Sukses

Pengamat: Enggan Sebut 14 Nama, Bisa Jadi Bumerang Bagi KPK

Apabila nama-nama itu tetap ditutupi, dikhawatirkan dapat memberi celah bagi DPR untuk mendesain dewan pengawas untuk KPK.

Liputan6.com, Yogyakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan sudah ada 14 orang yang mengembalikan uang negara terkait kasus e-KTP. Namun, KPK enggan mengungkap 14 nama tersebut.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) UGM Hifdzil Alim mengatakan keengganan KPK mengungkap nama itu bisa menjadi bumerang bagi lembaga pimpinan Agus Rahardjo tersebut.

"Kalau nama-nama itu tidak disebut bisa memunculkan asumsi KPK tebang pilih dan melemahkan kedudukan KPK di mata DPR," ujar Hifdzil, di Yogyakarta, Selasa (21/3/2017).

Terlebih, selama ini, KPK hanya menyebutkan nama yang itu-itu saja. Misalnya, nama Ketua DPR Setya Novanto dan Gubernur Jawa Tengah yang juga Ketua Keluarga Alumni Gadjah Mada Ganjar Pranowo.

"Tidak fair kalau seperti itu," ucap Hifdzil.

Dia khawatir, apabila nama-nama itu tetap ditutupi, dapat memberi celah bagi DPR untuk mendesain dewan pengawas untuk KPK.

Hifdzil juga menyarankan KPK untuk konsisten dengan pasal gratifikasi Undang-Undang Antikorupsi. Artinya, pejabat sipil negara yang menerima tiket nonton, voucher belanja, uang, dan sebagainya tetap dianggap gratifikasi.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengakui, dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, jaksa KPK tidak memasukan 14 nama yang telah mengembalikan uang korupsi e-KTP. Sebab dari 14 nama tersebut, tidak hanya per orangan tapi juga perusahaan. Namun, ia menegaskan, hal tersebut tidak otomatif menghapus unsur pidana.

"Yang mengembalikan uang sengaja tidak disebutkan namanya. Di dalam menyelidiki ada yang bekerja sama dan ada yang tidak bekerja sama. Biasanya yang bekerja sama inilah yang memberikan penjelasan lebih banyak. Tapi ingat yang mengembalikan uang pun tidak menghilangkan tanggung jawab pidananya," beber Laode.

Dia menjelaskan, ada beberapa alasan KPK enggan menyebutkan 14 nama yang mengembalikan uang korupsi e-KTP. Salah satunya adalah keselamatan.

"Biasanya kalau dia konsisten sampai persidangan kami punya itu bisa tersangka atau terdakwa yang bekerja sama atau justice collaborator. Salah satunya itu diringankan tuntutannya, tapi tergantung hakim mau mengabulkannya atau tidak," ujar Laode.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.