Sukses

Tren Bergesernya Skema Permainan

Menikmati hajatan Piala Dunia 2010 yang baru saja usai, ada satu catatan menarik untuk digarisbawahi. Tren skema permainan bergeser, dari formasi 4-4-2 ke 4-2-3-1 yang fleksibel dan lebih mengalir.

Liputan6.com, Jakarta: Hajatan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan selesai sudah. Juara dunia yang baru telah lahir. Spanyol menjadi negara kedelapan yang berhak mencium trofi paling prestisius dari kancah sepakbola antarnegara sejagat. Melalui gol tunggal Andres Iniesta di babak perpanjangan waktu, “Tim Matador” menanduk Belanda dalam partai final di Stadion Soccer City, Johannesburg, Ahad (11/7). Drama sepakbola terbesar itu menghadirkan final yang untuk pertama kalinya, sejak bergulir pada 1930, tanpa dihadiri kuartet kekuatan utama Brasil, Italia, Jerman, dan Argentina. Sayang duel final antara Spanyol dan Belanda lebih banyak dihiasi hujan kartu kuning. Wasit Howard Webb yang asli Inggris mengeluarkan 14 kartu kuning, sembilan lembar di antaranya untuk Belanda, termasuk kartu merah untuk John Heitinga.

Terlepas dari partai final nan kotor, terdapat sebuah catatan menarik dari ajang PD edisi yang ke-19 ini. Pola permainan negara-negara peserta mulai bergeser. Era formasi konservatif 4-4-2 mulai ditinggalkan. Pun demikian dengan formasi tiga baris lainnya. Tim-tim mulai mengedepankan skema satu striker dan mayoritas mengusung formasi 4-2-3-1. Hasilnya kesuksesan yang diraih. Spanyol dan Belanda menggunakan skema tersebut. Pun demikian Jerman dan Uruguay, dua negara yang lolos hingga babak semifinal. Barisan belakang tetap tangguh karena diisi empat pemain bertahan, dua penyeimbang alias holding midfielder, tiga gelandang serang atau penyerang lubang dan satu target-man menjadi amunisi membobol gawang lawan. Pola ini diejawantahkan para pelatih dengan inovasi masing-masing. Utamanya formasi ini lebih fleksibel dan mengalir.

Misal garapan pelatih Vicente del Bosque di Spanyol. Pelatih berkumis tebal ini gemar sekali menandemkan Xabi Alonso dan Sergio Busquets sebagai dua gelandang bertahan. Keduanya berbagi tugas dengan baik. Busquets dan Alonso dengan apik meredam dan/atau mematahkan serangan lawan serta menjadi pijakan dalam melancarkan serangan. Fernando Torres atau David Villa menjadi ujung tombak, juga disokong Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Pedro Rodriguez yang memiliki daya ofensif dan kreativitas tinggi. Dengan tenang dan rapi La Furia Roja mengubah-ubah posisi dan arah serang. Tim lawan dipaksa bekerja keras dan menjaga konsentrasi dalam meladeni umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki. Lengah atau bahkan melakukan kesalahan akan kena batunya.

Pola permainan Matador membuat Belanda frustasi dan terpaksa menunggu. Akan tetapi ada kelemahan dari permainan sabar ala Spanyol. Produktivitas tim akan berkurang ketika tim lawan dikondisikan berada dalam keadaan tertekan. Alhasil, banyak pemain lawan berkonsentrasi menjaga daerahnya sendiri dan ujung-ujungnya lini pertahanan pun jadi sulit dibongkar. Itulah mengapa Spanyol hingga melewati partai puncak hanya mengemas delapan gol, jumlah terkecil yang dikumpulkan sang kampiun sepanjang sejarah.

Skuad Oranje juga menerapkan formasi serupa. Namun, Bert van Marwijk, pelatih Belanda, senang bermain dengan serangan cepat dan tertuju langsung ke gawang lawan. Mereka juga, ketika menyerang, sangat bergantung kepada skill individu Wesley Sneijder dan Arjen Robben. Salah satu keunggulan Oranje yang membuat mereka lolos ke final yakni satu kesatuan dalam bermain. Lihatlah bagaimana Sneijder ikut membantu pertahanan ketika dibutuhkan. Tapi ketika menyerang perannya langsung berubah. Tidak sekadar mengirim umpan dan mengkreasi gol, Sneijder menjadi momok berbahaya di depan gawang lawan.

Tim dengan pola 4-2-3-1 bisa bermain dengan atau tanpa menjaga keunggulan ball-possession. Skema ini juga menghasilkan keseimbangan dalam bertahan dan menyerang. Lihatlah bagaimana jomplangnya kekuatan Jerman ketika bertemu Argentina di babak perempat final! Para pemain Panser melibatkan diri dalam tugas bertahan dan menyerang dengan disiplin. Argentina terlalu banyak pemain bernaluri menyerang. Hasilnya, Jerman membantai Tim Tango empat gol tanpa balas.

Bukti sahih strategi permainan sepakbola bergulir dinamis yakni tugas ganda dari para pemainnya. Lukas Podolski merupakan seorang penyerang tulen dari Jerman, tetapi di Afrika Selatan ia bermain melebar ke sayap kiri. Ketika Jerman menyerang, Poldi, nama bekennya, menyisir atau menusuk ke dalam kotak penalti untuk mendukung Miroslav Klose. Tetapi ketika bertahan ia tidak segan untuk turun, bahkan bisa sama posnya dengan bek sayap.

Dari kacamata strategi bertahan, Paraguay tahu betul bagaimana menutup ruang. Segera setelah kehilangan bola para pemain asuhan Gerardo Martino langsung berada di daerahnya. Sepertinya La Albirroja belajar banyak bagaimana mengunci bek sayap lawan untuk tidak dengan leluasa ikut naik membantu serangan. Berharap kepada penyerang lubang menjadi strategi yang digemari belakangan. Lagi, Paraguay contohnya. Roque Santa Cruz yang notabene striker murni dikorbankan untuk menyokong Lucas Barrios.

Negara tetangga Paraguay di Amerika Selatan, Cile juga menyita perhatian. Pelatih Marcelo Bielsa pandai menutupi kekurangan tinggi badan rata-rata pemainnya dengan memanfaatkan kecepatan yang dimiliki. Di fase penyisihan grup Cile merepotkan Spanyol dan mengandaskan Honduras dan Swiss. Sayang di putaran kedua mereka harus bertemu Brasil dan terbukti “kalah tua”. Legenda hidup sepakbola Belanda Johan Cruyff sampai dibuat berdecak kagum dengan determinasi La Roja.

Di tengah era 4-2-3-1, Inggris yang diarsiteki Fabio Capello tetap dengan formasi 4-4-2. Stabil memang, tapi skema ini mudah rusak. “Tiga Singa” ngos-ngosan dan akhirnya dikandaskan Jerman dengan skor memalukan, kalah 1-4. Tidak banyak negara peserta PD 2010 yang mengandalkan pola ini. Amerika Serikat termasuk salah satunya dan sama saja dengan Inggris, Paman Sam keok di babak perdelapan final.

Jika menengok ke belakang, formasi empat baris ini sudah ngetren di level klub. Larisnya strategi ini tidak terlepas dari prestasi yang digoreskan Barcelona dan Inter Milan, kedua klub menjadi juara Liga Champions dalam dua musim terakhir. Barcelona dan Inter punya gaya permainan sangat berbeda yang artinya formasi 4-2-3-1 begitu fleksibel dan dicap combat proven.

Sekarang akan sangat menarik menunggu apakah formasi fleksibel ini bisa langgeng dan tetap digemari sampai PD 2014 di Brasil. Atau justru akan kembali ke pakem tradisional 4-4-2 yang sebelumnya mendominasi tatanan strategi dari olahraga paling digemari di dunia ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.