Sukses

Jerat Makar di Aksi Damai 212

10 aktivis ditangkap polisi pada Jumat dinihari 2 Desember di sejumlah tempat berbeda.

Liputan6.com, Jakarta - Ibu Kota dipadati jutaan 'pendatang baru' pada 2 Desember kemarin. Jutaan orang menggelar aksi damai di Monumen Nasional (Monas). Massa datang dari berbagai penjuru wilayah Tanah Air.

Namun, di tengah sorotan atas aksi yang berlangsung damai itu, masyarakat dikagetkan dengan penangkapan 10 aktivis oleh polisi pada Jumat dinihari 2 Desember di sejumlah tempat berbeda.

Mereka ditangkap dengan dugaan makar atau akan menggulingkan pemerintahan yang sah saat ini. 10 nama tersebut kemudian diketahui adalah Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Jamran dan Rizal Kobar.

Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar menyatakan, mereka ditangkap karena punya tujuan menguasai gedung DPR.

"Mereka ingin menguasai gedung DPR-MPR," kata Boy di Silang Monas, Jakarta 2 Desember 2016.

Kesepuluh orang tersebut diduga memanfaatkan aksi damai 2 Desember untuk melakukan makar.

"Mereka kecenderungan ingin memanfaatkan momen 212," kata Boy.

Dua orang diduga makar ditangkap di Sari Pan Pasific Hotel, yaitu Ahmad Dhani dan Firza Husein.

"Yang lainnya di rumah masing-masing," ujar Boy.

Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Kombes Rikwanto menyatakan, penangkapan 10 tersangka atas dugaan upaya makar dan pelanggaran Undang-Undang ITE bukan tanpa prosedur. Kepolisian mengumpulkan informasi terkait niatan tersebut hampir satu bulan lamanya.

"Kenapa dituduhkan adalah hasil dari penyelidikan pengumpulan informasi dan jangka waktunya setengah bulan lebih. Bahan-bahan informasi, keterangan dan lainnya," tutur Rikwanto saat konferensi pers di Kantor Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Jumat 2 Desember 2016.

Dengan data informasi yang cukup itulah, penyidik menyimpulkan untuk menangkap ke-10 orang tersebut untuk diperiksa 1x24 jam terkait makar dan UU ITE.

"Sehingga bisa dilakukan tindakan hukum penangkapan dan pemeriksaan," ujar Rikwanto.

Penangkapan itu dilakukan pada Jumat dinihari tadi. Mereka dibawa dari sejumlah lokasi yang berbeda.

"Tadi pagi dinihari jam antara 02.30 WIB sampai 06.00 WIB pagi, dari Polda telah mengamankan 10 orang. Delapan orang diduga upaya makar. Dua orang terkait pelanggaran pasal 28 Undang-Undang ITE. Mereka di Mako Brimob Kelapa Dua sedang dalam pemeriksaan," beber dia.

Kesepuluh orang itu kini sudah ditetapkan sebagai tersangka. Setelah pemeriksaan, kata Rikwanto, barulah ada putusan lanjut terkait penahanan mereka.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tersangka Bertambah

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan, tokoh dan aktivis yang diamankan pada Jumat 2 Desember kemarin menjadi 11 orang. Dari jumlah tersebut, delapan orang disangkakan melakukan makar, dua orang terkait hatespech, dan satu lainnya terkait penghinaan terhadap penguasa.

Sebelas orang yang berstatus tersangka itu telah menjalani pemeriksaan intensif di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok dan Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Sebagian telah diizinkan pulang, namun sebagian lain masih ditahan.

"Pemeriksaan sudah mengacu pada landasan hukum yang ada, bukti permulaan cukup. Insya Allah polisi akan tanggung jawab secara hukum atas proses hukum terhadap 11 warga negara kita," ujar Boy di Mabes Polri, Sabtu 3 Desember 2016.

Boy menjelaskan, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka dugaan makar dan pemufakatan jahat sebagaimana Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP.
"Yang pertama Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, ibu Firza Husein, Eko, Alvin, dan ibu Rachmawati Soekarnoputri," papar dia.

Ada satu penambahan tersangka dari berita sebelumnya, yakni Alvin Indra yang ditangkap di kawasan Tanah Sereal, Bogor, Jumat pagi.

