Sukses

Survei SMRC: Sentimen Anti-Tionghoa Akibat Mobilisasi Politik

SMRC Saiful Mujani menilai sentimen anti-Tiongkok sebuah gerakan sosial, yang menjadi mobilisasi politik tertentu.

Liputan6.com, Jakarta - Isu 10 juta pekerja asal Tiongkok ke Indonesia, disebut-sebut hanya pelintiran dari target Kementerian Pariwisata terhadap wisatawan asal Negeri Tirai Bambu itu, yakni 10 juta.

Peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto mengatakan, beberapa media mainstream yang tidak kredibel memelintir isu tersebut dengan motif yang belum ketahui.

"Datanya aja tidak jelas, malah data pemerintah cenderung diabaikan, dan narasumber ada yang tidak kredibel. Ada juga narasumber yang spekulatif tapi tidak berdasarkan fakta data ngomongnya," ujar dia dalam diskusi bertema Ada Apa di Balik Sentimen Anti-China? di LBH Indonesia, Jalan Dipenogoro, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2016).

Haryanto mengimbau masyarakat agar tidak percaya terhadap hal-hal yang disebarkan media yang tidak bertanggung jawab.

"Jangan terbuai dengan judul-judul provokatif yang cenderung too good to be true," ucap dia.

Ignatius juga berharap masyarakat dapat memilih yang mana media mainstream, blog, atau media sosial terkait seberapa kredibel sumber itu.
 
"Opini (di media sosial) tentu sah-sah saja, namun pembaca juga harus memahami, mana opini seorang penulis dan yang mana berita yang mengandung check and recheck di lapangan," tutur Ignatius.

Mobilisasi Politik

Menurut survei Saiful Mujani Reseach and Consulting (SMRC) menyebutkan, sentimen anti-Tiongkok atau Tionghoa dalam masyarakat, hanya sebesar 0,8% dan cenderung stabil dalam kurun waktu 15 tahun.

"Secara statistik 15 tahun ini bisa dikatakan tidak ada persoalan yang signifikan, tapi kesan anti-China itu bervariasi. Tapi anti-China berubah-ubah berarti yang buat bukan tingkat massa tapi kelompok tertentu," ucap pendiri SMRC, Saiful Mujani, dalam diskusi tersebut.

Saiful menilai sentimen anti-Tiongkok sebuah gerakan sosial yang menjadi mobilisasi politik tertentu. "Jadi saya melihat bahwa rasialisme muncul bukan karena faktor rasialisme, tapi ada mobilisasi politik, ada yang menggunakan ras untuk kepentingan politik," dia menambahkan.

Saiful mengatakan, meski dalam tren rendah dan stabil, tetapi sikap anti-Tiongkok bervariasi. Sebab, menurut dia, sikap anti-Tiongkok bukan berada di tingkat massa tapi pada kelompok tertentu.

"Selama 15 tahun begini terus, tapi kesan anti-China itu bervariasi. Tapi anti-China berubah-ubah, berarti yang membuat bukan tingkat massa, tapi kelompok tertentu," tegas dia.

Saiful menjelaskan, gerakan sosial bukanlah tindakan spontan karena kemarahan massa, namun lebih terkait faktor-faktor tertentu. Di antaranya political opportunity structure, mobilizing structure, dan framing process.

Faktor pertama, gerakan sosial anti-Tiongkok muncul ketika kelompok tertentu melihat bahwa pejabat atau pemerintah yang berkuasa tidak sesuai harapan. Sehingga membutuhkan dukungan massa untuk menciptakan opini buruk.

"Peluang itu muncul ketika elite politik dilihat tidak solid dan bersaing, sehingga membutuhkan dukungan massa," ucapnya Saiful.

Faktor yang kedua, mobilizing structure. Saiful menjelaskan, yang berarti gerakan anti-Tiongkok muncul hanya apabila dimobilisasi oleh suatu kelompok yang memiliki kekuatan.

"Gerakan sosial hanya mungkin terjadi apabila ada organisasi yang memobilisasi sumber daya manusia, materi, jaringan, skill, dan simbol. Ada organisasi dan ada kepemimpinan," ujar Saiful.

Ketiga, faktor framing yang menunjukkan kelompok ini berupaya menyebarkan doktrin tertentu dan menciptakan opini pada etnis Tionghoa di Indonesia.

"Ya seperti ada ide, semangat, sentimen, jargon, ajaran, doktrin yang memberi makna, yang menarik orang hingga terbentuk solidaritas kolektif, dan bahkan membentuk semacam identitas atau kelompok sosial baru," saiful memaparkan.

Menurut Saiful, SMRC mensurvei sikap toleransi masyarakat terhadap kelompok etnis Tionghoa di Indonesia.

Hasilnya, masyarakat masih cukup toleran terhadap keberadaan etnis Tionghoa. Ketidaksenangan masyarakat pada etnis ini masuk di urutan ke-8 dengan persentase 0,8 persen.

Menurut survei pada November 2016, sebagian besar warga mengaku tidak suka kelompok radikal Islam Iraq dan Syria (ISIS), disusul dengan kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), Komunis, Yahudi, Kristen, FPI, Wahabi, dan yang terakhir adalah etnis Tionghoa.

"Survei terakhir pada November 2016, kelompok yang tidak disukai oleh paling banyak warga adalah Negara Islam Iraq dan Syria (ISIS), sebesar 25,5%. Kemudian LGBT 16,6%, dan Komunis 11,8%. Sementara Kristen/Katolik sebagai kelompok yang paling tak disukai sebesar 2,6%, dan China/Tionghoa sebesar 0,8%," papar Saiful.

Survei SMRC soal tingkat toleransi warga Indonesia terhadap etnis Tionghoa dilakukan dalam kurun 2001-2016, dengan menggunakan teknik probability sampling atau opini publik sementara, dan ukuran sampel tiap survei selalu di atas 1000. Survei ini memiliki margin of error rata-rata +/- 3,5% pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Kasus Ahok

Saiful menilai rasialisme muncul bukan karena faktor rasialisme, namun ada upaya dari ketidainginan kelompok tertentu menjadikan minoritas menjadi pemerintah atau pejabat terpilih. Dia mencontohkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Sentimen anti-China ini kan tergolong stabil dan relatif konstan, seperti yang sudah disurvei ke masyarakat. Nah, ormas tertentu kan memang sudah dari sananya anti-Ahok, karena dia Kristen, dan sudah sering melakukan aksi anti-Ahok jauh sebelum Pilkada," kata Saiful.

Saiful mengatakan, sebelum Pilkada sentimen dari ormas tertentu kepada Ahok tidak terlalu besar. Fokus intoleransi pada pihak tertentu yang memobilisasi anti-Tiongkok tersebut, diprediksi berpeluang besar untuk memperkuat sentimennya jelang Pilkada.

"Teman ormas ini bertambah banyak ketika momennya pas dan beredar pidato Ahok tentang penistaan agama, hingga membawa massa yang besar. Bukan hanya karena ormas, tapi juga karena rival Ahok dan gerbong pendukungnya dalam Pilkada DKI membuat framing anti-China itu membesar. Nah, frame itu bukan karena masyarakat tidak toleran, tapi karena diciptakan," kata dia.

Saiful menambahkan, kasus penistaan agama tersebut berdampak langsung pada mesin politik Ahok dan pendukungnya.

"Sebelum kasus penistaan tersebut, kaum Islam banyak yang mendukungnya dan memilihnya untuk menjadi pejabat. Sejak itu, sebagian besar pendukung Ahok yang Islam menurun, bahkan mengambang," Saiful menandaskan.

(Cynthia Lova)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.