Sukses

Mewujudkan Mimpi Melalui Pendidikan di Papua

Di area pegunungan Wanem, Kabupaten Yahukimo, hidup anak-anak yang berjuang untuk mewujudkan mimpinya. Wilayah ini yang tak terjangkau dan dibalut dengan kemiskinan menjadi tantangan yang harus dihadapi anak Wanem.

Liputan6.com, Papua: Pagi ini, murid Sekolah Dasar YPK Marthin Luther akan mengikuti pelajaran kesenian. Mereka akan belajar tarian Wayogire, yaitu tarian untuk meluapkan kegembiraan bersama. Dalam berhias murid-murid dibantu para guru. Tarian Wayogire, mendorong semangat anak-anak yang berteduh di puncak awan Yahukimo, Papua. Lirik lagu dalam tarian ini lebih bercerita tentang semangat hidup. Anak-anak ini datang ke sekolah dengan perlengkapan seadanya, itupun hasil santunan.

Sesampai di sekolah, anak-anak banyak melakukan permainan karena perpustakaan dan buku bacaan tidak tersedia lengkap di sekolah mereka. Anak-anak di lembah Baliem yang masih berusia lima hingga tujuh, sedang memasuki masa emas untuk menjejaki dunia pendidikan. Di kawasan ini, tahun 2007 sekitar 840 ribu dari 28 juta murid SD putus sekolah.

Bagi mereka yang putus sekolah atau terlambat masuk dunia sekolah, para anak-anak ini kemudian menjalani proses belajar mandiri secara informal di honai, seperti tempat berteduh bagi anak-anak dalam mencari ilmu. Pemuka agama setempat dan relawan dari World Vision Indonesia atau WVI, menjadi pengajarnya. Metode yang digunakan sederhana, tujuannya agar anak dapat mengenal angka dan cara berhitung.

Di area Pegunungan Wanem, Kabupaten Yahukimo, dengan ketinggian 2700 meter di atas permukaan laut ini, hidup anak-anak yang berjuang untuk mewujudkan mimpinya. Wilayah ini terpencil dan tak terjangkau serta dibalut dengan kemiskinan. Hal ini menjadi kenyataan yang harus dihadapi anak Wanem.

Ena, siswa kelas 4 SD YPK Marten Luther di Yahukimo, Papua, ini misalnya, untuk menghabiskan waktu menunggu kabut hilang, Ena dan adik-adiknya melantunkan Pesek, sebuah lagu-lagu hiburan. Ini mereka lakukan setiap akan berangkat sekolah. Ketika kabut mulai menghilang, Ena bersama kakak, adik dan sepupunya bergegas berangkat ke sekolah. Medan yang terjal dan licin, harus mereka tapaki dengan hati-hati. Air mancur kecil selalu mereka pilih untuk mandi. Mereka mengganti pakaian di dekat sekolah, agar tetap bersih sampai di sekolah, sebab mereka hanya memiliki satu pasang pakaian.

Setelah satu jam perjalanan dengan berjalan kaki, mereka tiba di sekolah. Ena harus menunggu gurunya datang. Bagi sekolah di daerah pedalaman seperti di Yahukimo ini, pengajar utama tidak datang, itu hal yang biasa. Secara swadaya hanya guru sukarela yang berasal dari desa tersebut menjadi tenaga bantu. Dalam kesehariannya, jam pertama Ena lalui dengan permainan dan olahraga, hingga bel memanggil anak-anak untuk merapat ke sekolah. Meski demikian anak-anak Pegunungan Wanem ini, tetap setia menimba ilmu untuk mewujudkan impian masa depannya yang lebih baik.

Kurikulum di sekolah ini jauh dari harapan, akibat sedikitnya jumlah guru, yakni tiga orang, dan harus merangkap mengajar beberapa mata pelajaran. Dari tiga guru, dua diantaranya remaja desa yang telah tamat SMA. Para guru ini sukarela mengajar adik-adik mereka dalam satu desa.

Ena tekun mengikuti pelajaran, karena ia bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Keinginannya ini didasarkan pada minimnya tenaga pengajar di sekolahnya. Setelah lima jam mengikuti pelajaran sekolah, Ena bersiap pulang untuk membantu orangtuanya menggarap lahan. Bagi Ena tugas ini adalah kewajiban. Keluarga Ena berasal dari suku Ngalik.

Dalam tradisi Papua, kaum wanitalah yang bekerja di ladang. Ena dan keluarganya mencari ubi hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sejak kecil Ena telah membantu orang tuanya, dengan noken atau tas kecil yang direlungkan dikepala.

Suku Ngalik di Desa Uwowe, tempat Ena berasal, memasak dengan cara membakar batu. Panas api disekam dengan pasir, membuat ubi menjadi matang dan manis. Walaupun harus membantu orangtuanya di ladang, Ena tetap harus belajar menyiapkan pelajaran esok hari.

Ruang belajar Ena dan kakaknya Salmon, gelap gulita tanpa listrik. Hanya dengan secercah cahaya dari lilin Ena belajar Matematika dan Bahasa Inggris, mata pelajaran yang menuntut konsentrasi belajar lebih keras. Ena dan kakaknya ingin terus melanjutkan sekolah dan mewujudkan impian sebagai seorang guru dan mendidik adik-adiknya di Desa Uwowe, Papua.(IDS/AYB)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini