Sukses

Dari Solo, Dunia Menari

Tarian tradisional Tanah Air menyimpan sejarah tersendiri dalam jiwa setiap penari. Kesenian ini menggunakan gerakan tubuh untuk menyampaikan pesan.

Liputan6.com, Solo: Mulut terkunci, tapi tubuh berkata-kata. Tiap gerak raga menjadi bagian dari kalimat. Boleh dibilang, seperti itulah gambaran yang terdapat dalam seni tari. Begitu pula yang dilakukan kelompok penari muda Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat. Mereka ingin mengatakan bahwa banyak manusia pandir namun angkuh, yang ingin berkuasa dan menginjak-injak yang lemah.

Kelompok seni tari ITB mempertunjukkan kebolehan mereka dalam peringatan Hari Tari Internasional yang jatuh 29 April silam. Sebanyak 2.000 penari memenuhi kawasan Solo, Jawa Tengah. Acara bertajuk Solo Menari 24 Jam ini digelar agar seniman tari tak pernah berhenti berkreasi.

Eko Supriyanto, seniman yang sempat menjadi penari latar diva pop dunia Madonna, juga hadir meramaikan acara tersebut. Eko merasa perlu berbuat sesuatu untuk dunia tari di Indonesia.

Pada umumnya, seni gerak tubuh mengenal tiga aliran: tari primitif, tradisi, dan non-tradisi. Pada tari primitif, gerak tubuh cenderung keluar secara alamiah. Ini biasanya untuk memenuhi kebutuhan ritual keagamaan. Sementara itu, seni tradisi boleh dibilang memiliki pola gerak tubuh yang muncul lebih teratur meski banyak pula yang lahir dari pengembangan tari primitif.

Satu lagi, tari non-tradisi, memiliki gerak tubuh yang lahir dari ekspresi diri atau kelompok sebagai sikap atas situasi. Jenis tarian yang satu ini menyuguhkan keragaman bentuk dan gerak yang tak berhenti pada satu titik.

Dalam seni tari, eksplorasi diri menjadi hal yang penting. Tidak hanya kelenturan otot, andrenalin yang bekerja dalam tubuh pun ikut dimainkan. Seperti yang dilakukan seniman Eko Supriyanto.

Bagi koreografer kelahiran 26 November 1970 ini, tak cuma penari yang berhak mengenakan atribut tari. Penarik becak di Solo pun tak tertinggal. Maka, Eko pun bersinergi dengan para pengayuh becak menyusuri kota sambil melenggak-lenggok sesuka hati.

Selain Eko, jiwa seni tari juga terdapat dalam diri tiga penari lain yang ikut meramaikan Solo Menari 24 Jam: Luluk, Muslimin, dan Hafid. Ketiganya tak ingin cuma sesaat mengeksplorasi tubuh. Bagi mereka, menari 24 jam bukan untuk memecahkan rekor, melainkan mencoba menghargai seni yang sudah menjadi bagian dari hidup.

Sebagai sebuah seni pertunjukan, tari bisa saja bebas tafsir. Seperti halnya lukisan, tiap warna yang keluar memancarkan makna tersendiri. Bebasnya pemaknaan biasanya muncul pada tari non-tradisi yang koreografinya lahir mengikuti cerita zaman.

Dan, zaman ikut merekam perjalanan tari di Tanah Air. Jejak sejarah Tari Ramayana misalnya. Bisa ditemukan pada periode Hindhu di tanah Jawa sekitar 850 Masehi. Relief Candi Prambanan menjadi bukti bahwa Tari Ramayana sudah begitu tua usianya di pentas seni dalam sebuah pertunjukan.

Tari adalah sebuah kreasi penciptaan gerak yang bisa dinikmati mata. Bahkan, tak cukup sekadar bergerak. Menari juga memerlukan alur dan dramaturgi.(ASW/YUS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.