Sukses

Polisi di Antara Fatwa Baru MUI

MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat muslim menggunakan atribut Natal.

Liputan6.com, Jakarta - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali jadi sorotan. Kali ini MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat muslim menggunakan atribut Natal. 2682046

"Barang siapa yang menyuruh, apalagi memaksa seorang muslim yang menggunakan atribut non-muslim, haram," ujar Ketua Fatwa MUI Hasanudin AF kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin 19 Desember 2016.

Tak hanya ketika Natal, kata Hasanudin, fatwa ini juga berlaku bagi perayaan hari besar agama non-muslim. MUI hanya mengeluarkan fatwa tersebut, sementara regulasinya diserahkan ke pemerintah termasuk polisi.

Ketua Umum MUI Marif Amin mengungkap beberapa alasan di balik lahirnya fatwa tersebut. "Ini karena adanya keluhan dari masyarakat, banyaknya mereka dipaksa," kata Maruf.

Menurut dia, beberapa perusahaan mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan karyawannya menggunakan atribut dalam rangka menyambut perayaan Natal.

"Mereka enggak berani menolak karena ada tekanan. Oleh karena itu, mereka butuh pegangan. Di situ MUI memberi fatwa untuk menjadi pegangan dan supaya itu oleh pihak keamanan dan penegak hukum juga melindungi masyarakat," ujar Maruf.

Dia berharap dengan keluarnya fatwa tersebut, pihak perusahaan atau pengelola mal tidak memaksakan karyawannya menggunakan atribut tersebut. "Jadi, jangan ada paksaan kepada karyawan di mal atau perusahaan-perusahaan lainnya," ujar dia.

Maruf mengklaim pihaknya banyak mendapat pengaduan terkait kebijakan penggunaan atribut Natal. Aduan itu sudah cukup lama dia terima.

"Tadinya saya pikir enggak serius. Jadi orang enggak terlalu perhatikan. Tapi lama-lama orang ternyata mengadu. Karena ini semacam keharusan, itu mereka enggak bisa menghindar," ujar dia.

Memang, MUI tidak mendapatkan langsung aduan tersebut. "Masyarakat, kemudian mereka mengeluh kepada gurunya, ustaznya kan begitu. Nah itu disampaikan ke MUI, makanya kita buat fatwa," kata Maruf.

Lalu, bagaimana bila ada perusahaan yang tetap melanggar fatwa tersebut? "Ya, kalau dia melaporkan ya kita tindaklanjuti. Karyawan atau bukan karyawan yang melapor ke MUI ya langsung kita tindaklanjuti," Maruf menegaskan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Sikap Polisi

Polda Metro Jaya telah menggelar rapat dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pemprov DKI, dan sejumlah ormas keagamaan. Rapat yang dilakukan Jumat 16 Desember lalu itu membahas terkait isu-isu jelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2017.

Salah satunya yakni mengenai fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut non-muslim bagi umat Islam. "Setelah kita melihat ada Fatwa MUI, kita mengadakan rapat dengan beberapa elemen masyarakat dan beberapa kapolres semua. Intinya bahwa kita harus melihat dengan fatwa itu, dan memberikan informasi kepada masyarakat," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono.

Rapat tersebut, lanjut Argo, dilakukan agar tidak terjadi perbedaan persepsi di masyarakat terkait keluarnya fatwa MUI itu. Pihaknya tidak ingin, fatwa tersebut justru disalahgunakan pihak-pihak tertentu untuk perbuatan pidana, seperti sweeping dan sebagainya.

Padahal, fatwa tersebut dikeluarkan dengan harapan toleransi antar-umat beragama di Indonesia semakin meningkat. "Intinya bahwa kita satu padu dengan elemen masyarakat yang ikut rapat di situ untuk menyikapi itu dengan harapan bahwa adanya fatwa itu semuanya kita toleransi beragama di Indonesia bisa berjalan dengan baik," ujar Argo.

Berikut tujuh poin hasil pertemuan tersebut:

1. Terbitnya fatwa MUI No 56 tahun 2016 tanggal 14 Desember 2016 tentang hukum menggunakan antribut non-muslim perlu dihormati bersama.

2. Instansi terkait untuk dapat mensosialisasikan maksud dari fatwa tersebut. Pemda, kepolisian, bahkan MUI sendiri atau bahkan lembaga-lembaga yang lain.

