoU ini,"  kata Mufachri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2017).  

Ia menambahkan, sebelumnya sudah ada beberapa MoU lain yang ditandatangani tiga lembaga penegak hukum itu. Pada intinya, isi MoU itu saling melengkapi, saling mendukung, saling membangun kesepahaman di antara semua lembaga penegak hukum termasuk KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.

"Jadi, saya kira dokumen MoU yang baru pagi tadi ditandatangani adalah bagian dari melengkapi dokumen yang sudah disepakati atau kesepakatan yang sudah sebelumnya," ujar dia.

Salah satu pasal yakni Pasal 3 ayat 7 dalam MoU itu menyatakan, 'Dalam hal salah satu pihak melakukan tindakan penggeledahan penyitaan atau memasuki kantor pihak lainnya maka pihak yang melakukannya memberitahukan kepada pimpinan pihak yang menjadi objek dilakukannya tindakan tersebut kecuali tangkap tangan'.

Menanggapi isi pasal tersebut Mulfachri mengatakan, penggeledahan yang dimaksud berbeda dengan operasi tangkap tangan (OTT) KPK.  Menurut dia, OTT tidak memerlukan izin, namun penggeledahan memang harus diatur tata caranya dan tidak hanya berlaku bagi aparat kepolisian dan kejaksaan saja.

Ia menambahkan, jauh sebelum itu Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)sudah mengatur ketentuan tentang bagaimana proses penggeledahan yang harus berlaku di kompleks parlemen. "Ini saya kira sesuatu yang harus diatur bukan berarti ditafsirkan sesuatu semangat untuk menghalangi upaya KPK memberantas korupsi di negeri ini," ucap dia.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengaku, tidak sependapat aturan itu ditafsirkan sebagai bagian dari upaya menghilangkan barang bukti penggeledahan. Menurut Mulfachri, dalam banyak kasus penggeledahan yang dilakukan lebih kepada melengkapi barang bukti yang sudah ada di tangan penyidik KPK.

"Jadi, tidak melulu bisa ditafsirkan atau ada kekhawatiran atau upaya menghilangkan barang bukti. Jadi, tidak perlu ada yang dikhawatirkan karena semua proses penegakan hukum, pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan normal," tandas Mulfachri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.