Setelah diperiksa 1x24 jam, polisi akhirnya memulangkan delapan tersangka dugaan makar, kendati status tersangka mereka tetap melekat.

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan, ada delapan tersangka yang dipulangkan dari total 11 orang yang diamankan pada Jumat, 2 Desember pagi kemarin. Tujuh orang terkait kasus dugaan makar dan satu lainnya terkait penghinaan Presiden Jokowi.

Tujuh tersangka dugaan makar sebagaimana Pasal 107 jo Pasal 110 jo Pasal 87 KUHP, yakni Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin Indra, dan Rachmawati Soekarnoputri.

"Tidak dilakukan penahanan setelah menjalani pemeriksaan selama 1x24 jam. Atas dasar penilaian subjektif penyidik tentunya," ujar Boy di Mabes Polri, Sabtu (3/12/2016).

Kendati begitu, proses penyidikan kasus ketujuh tersangka tersebut tetap berjalan. Sejumlah barang bukti permulaan berupa tulisan tangan dan percakapan terkait makar dan atau permufakatan jahat juga telah disita penyidik.

"Barang bukti sudah disita. Jadi dalam hal ini proses hukum berjalan. Ini berkaitan dengan perencanaan menduduki kantor DPR. Juga pemaksaan dilakukannya sidang istimewa, tuntut pergantian pemerintah dan seterusnya," ujar Boy.

Sementara, tiga tersangka lainnya tetap ditahan, salah satunya adalah Sri Bintang Pamungkas.

"Jadi terhadap beliau (Sri Bintang) belum bisa kembali. Dan ini masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik Polri," ucap Boy.

Selain dugaan makar dan pemufakatan jahat, dalam perkara ini Sri Bintang juga diduga melakukan penghasutan melalui media sosial berdasarkan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

"Adapun yang dipersangkakan pada Sri Bintang, berkaitan dengan konten di YouTube pada Oktober 2016 berupa ajakan upaya melakukan penghasutan ke masyarakat luas melalui medsos," terang dia.

Kemudian dua tersangka lagi yang ditahan di Polda, yakni kakak beradik Jamran dan Rizal Kobar. Rizal ditahan berkaitan dengan hate speech, menyebarluaskan kebencian, dan isu SARA melalui media sosial Facebook dan Twitter. Keduanya juga dijerat dengan pasal makar.

"Keduanya dipersangkakan terkait dengan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) jo 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan Pasal 107 KUHP tentang Makar jo Pasal 110 KUHP tentang Permufakatan Jahat," kata Boy.

Barang bukti yang telah disita penyidik meliputi konten penghasutan yang di-posting di media sosial. Penyebaran konten tersebut telah dicium polisi sejak minggu keempat November lalu.

"Karena itu, penyidik melakukan langkah hukum. Dan atas dasar penilaian, Polri nilai sangat bahaya, konten tersebut bisa menimbulkan kemarahan dan antipati massa kepada pihak tertentu, pemerintah, yang tentu tidak mendidik masyarakat Indonesia," pungkas Boy.

Kemudian satu tersangka kasus makar lainnya yakni Sri Bintang Pamungkas masih menjalani pemeriksaan hingga sekarang. Sri Bintang juga dijerat dengan Pasal 107 juncto Pasal 110 KUHP tentang makar.

"Sri Bintang Pamungkas ini juga terkait ucapannya di YouTube. Dia juga dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE," kata Boy.

Kemudian dua tersangka lainnya yakni Jamran dan Rizal Kobar dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

"Ini kakak beradik, yang berkaitan dengan ujaran kebencian, menyebarluaskan info permusuhan ke individu, isu SARA," sambung dia.

Terakhir yakni Ahmad Dhani. Musikus kondang yang saat ini mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Bekasi itu dijerat dengan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa. Hal itu sesuai dengan pelaporan yang dilayangkan ke Polda Metro Jaya terkait dugaan penghinaan terhadap Jokowi saat melakukan orasi pada Demo 4 November lalu.

3 dari 4 halaman

Bantah Makar

Melalui pengacaranya, Sri Bintang Pamungkas, menyangkal terlibat dugaan makar yang dituduhkan kepadanya oleh penyidik Mabes Polri.

"Beliau merasa tidak melakukan tindakan makar," kata pengacara Sri Bintang, Razman Arif Nasution, Jumat 2 Desember 2016, di Depok, Jawa Barat.