3. Berikan pemahaman kepada para pengelola mal, hotel, usaha hiburan, tempat rekreasi, restoran dan perusahaan agar tidak memaksakan karyawan atau karyawati yang muslim untuk menggunakan atribut non-muslim.

4. Semua pihak mencegah adanya tindakan main hakim sendiri. MUI meminta bahwa rekomendasi pertama dari fatwa itu justru hormati keberagaman agama di Indonesia dan hormati kerukunan umat beragama yang ada. Oleh karena itu tidak boleh melakukan sweeping baik oleh siapapun, mengatasnamakan siapapun, apalagi menggunakan fatwa ini untuk melakukan tindakan anarkis. Itu tidak boleh. Polri diminta untuk melakukan tindakan tegas terhadap siapapun yang melakukan aksi sweeping atau tindakan main hakim sendiri.

5. Koordinasi antar-instansi terkait untuk melakukan langkah antisipasi terhadap kerawanan yang akan timbul dengan melibatkan para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda.

6. Semua pihak agar tetap mematuhi ketentuan hukum yang berlaku karena negara kita merupakan negara hukum. Ingat, jangan main hakim sendiri. Kedepankan hukum dan serahkan kepada pihak kepolisian.

7. Mari kita semua tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat,  berbangsa dan bernegara serta beragama.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegur Kepala Polres Metro Bekasi Kota dan Polres Kulonprogo Yogyakarta terkait surat edaran dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut dia, surat edaran polisi tak bisa dikeluarkan berdasarkan fatwa MUI.

"Saya tegur keras mereka karena tidak boleh mengeluarkan surat edaran yang mereferensikan kepada fatwa MUI," ujar Tito.

Dia menegaskan, fatwa MUI bukan merupakan rujukan dalam sistem hukum di Indonesia. "Itu sifatnya hanya untuk koordinasi, bukan menjadi rujukan kita menegakkan. Jadi langkah-langkahnya koordinasi, bukan mengeluarkan surat edaran yang kemudian bisa jadi produk hukum bagi semua pihak. Saya suruh cabut," ujar mantan Kapolda Metro Jaya ini.

Polres Metro Bekasi Kota menerbitkan Surat Edaran Nomor: B/4240/XII/2016/Restro Bks Kota tertanggal 15 Desember 2016 Perihal Imbauan Kamtibmas.

Kemudian Polres Kulon Progo DIY juga mengeluarkan surat edaran dengan nomor B/4001/XII/2016/Intelkam tertanggal 17 Desember 2016 Perihal Imbauan Kambtibmas yang ditujukan kepada para pimpinan perusahaan.

Surat tersebut untuk mencegah timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang bermuatan suku, ras, agama dan antar-golongan saat merayakan Hari Natal 2016 dan Tahun Baru 2017. Pimpinan perusahaan diminta menjamin hak beragama umat Muslim dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan nonmuslim kepada karyawan/karyawati.

3 dari 5 halaman

Dilarang Sweeping

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan, pihaknya akan bersama-sama dengan semua kelompok atau stake holder seperti Pemerintah Daerah, TNI, juga masyarakat untuk memaksimalkan pengamanan pada saat Natal nanti. Mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tidak boleh menggunakan atribut Natal untuk warga nonmuslim, dia meminta agar ormas-ormas tidak melakukan sweeping.

"Ini menggunakan bahasa yang agak sensitif sehingga ini (fatwa MUI) dijadikan dasar oleh beberapa ormas untuk melakukan kegiatan sweeping atau apapun namanya sosialisasi lah ke pertokoan, mal, dan lain-lain. Menghadapi situasi ini saya sudah perintahkan kepada jajaran saya kalau ada sweeping dengan cara anarkis, tangkap, tangkap dan proses karena itu pelanggaran hukum," kata Tito di Jakarta Timur, Senin (19/12/2016).

Tito mengatakan, ketika ada ormas yang berdalih dengan menggunakan alasan sosialisasi tetapi datangnya ramai-ramai, itu juga tidak boleh.

"Silakan sosialisasi tapi gunakan cara yang baik, tidak membuat orang takut," papar dia usai mengisi acara seminar bertajuk Merangkai Indonesia dalam Kebhinnekaan di Universitas Negeri Jakarta, Jalan Rawamangun Muka.

Mantan Kapolda Papua ini juga meminta agar para pemilik toko tidak memaksa karyawannya untuk memakai atribut Natal. "Yang tidak boleh itu kalau ada pemilik toko misalnya, dia memaksa karyawannya memakai atribut Natal atau topi sinterklas dan dipaksa kalau enggak dipakai akan dipecat, nah itu enggak boleh," Tito menegaskan.

Tito pun mengimbau kepada ormas-ormas agar memahami bahwa fatwa MUI bukanlah hukum positif di Indonesia. Untuk itu, dirinya pun meminta agar MUI jika ingin melakukan sosialisasi secara baik-baik.

"Untuk itu silakan kalau mau sosialisasikan, lakukan dengan cara baik-baik, tidak membuat masyarakat takut. Gunakan MUI di cabang, bukan ambil langkah sendiri-sendiri," kata Tito.

Kemudian, lanjut Kapolri, dia  memerintahkan jajarannya agar melaksanakan tindakan sesuai aturan hukum. Sehingga apabila ada pelanggaran, dia pun meminta agar orang atau pihak tersebut ditangkap.

"Kalau ada pelanggaran hukum, mengancam, mengambil barang atau atribut, dan lain-lain, tangkap. Kita tidak boleh kalah. Masyarakat harus dilindungi," Tito memungkas.

4 dari 5 halaman

Perkuat Toleransi

Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menilai fatwa MUI tersebut secara esensi untuk memperkuat toleransi dan menjaga kerukunan antarumat beragama, yang dibuktikan melalui sikap penghormatan terhadap perbedaan keyakinan beragama di Indonesia.

"Prinsipnya tidak boleh ada pemaksaan terhadap keyakinan beragama bagi pemeluk agama lain. Karyawan muslim yang tidak mau menggunakan atribut agama lain, tidak boleh dipaksa, apalagi terkena sanksi. Demikian juga sebaliknya umat Islam juga tidak akan memaksakan keyakinannya kepada agama lain, termasuk dalam hal atribut keagamaan," jelas Jazuli.

Selain itu, Jazuli menilai fatwa tersebut lahir karena sudah menjadi tugas MUI untuk memberikan bimbingan kepada umat Islam dalam menjalankan ajaran agama, salah satunya melalui fatwa.

"Jadi, fatwa MUI termasuk fatwa tentang penggunaan atribut agama lain bagi seorang muslim, adalah sudah tepat tugas MUI sebagai bentuk tanggung jawab guna membimbing umat," ujar dia.

Justru dengan adanya penghormatan dan penghargaan atas keyakinan beragama itulah, tambah Jazuli, yang mengokohkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Oleh karena, hal itu dapat menghindarkan dari kesalahpahaman, konflik batin, atau bahkan potensi ketegangan akibat pemaksaan oleh perusahaan untuk menggunakan atribut perayaan agama yang tidak sesuai keyakinan agamanya.

"Untuk itu Fraksi PKS menyambut baik sikap aparat keamanan, seperti yang ditunjukkan Polres Metro Bekasi Kota, yang mengeluarkan edaran dengan konsideran fatwa MUI tersebut," kata dia.

Surat edaran itu, lanjut dia, berisi imbauan agar perusahaan tidak mewajibkan atau memaksa karyawannya menggunakan atribut yang tidak sesuai dengan keyakinannya.

"Saya kira imbauan tersebut positif dan konstruktif dalam menghindari kesalahpahaman di masyarakat," kata Jazuli.

Di sisi lain, sambung dia, dengan adanya fatwa haram dari MUI ini, dinilai juga tidak akan mengurangi kemeriahan perayaan hari besar setiap agama yang sejak bertahun-tahun selalu meriah dirayakan di Indonesia. Bahkan hari besar setiap agama di Indonesia ditetapkan sebagai hari libur nasional.

"Inilah wajah toleransi antar umat beragama Indonesia yang patut kita syukuri bersama," Jazuli memungkas.

5 dari 5 halaman

Fatwa Lengkap

Berikut Fatwa lengkap MUI yang mengharamkan menggunakan atribut non-muslim.


FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Nomor 56  Tahun 2016

Tentang

HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :

MENIMBANG :

a. bahwa di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka;

b. bahwa untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan  mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim;

c. bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim;

d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman.

