Sukses

Sadran, Tradisi Turun Temurun Warga Jawa

Warga Jawa percaya dengan kehadiran leluhur di tengah kehidupan mereka dan ikut berperan dalam aktivitas sehari-hari. Karena itu, tradisi Sadran yang bertujuan untuk menghormati arwah leluhur digelar setiap jelang Ramadhan

Liputan6.com, Klaten: Memanjatkan doa, memuja kebesaran Sang Khalik. Abdi Dalem Kesultanan Ngayogyakarta dan Surakarta seakan tak ingin lepas dari ketakziman.

Sosok raja diagungkan. Arwahnya pun didoakan dengan khusyu. Orang-orang di lingkaran dalam Kesultanan itu percaya bahwa dengan berdzikir di beranda makam keluarga Kerajaan Mataram adalah bentuk pengabdian tertinggi untuk para leluhur Tanah Jawa.

Ritual di pemakaman keluarga kerajaan, baik di kawasan Kota Gede maupun Imogiri, disebut sebagai prosesi sadran. Momentumnya jatuh menjelang bulan suci Ramadhan, bulan Ruwah dalam kalender Jawa atau bulan Sya`ban dalam penanggalan Arab.

Bila ditelusur ke belakang, jejak sadran di Tanah Jawa terekam jelas di era Majapahit sekitar penghujung abad ke-13 atau ketika tradisi Hindu-Buddha melekat kuat. Sadran pada masa itu disebut sadra.

Kata sadra berasal dari bahasa Sansekerta yang secara ilmu asal usul suatu kata (ttimologis) bermakna ziarah kubur. Dalam bahasa Kawi disebut sraddha atau peringatan kematian seseorang.

Awalnya, sadran memang dikenal sebagai peringatan hari kematian raja yang telah mangkat. Kematian penguasa ketiga Kerajaan Majapahit Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1350 menorehkan sejarah digelarnya upacara sraddha.

Satu dekade kemudian, upacara sraddha kembali digelar di Kerajaan Majapahit oleh Raja Prabu Hayam Wuruk, untuk memperingati kematian istri Raja Pertama Majapahit Raden Wijaya, yakni Gayatri.

Kala itu dalam tlatah Jawa hidup sebuah keyakinan leluhur bahwa yang sudah meninggal dunia, sejatinya masih ada dan turut mempengaruhi kehidupan anak cucu dan keturunannya. Seiring pergeseran sejarah, sekitar abad ke-15, ketika beberapa tokoh Walisongo mulai menyiarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Beberapa tradisi Hindu-Buddha dibiarkan tetap hidup di masyarakat. Kendati begitu, ada perubahan makna seperti ritual sadran, misalnya. Jika sadran dikenal untuk memperingati kematian seseorang dan memuja arwah leluhur, pada abad 15 sadran hanya ziarah kubur yang dihiasi dengung tahmid dan dzikir.

Saat bulan Ramadhan tiba, tradisi sadran digelar. Sederhananya, tradisi nyadran adalah ziarah kubur yang diisi dengan pesta syukur hasil bumi. Ritual nyadran bahkan mampu menjadi magnet yang menarik warga di perantauan untuk pulang.

Hal itu seperti terjadi di Desa Mendak, Klaten, Jawa Tengah. Lebih dari seribu warga menyesaki kampung dan bergerak ke areal pemakaman yang menjadi sentral nyadran. Inti dari prosesi itu adalah mendoakan mereka yang telah tiada.

Prosesi nyadran yang digelar di Klaten dibuka dengan mengarak tumpeng robyong dan sesaji keliling desa. Prosesi tersebut menandakan kebersamaan, karena dilaksanakan dari warga dan untuk warga.

Di Klaten, makam Kyai dan Nyi Bogowonto dipercaya warga sebagai tempat yang cocok untuk berdoa. Mereka juga memanjatkan syukur kepada Yang Kuasa atas hasil panen, sekaligus memohon untuk kepentingan pribadi masing-masing. Ya, mimpi sejahtera dari seluruh warga diharapkan terwujud melalui ritual nyadran.

Seperti diketahui, Tanah Jawa dikenal sebagai tanah ritual yang sebagian masyarakatnya punya cara tersendiri  untuk berterimakasih kepada yang Maha Kuasa, yakni dengan menggelar pesta. Hal itu seperti terjadi di Sendang Sinongko, Klaten, Jateng, yang menggelar pesta potong kambing untuk mensyukuri karunia dari Tuhan.

Sendang sinongko sendiri mempunyai sejarah dan daya tarik tersendiri. Warga percaya Raja Surakarta Sinuwun ke VII pernah singgah ketika dalam perjalanan ke Yogyakarta. Di situ sang raja sempat beristirahat sambil menyantap buah nangka sehingga kawasan tersebut diberi nama sendang sinongko.

Tak hanya nyadran, ritual membersihkan sendang atau kolam di pegunungan disebut syahdan juga berawal dari sebuah legenda. Saat itu diceritakan, ada seorang petani yang bermimpi bertemu seseorang yang memintanya bersedekah dan memberi sesaji, berupa nasi tumpeng dan kambing dimasak becek serta minuman dawet. Usai menjalankan tradisi itu, panen petani melimpah.

Sampai sekarang warga percaya dan mengikuti jejak petani dalam cerita yang dipercaya memberikan kemakmuran hidup bagi mereka. Upacara yang dilaksanakan tiap tahun itu ditutup dengan makan bersama seluruh warga desa.(BJK/SHA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.