Sukses

Ramai-Ramai Tolak Terlibat Kasus E-KTP

Ahok mengatakan tak mungkin terlibat kasus e-KTP, karena dia justru mengaku menolak habis-habisan proyek tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Banyaknya nama-nama besar yang diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP, tak membuat Komisi Pemberantasan Korupsi gentar untuk mengusut kasus tersebut. KPK menegaskan akan tetap menjalankan kewenangannya sebagai penegak hukum.

"Kami sedang mengusut kasus e-KTP, dan pengusutan dilakukan di jalur hukum. Sebagai penegak hukum, KPK akan menegakan hukum itu," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 7 Maret 2017.

KPK telah menetapkan dua tersangka pada kasus dugaan korupsi proyek e-KTP pada 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri. Keduanya, yakni bekas Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.

Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

KPK sebelumnya menyebut dugaan korupsi proyek e-KTP pada 2011-2012 ini sebagai salah satu kasus besar yang rumit. Setidaknya, sudah lebih dari 250 saksi diperiksa untuk proyek yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun ini.

"Agak pelik memang ini kasus (e-KTP). Di samping sudah lama, orang-orangnya sudah pensiun," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, di Jakarta, R‎abu 16 November 2016.

Setelah melalui perjalanan panjang, kasus korupsi e-KTP akhirnya sampai ke Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kasus ini disidangkan untuk pertama kalinya, Kamis 9 Maret 2017, dan dipimpin hakim John Halasan Butar Butar, Franki Tambuwun, Emilia, Anshori, dan Anwar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Larangan Siaran Langsung

Yang menarik, media dilarang menyiarkan langsung jalannya persidangan. "Benar, tidak boleh menyiarkan secara langsung," ujar Humas Pengadilan Tipikor Yohanes Priana, kepada Liputan6.com, Rabu 7 Maret 2017.

Banyak alasan persidangan dilangsungkan tertutup. "Mengingat yang sudah terdahulu, pengadilan mengambil sikap bahwa persidangan sekarang sudah tidak boleh live lagi," sambung Yohanes.

Dasar keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A Khusus nomor W 10 u1/kp 01.1.1750sXI201601 tentang pelarangan peliputan atau penyiaran persidangan secara langsung oleh media.

"Peliputan boleh. Tapi tidak live. Biasanya majelis mengingatkan. Kalau mengambil gambar tidak boleh pakai lampu atau blitz. Karena itu mengganggu," kata Yohanes.
Dalam persidangan Kamis ini, tak hanya Irman dan Sugiharto yang harap-harap cemas. Sebab, sebelumnya Ketua KPK Agus Raharjo mengatakan, akan ada banyak nama pejabat dan politikus yang disebutkan pada dakwaan itu.

Sedangkan Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebutkan, selama penyidikan, ada tiga hal yang didalami penyidik. Berdasarkan penyidikan itu pula, terungkap,tindak pidana korupsi ini direncanakan dengan matang oleh pihak-pihak tertentu. Pada proses perecanaan tersebut, lanjut Febri, terjadi pertemuan informal di antara pihak yang diduga terlibat.

"Ada pertemuan di luar kantor antara sejumlah pihak untuk membicarakan e-KTP," ujar Febri Diansyah, di Gedung KPK, Selasa 7 Maret 2017.

Menurut dia, penyidik juga mendalami proses pembahasan anggaran yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan pihak lain yang diduga terlibat kasus korupsi e-KTP tersebut.

"Karena kita gunakan Pasal 2 dan 3 (UU Tipikor), maka kita harus buktikan apa yang langgar prosedur dan ketentuan dan indikasi aliran dana pada siapa saja. Ada salah satu unsur yang kami harus buktikan dalam persidangan, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi," kata Febri. Terlebih, dalam penyidikan, Sugiharto dan Irman sudah membuka informasi yang dibutuhkan untuk mengungkap kasus yang sempat mangkrak ini.

"Para terdakwa, Sugiharto dan Irman sudah banyak memberikan keterangan yang signifikan dalam perkara ini. Bahkan kembalikan sejumlah uang," kata Febri.

Tak lama setelah pernyataan Febri ini, beredar foto surat dakwaan terkait kasus dugaan suap proyek E-KTP. Dalam surat itu tercantum nama-nama yang diduga menerima uang dari dugaan proyek suap E-KTP, di antaranya nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Ketua DPR Setyo Novanto, dan sejumlah nama yang pernah duduk di Komisi II DPR.

3 dari 4 halaman

Ganjar, Ahok, dan PDIP

Ganjar sendiri mengaku telah mengetahui foto surat dakwaan itu. "Saya hari ini dikirimi soal surat dakwaan tersebut dari teman wartawan," kata dia di Balaikota Solo, Selasa 7 Maret 2017. Ganjar juga mengakui pernah dimintai keterangan oleh KPK sebagai saksi. Namun, dia membantah menerima uang yang dimaksud.

"Saya memang disebut. Hari ini saya juga dikirim surat dakwaannya. Katanya beberapa miliar. Saya katakan itu tidak benar," tegas Ganjar.

Bantahan tersebut, kata Ganjar sudah dibuktikan dalam pemeriksaan di KPK. Saat itu, dia juga dipertemukan dengan politikus Hanura, Maryam Haryani yang menjadi saksi salah satu tersangka suap e-KTP. Dalam pemeriksaan itu Miryam juga menyatakan tidak menyerahkan uang kepada Ganjar.

"Waktu di KPK saya dikonfrontasi dengan bu Yani (Miryam). Saat dikonfrontasi itu disaksikan dua penyidik KPK. Saat itu, ditanyakan kepada Bu Yani, apa memberikan uang ke Pak Ganjar, dia menjawab tidak, karena takut. Dengan beredarnya surat dakwan yang menyebut saya menerima jelas mengejutkan," ujar Ganjar.

Ganjar pun menilai, munculnya surat dakwaan itu menimbulkan sejumlah spekulasi. Pertama, dakwaan tersebut belum dibacakan tetapi sudah keluar ke publik. "Oke lah enggak apa-apa, mungkin saat ini hawa politiknya sedang tinggi," ucap politikus PDI Perjuangan itu.

Kedua, kata Ganjar, bisa jadi dirinya menerima, namun dia menegaskan bahwa dia tidak menerima uang yang dimaksud. "Bisa jadi saya tidak terima karena ketika di-deliver kepada seseorang tidak disampaikan kepada saya," Ganjar menandaskan.

Mantan Ketua DPR Marzuki Alie juga bersuara terkait hal ini. Politikus Demokrat tini bersyukur KPK membongkar kasus e-KTP. Dia mendukung pengungkapan kasus itu, meski namanya sempat disebut-sebut.

"Pertama, saya bersyukur e-KTP dibongkar habis megakorupsi antara oknum DPR dan pemerintah ini. Tapi bukannya saya menganggap itu aneh. Saya justru mendukung kasus tersebut dikupas habis," ujar Marzuki kepada Liputan6.com, Rabu 8 Maret 2017.

Namun, Marzuki menegaskan, tidak terlibat dalam kasus dugaan korupsi itu. "Saya enggak ikut sama sekali. Enggak ikut, enggak ngerti prosesnya. Tahu-tahu masuk badget. Enggak ada yang melobi pimpinan DPR kan, apalagi ke saya," kata Marzuki.

Terlebih, pada saat itu, dia tidak membawahi urusan anggaran, termasuk pengadaan e-KTP. Dia hanya membawahi urusan yang terkait protokoler. Dia juga tidak pernah bertemu dengan pihak manapun menyangkut kasus e-KTP.

Sebelumnya, Marzuki Alie disebut-sebut menerima uang Rp 20 miliar dalam kasus e-KTP. Dia diduga mendapatkannya sekitar Februari 2011 atas permintaan rekanan Kemendagri, Andi Agustinus atau Andi Narogong, kepada salah satu terdakwa, Irman.

Sebelum uang itu diserahkan, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Herry Purnomo mengirim surat izin kepada Kemendagri untuk melaksanakan proyek e-KTP. "Pemberian itu ‎untuk kepentingan pengganggaran," ujar sumber Liputan6.com soal kasus e-KTP di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 7 Maret 2017.

"Sedih sekali saya. Ini menghabiskan waktu saya lho. Saya lagi sibuk mempersiapkan acara pada 18 Maret nanti, tapi malah ada kabar nyakitin. Apa sih yang mau saya cari? Kaya, enggak dibawa mati. Anak saya juga sudah jadi. Untuk apa?" bantah Marzuki.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang pernah menjadi anggota Komisi II DPR pada 1 Oktober 2009–7 Mei 2012 juga ikut bersuara. Dia menegaskan tidak mungkin terlibat dalam kasus megakorupsi tersebut. "Mana mungkin gua ikut-ikutan gituan (korupsi e-KTP)," ujar Ahok di Kediaman Megawati, Menteng, Rabu 8 Maret 2017.

Dia justru mengaku menolak habis-habisan proyek e-KTP. "Saya waktu itu keras saja kenapa ada seperti itu. Saya paling keras menolak e-KTP," kata Ahok.

Ada nama kadernya diduga terlibat e-KTP, PDI Perjuangan tak tinggal diam. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto memastikan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu telah memanggil kadernya yang disebut ikut menerima aliran dana dalam korupsi pengadaan e-KTP.

Menurut dia, PDIP meminta klarifikasi tentang dugaan penerimaan suap terkait megaproyek e-KTP. Tapi, kata dia, seluruh kader telah membantah tudingan itu. Namun, partainya akan menghormati proses hukum yang berjalan di Tipikor.

"Sudah langsung dilakukan klarifikasi, beberapa langsung melakukan klarifikasi bahwa tuduhan-tuduhan itu tidak benar. Biarlah nanti pengadilan yang membuktikan hal tersebut," tegas Hasto di kediaman Megawati Soekarnoputri. Menurut dia, PDIP tak ingin berandai-andai soal penerimaan suap dalam kasus e-KTP. Dia mempercayakan kasus itu kepada hukum yang berlaku.

4 dari 4 halaman

Nyanyian Nazaruddin

Munculnya nama-nama besar tersebut dari 'nyanyian' terpidana kasus korupsi Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin. Sejumlah nama disebutnya usai diperiksa terkait kasus dugaan korupsi e-KTP.

Melalui pengacaranya, Elza Syarief, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu mengapresiasi kinerja KPK yang berani mengungkap kasus e-KTP. Dia pun memiliki harapan lebih ke KPK.

"Harapannya semua terlibat bisa dihukum," kata Elza mewakili Nazaruddin kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa 7 Maret 2017 malam.

Juru bicara KPK Febri Diansyah menyebutkan, terdapat unsur perencanaan dalam pengadaan e-KTP yang diduga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Unsur perencanaan tersebut dapat dilihat dari adanya pertemuan informal di antara pihak yang diduga terlibat.

"Ada pertemuan di luar kantor antara sejumlah pihak untuk membicarakan e-KTP," kata Febri.

Kasus dugaan korupsi ini ini juga melibatkan tiga pihak yakni eksekutif, legislatif, dan pihak ketiga. "Proses pembayaran anggaran ini tentu melibatkan pihak-pihak legislatif dan eksekutif dan pihak lain yang terkait," ungkap Febri.

Berdasarkan hal itu, KPK menyebut pengadaan e-KTP diduga dilakukan pihak tertentu untuk memperkaya diri sendiri maupun korporasi, dan merupakan kasus rumit.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjahid berharap,penegakan hukum kasus ini tidak tebang pilih.

"Gerindra selama ini meneriakkan agar hukum sama tajamnya kepada semua pihak dan prinsip semua orang sama di muka hukum," kata Sodik. Dia juga menyerahkan sepenuhnya kasus ini pada Tipikor. "Gerindra selalu berpegangan pada supremasi hukum biar saja proses hukum berjalan," ucap Sodik.

Adapun Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, proses hukum kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik atau e-KTP, tidak mengganggu proses perekaman data kependudukan yang sedang berjalan.

"Walau kasus KTP elektronik dalam proses hukum oleh KPK, prinsipnya, kerja utama perekaman data kependudukan penduduk Indonesia tetap jalan," kata Tjahjo seperti dilansir Antara, Rabu 8 Maret 2017.

Tjahjo menjelaskan, dalam dua tahun terakhir, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri mampu meningkatkan secara optimal perekaman data penduduk dan akte kelahiran warga.

Dalam prosesnya, kata Tjahjo, perekaman data kependudukan memang agak tersendat dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Karena proses lelang blanko e-KTP yang di beberapa daerah sudah habis, belum selesai.

Menurut Tjahjo, proses lelang dilakukan dengan hati-hati, guna memastikan transparansi dan memenuhi aturan yang ada. Dia berharap proses lelang selesai Maret 2017, agar segera dilakukan pencetakan e-KTP secara bertahap dan dikirimkan ke daerah-daerah.

Selama menunggu proses pencetakan e-KTP selesai, kata Tjahjo, warga diberikan surat keterangan perekaman yang sah sebagai KTP. "Jadi kalau ditanya apakah ada kendala, prinsipnya kendala ada tapi pelayanan masyarakat tetap jalan walau belum bisa optimal."

"Kementerian Dalam Negeri menyampaikan maaf kepada masyarakat, semoga kekurangan perekaman yang terhambat dapat diselesaikan 2017 ini," Tjahjo menandaskan.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.