*MENGINGAT : *

1. Al-Quran :

a. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan meniru perkataan orang-orang kafir, antara lain:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُو  وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ‘Raa´ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)

b. Firman Allah SWT yang melarang mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, antara lain:


وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS. al-Baqarah : 42)

c. Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama, khususnya terkait dengan ibadah, antara lain:

 
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ(1)لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ(2)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(3)وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ(4)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(5)لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ(6)

"Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6)

d. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan syi’ar selain Islam, antara lain:

 وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am: 153)

e. Firman Allah SWT yang tidak melarang orang Islam bergaul dan berbuat baik dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam


لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahanah : 8)

f. Firman Allah SWT yang mengkhabarkan bahwa orang mukmin tidak bisa saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, antara lain:

 لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. Al-Mujadilah: 22)

2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR. al-Bukhari dan Muslim)


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى َقالَ فمَنْ

Dari Abi Sa’id al-Khudri ra dari Nabi Saw: “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka memasuki lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga” Kami berkata: Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata: “Maka siapa lagi?.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

 
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ

Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya”. (HR. al-Tirmidzi)

3. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak dan bathil.

4. Qaidah Fidhiyyah:

دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

 “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan"

1. Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam  kitab “Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:

ﻭَﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﺩِﻫِﻢْ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻤْﺴِﻚُ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺔَ ﻭَﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺬِﻣِّﻲٍّ ﻳَﺎ ﺣَﺎﺝُّ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻨَّﺄَﻩُ ﺑِﻌِﻴﺪِﻩِ....

“Dihukum  ta’zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi  ‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya (orang kafir)...”.

2. Pendapat Imam Jalaluddin al-Syuyuthi  dalam Kitab “Haqiqat al-Sunnah wa al-Bid’ah : al-Amru bi al-Ittiba wa al-Nahyu an al-Ibtida’, halaman  42:

ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة كما يفعله كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه …والتشبه بالكافرين حرام وإن لم يقصد ما قصد

Termasuk bid’ah dan kemungkaran adalah sikap menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya dan perayaan-perayaan mereka yang dilaknat (oleh Allah). Sebagaimana dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu, yang ikut-ikutan orang-orang Nasrani dan menyamai mereka dalam perkara yang mereka lakukan… Adapun menyerupai orang kafir hukumnya haram sekalipun tidak bermaksud menyerupai”.

3. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, jilid IV halaman 239 :

ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك

Di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi Saw telah bersabda:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut”.

 4. Pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I halaman 373 saat menjelaskan makna surah al-Baqarah [2] ayat 104:

أن الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا . فقال: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا  وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ(

Sesungguhnya Allah melarang orang-orang mukmin untuk  menyerupai orang-orang kafir baik dalam ucapan atau perbuatan, Maka Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa´ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”

5. Pendapat Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid XXII halaman 95:

أن المشابهة في الأمور الظاهرة تورث تناسبا وتشابها في الأخلاق والأعمال ولهذا نهينا عن مشابهة الكفار

Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berdampak pada kesamaan dan  keserupaan dalam akhlak dan perbuatan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir.”
 
6. Pendapat Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al-Dzimmah, Jilid 1 hal. 441-442:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

7. Pendapat al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari, sebagaimana dikutip Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadi dalam kitab Aun al-Ma’bud, Juz XI/hal 74 dalam menjelaskan hadits tentang tasyabbuh:

وقال القارئ: أي من شبه نفسه بالكفار مثلا من اللباس وغيره أو بالفساق أو الفجار أو بأهل التصوف والصلحاء الأبرار فهو منهم أي في الإثم والخير

Al-Qori berkata: “Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang fasik, pelaku dosa serta orang ahli tashawwuf dan orang saleh dan baik  (maka dia termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau kebaikan.”

 9. Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama pada Tanggal 7 Maret 1981.

10. Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1. Presentasi dan makalah Prof. DR. H. Muhammad Amin Summa, MA, SH., SE tentang Seputar Sya’airillah.

12. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada tanggal 14 Desember 2016.


Dengan bertawakkal kepada Allah SWT


MENETAPKAN : FATWA TENTANG HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM

Pertama  :  Ketentuan Umum

Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :

Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau  umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.

Kedua  : Ketentuan Hukum

1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

Ketiga  :  Rekomendasi

1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.

2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.

3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.

4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan  tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.

5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.

6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan  (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim  untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.


Ketiga :  Penutup

1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

 
Ditetapkan di :   Jakarta

Pada tanggal :  

14 Rabi’ul Awwal 1437 H

14 Desember  2016 M


MAJELIS ULAMA INDONESIA

KOMISI FATWA

Ketua                


PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA  


Sekretaris

DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini