Sukses

Sang Politikus di Pusaran Kasus e-KTP

Selain menerima tiga laporan pelanggaran kode etik Setya Novanto, MKD juga menerima enam laporan lainnya terkait kasus e-KTP.

Liputan6.com, Jakarta - Namanya disebut-sebut terlibat dalam kasus e-KTP. Setya Novanto dituding mendapat bagian dari korupsi pengadaan e-KTP pada 2011-2012. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun beberapa kali memeriksanya untuk mengklarifikasi hal tersebut.

Tak berhenti di situ, Ketua DPR tersebut kini harus berhubungan dengan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pasalnya, ada tiga laporan tentangnya terkait kasus e-KTP.

Namun, Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum mengetahui persis seluruh laporan yang masuk, dan pasal apa saja yang dilaporkan ke MKD.

"Ada tiga laporan (untuk Setya Novanto). Saya enggak hafal jangan tanya pasalnya. Justru karena verifikasinya belum, saya hanya ingat yang dilaporin Pak Novanto dan kita baru masuk kemarin," ungkap Dasco di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 17 Maret 2017.

Saat disingung apakah laporan terkait kasus e-KTP yang masuk kepada MKD segera ditindaklanjuti menjadi persidangan etik, politikus Partai Gerindra ini mengaku belum mengetahuinya karena masih dalam proses verifikasi tim MKD.

"Saya baru baca sekilas pelaporannya, kita akan sampaikan kepada tim yang akan verifikasi, kalau hasil verifikasi itu kita kan bawa ke rapat internal di MKD. Ya saya tidak bisa bilang buktinya cukup kuat atau enggak, tapi itu harus diputuskan oleh tim menurut tata beracara tidak bisa keputusan laporan," ujar Dasco.

Dakwaan Jaksa di kasus suap e-ktp (Liputan6.com/Trieyas)

Sebelumnya, dalam dakwaan kasus e-KTP, nama Setya Novanto disebut-sebut. Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar dan Andi Narogong selaku penyedia barang dan jasa di lingkungan Kemendagri, dianggarkan mendapat bagian sebesar Rp 574 miliar dalam megakorupsi tersebut. Jumlah yang sama dialokasikan untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin.

Alasan Setya Novanto dan Anas Urbaningrum menerima jumlah besar karena keduanya dianggap perwakilan dari dua partai besar saat itu, serta dapat mengawal proyek yang akan digulirkan di gedung dewan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sulit

Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Sufmi Dasco mengaku belum bisa berbuat banyak terkait penindakan terhadap Ketua DPR Setya Novanto. Nama Setya Novanto disebut dalam dakwaan kasus korupsi e-KTP.

Menurut Sufmi, Ketua Umum Partai Golkar ini belum berstatus tersangka, meski namanya kerap disebut dalam kasus e-KTP.

"Kita (MKD) tidak punya kewenangan kecuali yang bersangkutan menjadi tersangka, baru bisa ditindaklanjuti," kata Sufmi di Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.

Namun begitu, kata Sufmi, MKD hanya dapat menindak pelanggaran yang terjadi pada periode saat ini saja. Sementara Setya Novanto disebut dalam dakwaan terkait kasus e-KTP pada November 2009 hingga Mei 2015.

"(Korupsi E KTP) kan periode lalu kejadiannya, MKD periode sekarang hanya berwenang untuk menindak pelanggaran yang terjadi periode saat ini saja," jelas Wakil Ketua F-Gerindra di DPR ini.

Selain menerima tiga laporan pelanggaran kode etik Setya Novanto, MKD juga menerima enam laporan lainnya terkait kasus e-KTP. Dasco mengatakan, semua laporan itu masih dalam tahap verifikasi tim MKD.

"Ya, ini kita ada sembilan kasus yang masuk pada waktu kita reses. Nah, itu kita harus verifikasi satu per satu. Laporan baru kita terima kemarin dan seperti biasanya setiap laporan pasti akan kami terima, dan setiap laporan pasti akan kami lakukan proses verifikasi," kata Dasco di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 17 Maret 2017.

3 dari 3 halaman

Setya Novanto Membantah

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus dugaan korupsi KTP elektronik atau kasus E-KTP. Ia menegaskan, dirinya tidak pernah bertemu dengan Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong.

"Sekarang sudah ada dalam dakwaan, meskipun sudah ada edaran-edaran sebelumnya sehingga saya sempat membaca. Saya sampaikan apa yang disampaikan Saudara Nazaruddin soal pertemuan saya dengan Anas, Andi Narogong dan juga Saudara Nazaruddin adalah enggak benar," ujar Setya Novanto usai menghadiri Rakornis Partai Golkar di Redtop Hotel, Jakarta, Kamis (9/3/2017).

Ia pun dengan tegas mengatakan, tidak pernah menerima apa pun dari aliran dana E-KTP.

"Saya tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin bahkan menyampaikan yang berkaitan dengan E-KTP. Bahkan, saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari E-KTP," ujar pria yang karib disapa Setnov ini.

Terpidana korupsi yang juga mantan anggota DPR M Nazaruddin seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/9) Nazaruddin kembali dipanggil KPK terkait kasus pengadaan e-KTP. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Oleh karena itu, Ketua DPR ini pun memuji kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga akhirnya sidang perdana hari ini dapat digelar. Setnov sendiri pernah dua kali dipanggil KPK sebagai saksi untuk kasus E-KTP.

"Saya mendukung apa yang sudah dilakukan oleh KPK dan mengapresiasi pimpinan KPK dan juga baik Pak Agus maupun pimpinan yang lain, khusunya para penyidik yang sudah melakukan pemeriksaan-pemeriksaan, termasuk terhadap saya," papar Setnov.

"Nah ini saya sudah disidik dua kali, sudah memberikan klarifikasi yang sejelas-jelasnya apa yang saya lihat, apa yang saya ketahui dan apa yang saya dengar," tandas Setnov.

Sebelumnya, Setya Novanto disebut-sebut menerima uang dan terlibat dalam pembahasan kasus e-KTP. Dalam dakwaan, jaksa menyebutkan sekitar Juli-Agustus 2010, DPR mulai membahas RAPBN TA 2011, yang di antaranya soal kasus e-KTP.

Pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri Andi Narogong lantas beberapa kali kembali melakukan pertemuan dengan sejumlah anggota DPR, khususnya Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin.

Pada korupsi ini, anggota Komisi II DPR mendapat bagian lima persen atau sejumlah Rp 261 miliar. Untuk Setya Novanto dan Andi Agustinus 11 persen atau Rp 574,2 miliar, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin, 11 persen atau Rp 574,2 miliar.

 

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini