Sukses

Prostitusi Rumahan ala Pantura

Segala macam bentuk praktek prostitusi menjamur di sepanjang jalur Pantura. Praktik itu tak lagi hanya di jalan, namun juga berpindah ke rumah-rumah penduduk.

Liputan6.com, Subang: Prostitusi adalah bisnis yang tak pernah lekang oleh jaman. Meski banyak ditentang, ternyata selalu bisa bertahan. Mulai dari tempat yang telah dilokalisir menjadi pusat bisnis esek-esek hingga penjualan wanita yang menggunakan teknologi informasi, seperti situs-situs transaksi prostitusi online dan situs jejaring sosial.

Jasa pemuas nafsu mudah ditemukan. Asal ada uang, urusan gampang. Contohnya, di sepanjang jalur pantura yang berjejer berbagai jenis rumah makan dan cafe di pinggir jalan. Dimulai dari gerbang keluar tol Cikampek ke arah Cirebon.

Siang hari, tempat tempat itu memang terlihat sepi. Tapi ketika malam tiba, puluhan warung makan dan cafe itu gemerlap dengan cahaya dan ramai dikunjungi manusia. Di teras-teras dan beranda berkumpul wanita cantik, nakal, dan menggoda. Mereka memikat pengguna jalan sambil mengajak melepas lelah di kafe-kafe itu. Pengguna jalan yang tertarik langsung melakukan tawar-menawar tentang servis yang dapat diberikan.

Jalur pantura dengan praktek prostitusi terbuka sudah lama ada. Wanita panggilan juga bisa didapatkan dengan mudah di jalur Pantura. Cukup telepon dan negosiasi harga. Setelah ada kesepatan, maka PSK akan datang di mana pun Anda berada.

Tim Sigi mendapatkan kenyataan yang memprihatinkan. Dari sekian banyak wanita penghibur atau PSK, ternyata di wilayah itu ada sebuah keluarga yang menggantungkan hidup hanya dari praktik prostitusi semata.

Sepasang kakak beradik, sebut saja Lala dan Lili, adalah PSK yang sejak remaja menjalankan profesinya. Awalnya, sang kakak, Lala, yang terjerumus kehidupan malam dengan menjadi pelayan tamu cafe. Perlahan tapi pasti, Lala, menjelma menjadi PSK dengan alasan penghasilan yang lebih besar dibandingkan penghasilan seorang pelayan.

Kemudian, Lili. Mengetahui pekerjaan sang kakak dan mengikuti jejaknya. Ia pun ikut meraup penghasilan instan dengan menjual tubuhnya dan menjadi PSK di Jakarta. Sepak terjang Lili semakin menjadi setelah pulang ke kampung. Karena, ternyata konsumennya semakin banyak.

Segala macam bentuk praktek prostitusi menjamur di sepanjang jalur Pantura. Bahkan, prostitusi tak lagi hanya di jalan dan wanita panggilan, namun sudah berpindah ke rumah-rumah penduduk.

Seperti realita berikut yang ditemukan tim Sigi di sebuah desa kecil di kawasan Subang, Jawa Barat, tak jauh dari jalur Pantura. Sebagian besar penduduk di sini menggantungkan hidup dari bertani dan menjadi pekerja kasar. Tapi siapa sangka, di tempat itu, praktik prostitusi justru merajalela. Di desa itu, prostitusi seakan sudah menjadi rahasia umum penduduknya.
 
Parahnya, seringkali bisnis remang-remang itu dilakukan bukan di kompleks lokalisasi. Melainkan di rumah-rumah warga. Yang lebih mengejutkan, ternyata praktik prostitusi rumahan ini sudah berlangsung cukup lama.

Lokasi yang senyap di pedesaan menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin melampiaskan hasrat. Cukup dengan beberapa lembar ratusan ribu rupiah, malam pun bisa dilewati bersama perempuan cantik yang siap menemani. Pelanggannya tak hanya kalangan berkantung pas-pasan. Warga mengakui, sesekali ada pengusaha atau pejabat bertandang ke tempat itu.

Penelusuran tim Sigi sampai ke salah satu sudut desa. Menurut pengakuan warga, di tempat itulah prostitusi rumahan kerap terjadi. Dengan kamera tersembunyi, mereka menyusuri gang-gang kecil di permukiman yang cukup padat.

Dan di sebuah rumah tampak seorang makelar atau broker yang menjadi perantara PSK rumahan. Lalu, sang makelar menunjukkan batang hidungnya. Layaknya tuan rumah, awalnya sang makelar menyambut dengan menyediakan makanan dan minuman. Lalu, lobi-lobi bisa dilakukan. Tinggal sebut kriteria perempuan yang diinginkan.

Tak lama setelah itu, dua perempuan muda berparas cantik datang menghampiri. Tanpa sungkan mereka menemani dengan gaya dan bahasa tubuh yang menggoda. Keduanya adalah PSK rumahan yang sudah cukup kondang di kampung itu. Dan, rumah mereka bersebelahan dengan rumah sang makelar.

Memang, prostitusi rumahan di daerah itu tak berdiri sendiri. Dari para makelarlah PSK rumahan seperti mereka biasa mendapat order. Tawar-menawar pun dimulai. Kalau harga sudah cocok semua bisa diatur. Biasanya pelanggan langsung diajak ke rumah masing-masing. Atau bisa juga, PSK rumahan melayani tamunya di rumah sang  makelar.

Setelah harga disepakati, sang wanita mengajak ke kamar pribadi. Saat melayani tamu, anaknya terpaksa diungsikan keluar rumah. Di rumah itulah, PSK rumahan biasa memuaskan nafsu para hidung belang. Ruang yang kecil sumpek dengan perabot seadanya. Meski tinggal bersama keluarga, mereka melayani tamunya seperti biasa, tanpa canggung atau malu-malu. Keluarga pun tak keberatan.

Tapi jangan dikira mudah mendapat PSK rumahan. Tak sembarang orang bisa bertandang. Karena, para penggiat aktivitas esek-esek itu cukup ketat menyeleksi para tamunya. Jika tak melalui sang makelar, para PSK rumahan tak akan melayani tamunya.

Biasanya, PSK rumahan memasang tarif antara Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu rupiah. Yang mengherankan, meski berlokasi di pedesaan, pelanggan tak pernah sepi. Ada saja lelaki hidung belang yang datang. Jika sudah begini, sang makelar ikut kecipratan rejeki. Nyatanya, bukan hanya makelar, warga sekitar juga ikut menikmati hasilnya.

Ada yang mengambil untung dengan menjadi tukang ojek, tukang parkir, atau penjual minuman. Inilah yang menyebabkan praktik prostitusi rumahan di desa itu menjadi dilema. Sulit diberantas. Bisnis malam dianggap membuka lahan usaha bagi warga desa yang tergolong miskin dan tak punya bekal pendidikan. Kemiskinan selalu menjadi alasan.

Dunia malam adalah dunia yang tak pernah sepi peminat, demikian juga yang ditemui di sepanjang jalur Pantai Utara Pulau Jawa. Mulai Kabupaten Karawang sampai Indramayu. Di kanan-kiri jalan, berjejer cafe-cafe dan warung remang-remang, yang menjajakan gadis muda sebagai teman melepas penat.

Mereka terang-terangan menggoda siapa saja yang melintas. Tak hanya itu, warung remang-remang dan rumah bordil berkedok karaoke menjamur sampai ke daerah pantai. Hanya beberapa kilometer dari jalur utama pantura, gubug-gubug bambu menghampar hingga ke tepi pantai. Tiap malam, tempat itu riuh oleh hentakan musik dangdut.

Tentunya, ada pelayan dan wanita penghibur yang siap menemani. Sekedar bersantap, bernyanyi, bahkan bisa juga menjadi bunga ranjang. Semua tergantung harga yang disepakati. Ironisnya, sebagian besar pelayan di warung remang-remang ini, adalah gadis remaja.

Kompleks prostitusi bukannya tak ada di daerah itu. Di beberapa tempat seperti Cikijing dan Patoukbesi, warung remang-remang sekaligus kamar maksiat menjamur. Legalitas sebagai lokalisasi resmi memang tak ada.

Berbagai upaya sudah dilakukan dinas sosial setempat, untuk menghapus praktik pelacuran dari kawasan ini. Mulai dari razia, hingga penyuluhan bagi para pekerja seks. Namun upaya itu tak membuahkan hasil. Malahan, jumlah pekerja seks dan rumah rumah bordil di daerah ini tiap tahun makin bertambah.

Satu-satunya upaya yang bisa dilakukan hanyalah mencegah penyebaran HIV/AIDS di kawasan itu. Petugas medis didatangkan untuk melakukan pemeriksaan berkala agar penyebaran penyakit menular seksual dan HIV/AIDS bisa ditekan.

Berbagai alasan menjadi pemicu gadis-gadis belia itu terjerumus ke lembah hitam. Penjaja seks gadis berusia 14 tahun itu mengaku kondisi keluarga yang tidak harmonis membuat dunia malam menjadi pelarian. Sebelum menjadi gadis Pantura, ia sudah malang melintang sebagai gadis panggilan dari hotel ke hotel sejak satu tahun lalu.

Maraknya praktek prostitusi di Pantura sebenarnya bukan lagi hal baru. Aktivitas ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan warganya.

Upaya penertiban telah berulangkali dilakukan. Aparat Polres Subang baru-baru ini menangkap sejumlah pelaku prostutusi dan mucikari yang mengeksploitasi anak di bawah umur. Namun, belum adanya panti rehabilitasi, menghambat proses pembinaan para pekerja seks tersebut.

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, dan juga angka kemiskinan yang cukup tinggi. Indonesia memiliki lebih dari empat juta anak dari keluarga miskin. Hal itulah yang membuat anak dijadikan sebagai asset keluarga. Dari kantung kantung miskin itulah lahir anak-anak yang potensial menjadi korban perdagangan manusia dan objek ekploitasi seksual.(PAG/SHA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini