Sukses

Si Hijau Menebar Teror

Ledakan tabung gas tiga kg kerap terjadi akhir-akhir membuat masyarakat kelas bawah waswas. Alih-alih membawa kemaslahatan, "si hijau" menjelma jadi teror menakutkan.

Liputan6.com, Jakarta: Rentetan ledakan tabung gas tiga kilogram terjadi hampir di semua daerah konversi minyak tanah ke gas. Tabung elpiji jadi momok menakutkan masyarakat kelas bawah. Alih-alih memudahkan urusan dapur dan membawa kemaslahatan, "si hijau" menjelma jadi teror menakutkan.

Tabung gas kini jadi sumber bencana dan kematian. Sudah banyak korban berjatuhan akibat ledakan tabung gas. Sudah banyak pula rumah hancur gara-gara "si hijau". Inilah realitas yang belakangan terus terjadi di masyarakat. Kejadian demi kejadian menunjukkan betapa suatu yang salah masih berlangsung.

Sejak program konversi digulirkan pemerintah pada 2007, dari tahun ke tahun, jumlah insiden dan korban terus meningkat. Pada 2008, dua orang tewas, 27 luka, dan 19 rumah rusak dan terbakar. Pada 2009, korban jiwa jadi 12. Tahun ini, 15 orang tewas, 39 luka, dan 55 rumah rusak.

Dalam catatan Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) sejak 2007–2010, kasus kebakaran yang melibatkan tabung elpiji cukup besar yakni 57. Ironisnya dari 57 kasus terkait gas belum pernah dinyatakan pihak kepolisian secara jelas. Polisi hanya menyatakan kecelakaan kebakaran akibat tabung gas.

Hal yang membuat "si hijau" menjadi gampang meledak tentu saja karena kualitas yang tak setara dengan harapan. Pemerintah memaksakan untuk membagikan kompor gas berikut tabung bersubsidi tiga kilogram. Kemudian dengan harga murah seperti itu lalu masyarakat kalangan menengah ke bawah memakainya.

Masyarakat yang biasa memakai kompor minyak tanah tentu asing dengan tabung elpiji. Sayangnya pengawasan dan kualitas tabung dinomorduakan. Seharusnya masyarakat yang belum banyak mengerti tabung gas diberikan berkualitas bagus. Sebab jika terjadi human error dampaknya akan fatal.

Namun yang terjadi di lapangan adalah sudah masyarakat belum terlalu paham tentang tabung elpiji dan kompornya, dikasih pula kualitas yang rendah. Begitu terjadi kesalahan pemakaian sedikit, langsung meledak. Sudah bisa diketahui mulai dari yang tua sampai di bawah usia lima tahun jadi korbannya.

Jika tidak segera diantisipasi, korban jatuh dipastikan bertambah. Sebab puluhan juta tabung gas ukuran tiga kilo dan 12 kg yang rentan meledak beredar di masyarakat. Hal itu akibat standar keamanan yang rendah, pengoplosan, dan pemalsuan. Rumah tangga di negeri ini masih dalam bahaya yang serius.

Apa lacur, warga yang sudah mendapatkan elpiji tak mungkin lagi beralih ke minyak tanah. Selain harganya mahal, tentu saja kompor minyak sudah lama mereka istirahatkan. Mereka yang menggunakan elpiji kini merasa terancam. Bahkan anggota DPR RI mengatakan saat ini tak ubahnya dalam kondisi siaga I.

"Sudah sangat meresahkan dan bisa dikategorikan siaga I karena masyarakat pengguna tabung gas tiga kg tidak lagi memiliki rasa aman. Padahal pengguna elpiji adalah masyarakat yang patuh pada kebijakan konversi minyak tanah ke gas yang dilakukan pemerintah," tutur Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan.

Sementara itu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai pemerintah melakukan pembiaran dan tak ada kesungguhan guna segera mengakhiri keadaan ini. Pemerintah diminta serius menindaklanjuti kasus ledakan gas untuk memberi rasa aman pada masyarakat yang sudah patuh pada program konversi minyak tanah ke gas.

Menanggapi berbagai kritik itu, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, PT Pertamina dinyatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk ikut mencegah terjadinya kebocoran tabung gas. Sebab Pertamina tahu siapa saja para pemasok tabung gas elpiji.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pernah menyebutkan penyebab utama tabung gas bisa meledak adalah disebabkan beberapa hal antara lain buruknya kualitas komponen kompor, tabung dan aksesorisnya seperti selang, regulator dan katup. Peletakan tabung gas pada ruangan yang kurang ventilasi.

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria mengatakan pemerintah melalui Pertamina dan Kementerian Perindustrian harus memberikan informasi masa pemakaian regulator dan selang. Alasannya perangkat itu memiliki masa pemakaian paling lama satu tahun. Jika sudah melewati batas waktu harus diganti.

Sofyano menghimbau kepada masyarakat agar lebih memperhatikan masa pakai selang dan regulator. Jika memang kondisinya sudah mengkhawatirkan segera ganti baru. Jangan memaksakan menggunakan regulator dan selang yang rusak misalnya dengan menambal di bagian yang bocor karena bisa memicu kebakaran hingga ledakan.

Mungkin para pengguna elpiji tidak akan menambal bagian selang yang bocor jika mereka mempunyai uang lebih. Pasalnya hampir sebagian besar pengguna elpiji bersubsidi tak kuat untuk membeli selang serta regulator ber-Standar Nasional Indonesia (SNI) yang baru. Harganya bagi ukuran mereka cukup mahal.

Harusnya jika diproduksi dengan kualitas lebih baik kita bisa menghidari ledakan demi ledakan. Kalau memang ingin memberi yang gratis buat rakyat, bagikan yang berkualitas. Jangan karena buat rakyat miskin lalu diproduksi seadanya. Jangan sampai teror si hijau berkelanjutan dengan jatuhnya korban makin besar.

Rentetan ledakan tabung gas adalah bagian dari kelalaian pemerintah. Semakin banyaknya kasus, sebetulnya tidak ada alasan dalam hal ini pemerintah untuk tidak bertanggung jawab atas tabung gas tersebut. Tapi alih-alih bertanggung jawab, masyarakatnya yang diminta waspada terhadap "bom gratis" yang dibagikan itu.

Untuk menghentikan teror dari program konversi minyak tanah perlu diambil langkah-langkah nyata oleh pemerintah dan pihak yang bertanggung jawab. Teliti dan evaluasi produksi tabung beserta aksesorinya, serta jalur distribusinya. Jangan sampai produk yang tak memenuhi standar bisa beredar.(JUM)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.