Sukses

Sopir Panitera PN Jakpus Akui Antar Majikan ke Rumah Nurhadi

Kuzaeni bersaksi untuk majikannya yang duduk sebagai terdakwa kasus dugaan suap panitera PN Jakpus.

Liputan6.com, Jakarta - Kuzaeni, sopir Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Edy Nasution hadir menjadi saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor. Kuzaeni bersaksi untuk majikannya yang duduk sebagai terdakwa kasus dugaan suap pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) di PN Jakpus.

Dalam kesaksian di sidang dugaan suap panitera PN Jakpus, Kuzaeni mengakui, pernah mengantar majikannya ke rumah eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurrachman. Tak cuma sekali, tapi dua kali dia diminta Edy Nasution mengantar ke rumah Nurhadi yang terletak di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan.

"Saya hanya ingat dua kali diminta ke rumah di Jalan Hang Lekir," ucap Kuzaeni saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu, 28 September 2016.

Kuzaeni menjelaskan, saat pertama mengantar ke sana, rumah Nurhadi tengah dalam kondisi banyak orang. Yang kedua, saat itu di rumah Nurhadi ada yang lagi sakit.

"Waktu pertama itu ramai. Ada acara pesta. Mau cari parkir saja susah. Kalau yang kedua, katanya sedang ada yang sakit," ujar Kuzaeni.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut‎ Umum (JPU) mendakwa Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, menerima uang Rp 1,5 miliar dalam bentuk pecahan dolar Singapura, Rp 100 juta, US$ 50 ribu, dan Rp 50 juta. Uang itu diterima terkait penanganan sejumlah perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jaksa menguraikan, uang Rp 1,5 miliar diduga diterima Edy dari Doddy Ariyanto Supeno‎, asisten eks Presiden Direktur Lippo Group Eddy Sindoro. Pemberian itu merupakan arahan dari pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) Herry Soegiarto, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, dan Eddy Sindoro.

Uang 1,5 miliar dolar Singapura yang diduga diterima Edy itu diberikan untuk melakukan perubahan redaksional atau revisi surat jawaban dari PN Jakpus, untuk menolak eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raa Van Justitie Nomor 232/1937 tertanggal 12 Juli 1940 atas tanah lokasi di Tangerang atau untuk tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.

Untuk penerimaan Rp 100 juta yang diberikan Agustriadhy merupakan arahan Eddy Sindoro. Duit itu ditujukan terkait pengurusan penundaan surat peringatan atau aanmaning pada perkara niaga PT MTP, melalui PN Jakpus sesuai putusan Singapura International Arbitration Centre (SIAC) Nomor 62 Tahun 2013 tanggal 1 Juli 2013, ARB Nomor 178 Tahun 2010.

Kemudian penerimaan US$ 50 ribu dan Rp 50 juta yang diberikan Doddy atas arahan Wresti dan Ervan, diperuntukkan untuk pengurusan pengajuan kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meskipun telah melewati batas waktu dan untuk membantu perkara yang masih dihadapi Lippo Group di PN Jakpus.

"Perbuatan itu bertentangan dengan kewajibannya selaku penyelenggara negara‎," kata jaksa.

Atas perbuatannya, Edy Nasution didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.