Menurut Razman, Sri Bintang dibawa penyidik usai salat subuh dari kediamannya, tidak sedang bersama Ahmad Dhani maupun Kivlan Zein.

"Artinya beliau ini tidak melakukan suatu pertemuan. Terus saya tanya? Lalu apa yang disangkakan ke abang? Beliau bilang katanya ada tayangan Youtube, terkait pada saat itu beliau sampaikan di bawah jembatan Kalijodo," kata Razman.

Dia pun meminta agar video itu dicek kebenarannya, apakah video itu original dari Sri Bintang atau tidak.

Video dari Youtube itu, dilaporkan oleh seseorang bernama Ridwan Hanafi.

"Saya juga tidak kenal siapa Ridwan Hanafi," kata Razman sambil mengungkapkan, belum melihat video tersebut.

"Beliau juga tidak ingat. Katanya yang dibuat itu mengkritisi pemerintahan Jokowi. Beliau (Sri Bintang) sendiri katanya di Youtube itu," papar Razman.

Saat ditangkap atas dugaan makar, Sri Bintang sempat meminta surat perintah penangkapan. Tapi, surat itu tidak diberikan.

"Cuma ditunjukan dan diambil lagi. Begitu juga yang dialami Kivlan Zein," ujar Razman.

Bantahan juga dilontarkan musikus Ahmad Dhani. Menurut Dhani, dalam pertemuan di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat pada 1 Desember 2016 tidak ada pembicaraan mengenai makar.

"Tadi ditanyakan masalah konpers tanggal 1, dan pertemuan tanggal 30 di rumah Rachmawati. Saya jawab apa adanya," kata Ahmad Dhani, Sabtu 3 Desember 2016 dinihari.

Dhani menjelaskan, kegiatan yang dilakukan di Hotel Sari Pan Pacific adalah konferensi pers dengan dua butir tuntutan.

"Tuntutan nomor 1 penjarakan Ahok, nomor 2 kembalikan UUD 45 itu dari GSNKRI," ujar Ahmad Dhani.

Suami Mulan Jameela ini meninggalkan Mako Brimob Kelapa II, Depok pada pukul 01.51 WIB bersama kuasa hukumnya, Habiburachman. Dhani yang mengenakan pakaian serba hitam, berjalan santai meninggalkan Mako Brimob.

Dhani yakin tidak ada Berkas Acara Pemeriksaan lanjutan setelah ini. Sebab, kata dia, penetapan tersangka terkesan dipaksakan. 

"Di dalam Pasal 107 itu menggulingkan kekuasaan atau makar harus dengan cara tidak sah atau inkontitusional," ujar Ahmad Dhani.

Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) mengaku heran dengan tuduhan makar yang ditujukan kepada sejumlah aktivis yang ditahan Polri. Mereka ditangkap sebelum aksi damai 2 Desember kemarin.

Ketua Dewan Pembina ACTA Habiburokhman mengatakan, sejumlah tokoh yang ditangkap telah berusia lanjut. Mereka tidak memiliki pasukan atau senjata untuk menggulingkan pemerintahan saat ini.

"Pak Sri Bintang 70 tahun, Pak Kivlan dan Adityawarman 70 tahun. Kemudian Mbak Ratna (Sarumpaet) 59 ujung, mau 60 tahun. Kok ini aki-aki dan nini (kakek dan nenek) dituduh makar," ujar Habiburokhman dalam diskusi bertajuk "Dikejar Makar" di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 3 Desember 2016.

Habiburokhman mengaku mendampingi sejumlah aktivis yang ditangkap Polri atas tuduhan makar. Beberapa dijemput di tempat yang sama di Hotel Sari Pan Pacific, antara lain Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani.

Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, aktivis yang ditangkap semula akan dibawa ke Mapolda Metro Jaya. Kemudian dipindahkan tiba-tiba ke Mako Brimob, Depok.

"Kami kayak diculik, mau dibawa ke Lubang Buaya," ujar Habiburokhman.

Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi menambahkan, seharusnya Polri tidak terlalu panik dengan adanya dugaan makar tersebut. Sebab, yang ditangkap adalah orang-orang sudah lanjut usia.

"Terduga makar ini kan para manula, ya dihadapi dengan santai-santai saja," kata Adhie dalam kesempatan yang sama.

4 dari 4 halaman

Reaksi Tokoh

Penangkapan aktivis mengundang reaksi sejumlah tokoh Tanah Air. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyarankan aparat penegak hukum-- sebagai kepanjangan tangan pemerintah--untuk berhati-hati dalam penangkapan kasus dugaan makar.

Prabowo menekankan agar hukum dapat diterapkan secara adil kepada semua kalangan, baik kepada kalangan elite maupun rakyat bawah.

"Selalu saya anjurkan bahwa kita bertindak selalu dengan hati-hati dan dengan seadil-adilnya," kata Prabowo di Kantor DPP Partai Gerindra, Ragunan, Jakarta Selatan, Jumat 2 Desember 2016.

"Jadi saya lihat, bangsa Indonesia ini sering elite-elite tidak punya empati kepada rakyat bawah," tegas dia.

Menurut Prabowo, jika rasa empati sudah pudar, bangsa Indonesia mudah menjalankan sesuai rekayasa.

"Dengan tidak punya empati, kita juga punya sifat sering rekayasa, sering nipu, sering bohong," ujar dia.

Jika sudah demikian, kata Prabowo, kepercayaan dan dukungan dari rakyat akan hilang kepada pemerintah dan elite politik.

"Kalau sudah ada ketidakpercayaan pada sistem, lembaga negara, ini repot. Kita tidak bisa bernegara berbangsa dengan baik," kata dia.

Menurut mantan Danjen Kopassus itu, untuk melaksanakan kehidupan bernegara dibutuhkan kepercayaan antara pemimpin dan rakyatnya.

"Kita harus timbulkan masyarakat yang adil. Adil artinya harus dibangun atas dasar kebersihan, kejujuran. Kalau sistem kita rusak, jangan salahkan rakyat kalau rakyat tidak percaya dengan sistem itu," kata dia.

"Itu yang saya anjurkan di semua pihak untuk adil, hukum harus adil. Jangan hanya orang-orang tertentu yang cepat disalahkan, tapi ada pihak yang mungkin yang punya uang dan becking yang banyak, tidak diperlakukan dengan sama," tandas Prabowo.

Prabowo mengaku mengenalnya secara baik sebagian yang ditangkap. Meskipun, beberapa diantaranya dianggap mempunyai sikap yang keras.

"Sebagian saya kenal, Ibu Rachmawati saya yakin beliau punya niat yang baik. Beliau memang orang yang sangat idealis, sangat nasionalis, dan kadang-kadang punya sikap yang keras. Tapi niatnya saya kira baik, itu pendapat saya, saya tidak pengaruhi (hukum)," papar dia.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD meminta kepolisian dapat memberikan alasan yang jelas dan transparan atas penangkapan 10 aktivis dan tokoh masyarakat oleh Polda Metro Jaya pada Jumat pagi kemarin.

"Kepolisian harus bisa menjelaskan secara transparan kepada masyarakat terkait langkah makar apa yang akan dilakukan, agar nantinya tidak menimbulkan masalah baru," kata Mahfud MD di Sleman, Yogyakarta seperti dikutip Antara, Jumat 2 Desember 2016.

Dia masih mempertanyakan apakah penangkapan memang karena merupakan tindakan makar atau hanya sekadar tindakan penghinaan atau ujaran kebencian kepada pemerintah, dalam hal ini terhadap presiden dan wakil presiden.

"Dua hal tersebut merupakan dua tindakan yang berbeda," tegas Mahfud.

Ia mengatakan, untuk penghinaan dan ujaran kebencian, pasal yang dapat digunakan adalah Pasal 207.

"Sementara untuk tindakan makar jauh lebih berat karena harus ada bukti langkah atau tindakan untuk menjatuhkan Presiden di luar jalur resmi," kata Mahfud.

Mantan Menteri Pertahanan ini menyebutkan, seseorang yang dianggap makar akan menghadapi proses hukum dan ancaman hukuman yang sangat berat.

"Seseorang yang terbukti melakukan makar akan dijatuhi hukuman seumur hidup atau hukuman mati. Apakah 10 orang ini sudah benar-benar terbukti berbuat makar atau hanya ujaran kebencian, polisi harus transparan mengumumkan langkah makar apa yang mereka lakukan," pungkas Mahfud.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.